|
Soal
tanah adalah soal hidup dan penghidupan manusia. Tanah merupakan sumber makanan
bagi kelangsungan hidup dan keturunannya. Sebagai kebutuhan primer, tentu saja
semua orang menghendakinya, bahwa siapa yang menguasai tanah, ia menguasai
makanan (menguasai hidup).
Di
zaman nenek moyang, tanah memang sebuah hal yang mendasari lahirnya beragam
konflik antar manusia. Seolah-olah, tidak ada konflik yang mendahului selain
karena motif kuasa-menguasai tanah. Ini memang terbukti. Di zaman raja-raja
misalnya zaman feodalisme, raja mengklaim diri sebagai pemilik tanah beserta
seisi alamnya selama berada di lingkungan kerajaannya. Rakyat hanya sebagai
pemaroh (peminjam, penyewa, atau pekerja). Raja dan para kaki tangannya selalu
hidup dalam serba ada, sedang rakyat sesuap nasi pun hampir tidak ada.
Masuknya
penjajah kolonial, tradisi perbudakan ini terus dipertahankan. Alasannya
sederhana, yakni hanya ingin mempertahankan tradisi kuno yang sudah lama
berlaku, sistem feodalisme. Padanya, rakyat semakin saja hidup sengsara,
melarat, miskin, lagi tambah bodoh. Istilah kerjapaksa, landrente, dan
cultuurstelsel, bagian dari kebijakan kolonial atas penguasaan tanah dan seisi
alamnya, menjadi istilah yang masih sangat melekat di hati rakyat sampai hari
ini. Kekejaman, penindasan serta perbudakan terus diabadikan, sebagai proses penyengsaraan
dan pemiskinan bagi rakyat. Jika pun ada upaya perbaikan kebijakan secara
"sopan" di zaman ini, hanya sebagai ocehan kosong tanpa makna.
Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet
atau Wet de Wall) yang diputuskan
pada tahun 1870, yang katanya merombak cara-cara "kotor" menjadi
cara-cara yang "sopan", nyatanya hanya bisa melahirkan kebijakan
tumpang-tindih kepentingan.
Undang-Undang
(UU) yang memuat kepemilikan negeri (domeinverklaring)
justru terlihat sebagai pelanggengan perbudakan yang bernaung atas nama hukum.
Belum lagi, tujuan dilahirkannya UU ini, yakni bagaimana dapat menjamin
kepentingan tanah bagi kaum modal seluas-luasnya, sekaligus bagaimana tetap
memberikan perlindungan bagi hak-hak rakyat atas tanah, terang tak pernah
terwujud secara beriringan. Bagaimana mungkin menjamin tujuan dari dua
kepentingan yang sumbernya ada pada satu, tanah? Prakteknya, singa hutan selalu
berhasil menelan mangsanya yang lemah. Alhasil, rakyat semakin tak berdaya,
semakin pula abadi di dalam hidupnya yang melarat.
Indonesia
merdeka, cita-citanya banyak diagungkan oleh rakyat, pembebasan rakyat dari
kemiskinan, penindasan, dan ketakutan. Namun sayang, kondisi kemerdekaan ini
tak ubahnya dengan kondisi pada sebelumnya. Meskipun tanah kemudian dikuasai
oleh anak negeri, tetapi sungguh hanya segelintir orang saja yang bisa
menikmati hasilnya, sedang rakyat kebanyakan hanya bisa menjadi penonton di
atas tanahnya sendiri. Mungkinkah ini bisa disebut sebagai kondisi kemerdekaan
bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali?
Benar
bahwa di era kemerdekaan hari ini, apalagi pasca perjuangan reformasi, rakyat
terbilang bebas untuk menyatakan aspirasi apa yang hendak diekspresikannya.
Lagi-lagi sayang, penyalur aspirasi rakyat (media massa) hanya bisa berpaling
kepada siapa yang bisa menjamin eksistensinya (penguasa dan pemodal). Bagaimana
pun kerasnya para petani berteriak atas nama kebenaran, meski disertai dengan
fakta-fakta konkrit atas penindasan yang mereka alami, oleh media, mereka
selalu dijadikan obyek yang tak lebih sekadar tontonan hiburan belaka. "Tanah untuk rakyat! Tanah untuk
rakyat! Tanah untuk rakyat!" nampak hanya sebagai isapan jempol
belaka. Mereka dieksploitasi hanya untuk kepentingan hasrat para penguasa dan
pemodal. Selebihnya, tak ada hal lain. Ujungnya, tentu masih serupa dengan
pengalaman yang dulu-dulu, rakyat menjadi obyek pemenuhan kepentingan dan
kehormatan bagi si penguasa!
Hubungan
tanah dengan manusianya, jika menilik balik pada realitas sebelumnya, memang
jauh dari keharmonisan. Bisa dibenarkan bahwa di mana ada manusia yang
menggantungkan hidupnya pada tanah, di sana sengketa itu tidak akan pernah
padam. Tentunya, hal ini terus akan terjadi jika upaya dan keseriusan
pemerintah di dalam penanganannya tidak pernah terwujud secara maksimal.
Pemerintah selalu disibukkan oleh agenda-agenda politiknya, seperti persiapan
menghadapi pemilu, ketimbang memfokuskan diri dalam penanganan soal hidup dan
penghidupan rakyatnya. Hal ini tentu membuktikan bahwa lemahnya upaya
pemerintah di dalam proses penyelesaian kasus yang menyangkut soal hidup dan
penghidupan ini, jelas akan meningkatkan sengketa berkepanjangan.
Lantas
apa yang bisa dilakukan saat ini mengingat minimnya medium untuk
mengekspresikan, benar sebagai benar, dan salah adalah salah? Gantung harapan
diikuti ikhtiar sekalipun mustahil tetap itulah upaya satu-satunya untuk keluar
dari penindasan. Perjuangan politik sebagai solusi terealisasinya tuntutan
rakyat atas tanahnya sendiri. Media dan sarananya bisa organisasi, lembaga
pendidikan, dan semua bentuk lembaga-lembaga masyarakat, seperti LSM.
Karenanya, pendidikan politik patut terus dikembangkan sebagai upaya perwujudan
tujuan-tujuan tersebut.
Jika
demikian, lantas hal apa yang mesti ditegakkan untuk menjadikan sarana
perjuangan politik tersebut tetap eksis, paling tidak bisa menjadi corong bagi
mereka yang diperbisu? Tentu, persatuan merupakan prasyarat utamanya, di
samping komitmen serta tanggungjawab di antara masing-masing pihak yang
berkepentingan terhadapnya, atas nama kebenaran. Pada pemimpin, kita tak perlu
lagi yang cerdas, kita tidak butuh yang bijak, apalagi yang korup. Kita hanya
butuh pemimpin yang bisa, mampu, dan bertanggungjawab demi kepentingan dan
kebutuhan rakyat semata, tidak yang lain. Produsen pemimpin yang demikian,
hanya ada pada sarana-sarana perjuangan politik yang tetap pula. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar