|
Apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK) telah
mencoreng citra aparat penegak hukum. Ditambah dengan penemuan narkoba di
kantor AM, lengkap sudah citra buruk MK, meski pemakai narkoba itu belum tentu
AM. Kepercayaan terhadap MK hilang.
Kalau tindak korupsi itu terkait dengan keabsahan pilkada,
berarti juga mencederai demokrasi kita. Dugaannya, tidak hanya terbatas pada
dua pilkada, tetapi juga pilkada-pilkada yang lain. Cacat demokrasi kita tidak
hanya oleh politik uang, tetapi juga proses hukumnya. Bagaimana gambaran
seperti itu bisa membuat kita percaya terhadap kredibilitas penegakan hukum dan
demokrasi kita? Inilah yang harus kita benahi.
Usai mengadakan pertemuan dengan ketua-ketua lembaga negara
tinggi lainnya (di luar MK), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dikabarkan
akan mengeluarkan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). Dalam
perppu nanti, antara lain akan diperbaiki cara perekrutan hakim MK dan
pengawasan MK, yang diserahkan kepada Komisi Yudisial (KY). Seperti biasa, ada
pro dan kontra. Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie bahkan menganggap hal itu
inkonstitusional.
Rakyat makin bingung melihat para pemimpinnya mencari jalan
keluar kasus di MK itu, sementara kondisi lingkungan kita juga akan menghadapi
puncak tahun politik, pemilu legislatif dan pemilihan presiden/wakil presiden.
Kita semua harus mempersiapkan diri menghadapi kondisi sosial dan politik yang
bisa memburuk. Apalagi, prediksi pertumbuhan ekonomi kita juga menurun, yang
berarti kendala ekonomi juga bisa memperburuk kondisi sosial/politik bangsa.
Logikanya, diperlukan sikap ekstra hati-hati kita semua.
Adalah sikap terbaik kita semua, apabila (setidaknya) tidak
ikut-ikutan memperburuk kondisi sosial/politik. Sebab, kalau kepercayaan
terhadap aparat penegakan hukum hilang, bisa saja mengundang chaos. Konflik
pilkada tidak terselesaikan, demokrasi kita tidak legitimate, makin banyak
orang merasa berhak berbuat semaunya sehingga konflik dan kekerasan bisa
meningkat.
Semuanya akan menyebabkan aparat penertiban dan keamanan kita,
kepolisian, dan TNI, harus siap menghadapi semua itu. Kondisi siaga satu
mungkin diperlukan. Sebab, implikasi tertangkapnya Ketua MK bisa sangat luas.
Setidaknya, semoga tidak merembet ke hal yang lain-lain. Kita harapkan
keabsahan segala keputusan MK yang lalu tidak dipersoalkan, sehingga keberadaan
kepala daerah yang pilkadanya diputus MK dipersoalkan. Kondisi chaos mungkin
telah menanti.
Ada kesan bahwa untuk membenahi MK sangat tidak mudah. MK
sebagai produk konstitusi, penyelesaian yang komprehensif juga selayaknya
menggunakan pendekatan konstitusional. Kalau tidak, bisa saja dianggap
inkonstitusional, sebagaimana dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie. Hal ini
berarti, kita harus melihat kembali konstitusi kita, UUD 1945, yang telah
diamandemen empat kali tahun 2002. Amandemen kelima UUD 1945 atau kaji ulang
UUD 1945 dalam hal ini diperlukan.
Jelas, implikasi kasus Ketua MK bisa sangat luas. Itu
menyangkut sendi-sendi berbangsa dan bernegara kita yaitu UUD 1945. Tidak
tertutup kemungkinan, dalam amandemen kelima nanti, MK diintegrasikan dengan
Mahkamah Agung, sehingga keruwetan hukum bisa dikurangi. Konflik pilkada
ditangani Bawaslu atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sebab,
pembentukan MK seperti sekarang, aroma politiknya sangat besar, sehingga sulit
mempertahankan MK sebagai lembaga tinggi negara yang kredibel. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar