Kamis, 10 Oktober 2013

Tanah dan Perjuangan Politik

Tanah dan Perjuangan Politik
Maman Suratman  Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA KARYA, 08 Oktober 2013


Soal tanah adalah soal hidup dan penghidupan manusia. Tanah merupakan sumber makanan bagi kelangsungan hidup dan keturunannya. Sebagai kebutuhan primer, tentu saja semua orang menghendakinya, bahwa siapa yang menguasai tanah, ia menguasai makanan (menguasai hidup).

Di zaman nenek moyang, tanah memang sebuah hal yang mendasari lahirnya beragam konflik antar manusia. Seolah-olah, tidak ada konflik yang mendahului selain karena motif kuasa-menguasai tanah. Ini memang terbukti. Di zaman raja-raja misalnya zaman feodalisme, raja mengklaim diri sebagai pemilik tanah beserta seisi alamnya selama berada di lingkungan kerajaannya. Rakyat hanya sebagai pemaroh (peminjam, penyewa, atau pekerja). Raja dan para kaki tangannya selalu hidup dalam serba ada, sedang rakyat sesuap nasi pun hampir tidak ada.

Masuknya penjajah kolonial, tradisi perbudakan ini terus dipertahankan. Alasannya sederhana, yakni hanya ingin mempertahankan tradisi kuno yang sudah lama berlaku, sistem feodalisme. Padanya, rakyat semakin saja hidup sengsara, melarat, miskin, lagi tambah bodoh. Istilah kerjapaksa, landrente, dan cultuurstelsel, bagian dari kebijakan kolonial atas penguasaan tanah dan seisi alamnya, menjadi istilah yang masih sangat melekat di hati rakyat sampai hari ini. Kekejaman, penindasan serta perbudakan terus diabadikan, sebagai proses penyengsaraan dan pemiskinan bagi rakyat. Jika pun ada upaya perbaikan kebijakan secara "sopan" di zaman ini, hanya sebagai ocehan kosong tanpa makna. Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet atau Wet de Wall) yang diputuskan pada tahun 1870, yang katanya merombak cara-cara "kotor" menjadi cara-cara yang "sopan", nyatanya hanya bisa melahirkan kebijakan tumpang-tindih kepentingan.

Undang-Undang (UU) yang memuat kepemilikan negeri (domeinverklaring) justru terlihat sebagai pelanggengan perbudakan yang bernaung atas nama hukum. Belum lagi, tujuan dilahirkannya UU ini, yakni bagaimana dapat menjamin kepentingan tanah bagi kaum modal seluas-luasnya, sekaligus bagaimana tetap memberikan perlindungan bagi hak-hak rakyat atas tanah, terang tak pernah terwujud secara beriringan. Bagaimana mungkin menjamin tujuan dari dua kepentingan yang sumbernya ada pada satu, tanah? Prakteknya, singa hutan selalu berhasil menelan mangsanya yang lemah. Alhasil, rakyat semakin tak berdaya, semakin pula abadi di dalam hidupnya yang melarat.

Indonesia merdeka, cita-citanya banyak diagungkan oleh rakyat, pembebasan rakyat dari kemiskinan, penindasan, dan ketakutan. Namun sayang, kondisi kemerdekaan ini tak ubahnya dengan kondisi pada sebelumnya. Meskipun tanah kemudian dikuasai oleh anak negeri, tetapi sungguh hanya segelintir orang saja yang bisa menikmati hasilnya, sedang rakyat kebanyakan hanya bisa menjadi penonton di atas tanahnya sendiri. Mungkinkah ini bisa disebut sebagai kondisi kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali?

Benar bahwa di era kemerdekaan hari ini, apalagi pasca perjuangan reformasi, rakyat terbilang bebas untuk menyatakan aspirasi apa yang hendak diekspresikannya. Lagi-lagi sayang, penyalur aspirasi rakyat (media massa) hanya bisa berpaling kepada siapa yang bisa menjamin eksistensinya (penguasa dan pemodal). Bagaimana pun kerasnya para petani berteriak atas nama kebenaran, meski disertai dengan fakta-fakta konkrit atas penindasan yang mereka alami, oleh media, mereka selalu dijadikan obyek yang tak lebih sekadar tontonan hiburan belaka. "Tanah untuk rakyat! Tanah untuk rakyat! Tanah untuk rakyat!" nampak hanya sebagai isapan jempol belaka. Mereka dieksploitasi hanya untuk kepentingan hasrat para penguasa dan pemodal. Selebihnya, tak ada hal lain. Ujungnya, tentu masih serupa dengan pengalaman yang dulu-dulu, rakyat menjadi obyek pemenuhan kepentingan dan kehormatan bagi si penguasa!

Hubungan tanah dengan manusianya, jika menilik balik pada realitas sebelumnya, memang jauh dari keharmonisan. Bisa dibenarkan bahwa di mana ada manusia yang menggantungkan hidupnya pada tanah, di sana sengketa itu tidak akan pernah padam. Tentunya, hal ini terus akan terjadi jika upaya dan keseriusan pemerintah di dalam penanganannya tidak pernah terwujud secara maksimal. Pemerintah selalu disibukkan oleh agenda-agenda politiknya, seperti persiapan menghadapi pemilu, ketimbang memfokuskan diri dalam penanganan soal hidup dan penghidupan rakyatnya. Hal ini tentu membuktikan bahwa lemahnya upaya pemerintah di dalam proses penyelesaian kasus yang menyangkut soal hidup dan penghidupan ini, jelas akan meningkatkan sengketa berkepanjangan.

Lantas apa yang bisa dilakukan saat ini mengingat minimnya medium untuk mengekspresikan, benar sebagai benar, dan salah adalah salah? Gantung harapan diikuti ikhtiar sekalipun mustahil tetap itulah upaya satu-satunya untuk keluar dari penindasan. Perjuangan politik sebagai solusi terealisasinya tuntutan rakyat atas tanahnya sendiri. Media dan sarananya bisa organisasi, lembaga pendidikan, dan semua bentuk lembaga-lembaga masyarakat, seperti LSM. Karenanya, pendidikan politik patut terus dikembangkan sebagai upaya perwujudan tujuan-tujuan tersebut.

Jika demikian, lantas hal apa yang mesti ditegakkan untuk menjadikan sarana perjuangan politik tersebut tetap eksis, paling tidak bisa menjadi corong bagi mereka yang diperbisu? Tentu, persatuan merupakan prasyarat utamanya, di samping komitmen serta tanggungjawab di antara masing-masing pihak yang berkepentingan terhadapnya, atas nama kebenaran. Pada pemimpin, kita tak perlu lagi yang cerdas, kita tidak butuh yang bijak, apalagi yang korup. Kita hanya butuh pemimpin yang bisa, mampu, dan bertanggungjawab demi kepentingan dan kebutuhan rakyat semata, tidak yang lain. Produsen pemimpin yang demikian, hanya ada pada sarana-sarana perjuangan politik yang tetap pula. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar