|
PROF Soetandyo
Wignjosoebroto MPA tutup usia 2 September 2013. Saya amat berduka ditinggalkan
seorang guru, sahabat, dan rekan seperjuangan.
Indonesia
kehilangan cendekiawan terbaik bidang studi hukum dan kemasyarakatan (rechtssociologie, socio-legal studies).
Saya pertama
kali mengenal Prof Soetandyo kala menempuh studi doktoral di Universitas
Utrecht, Belanda. Dia memberikan public lecture tentang Sosiologi
Hukum Indonesia di Universitas Leiden.
Di antara
cendekiawan Indonesia yang hadir, salah satunya adalah Prof Paul Moedigdo
Moeliono yang menyampaikan kekagumannya kepada Prof Soetandyo. Pada masa itu
memang tidak banyak akademisi Indonesia yang mendapat kehormatan tinggi untuk
berbicara dalam forum akademik internasional.
Prof Soetandyo
dalam ceramahnya menjelaskan pencangkokan hukum (legal transplant). Ia
berpendapat bahwa hukum dan aturan perundang-undangan suatu negara tidak bisa
begitu saja dicangkokkan ke sistem hukum negara lain. Operasi transplantasi
hukum amat bergantung pada kondisi sosio-kultural.
Pendapat Prof
Soetandyo itu, menurut hemat saya, amat tepat dan relevan dalam memahami upaya
bangsa Indonesia mengadopsi norma-norma hukum modern dari bangsa-bangsa lain
dalam rangka pembangunan hukum nasional. Ia tidak antimodernitas karena
memahaminya sebagai keniscayaan dalam suatu tatanan dunia yang mengglobal.
Namun, ia menekankan perlunya perhatian pada hukum adat (folklaw) dan kearifan lokal (local
wisdom) sebagai kondisi sosial- obyektif yang terberi sehingga menjadi
pertimbangan dalam mengadopsi hukum modern.
Prof Soetandyo
juga memberikan perhatian amat besar terhadap pluralisme hukum (legal pluralism) seraya mengingatkan
agar proses kodifikasi dan unifikasi hukum nasional jangan sampai menghilangkan
lokalitas- lokalitas dan keberagaman dalam negara-bangsa kita.
Perjumpaan awal
itu memberikan impresi begitu dalam. Oleh karena itu, saya mengusulkan Prof
Soetandyo Wignjosoebroto MPA bersama-sama dengan Prof Dr Selo Soemardjan, Prof
Dr Satjipto Rahardjo, dan Prof Dr Daniel S Lev untuk menjadi tim penguji
disertasi saya, selain para penguji dari Belanda. Usul itu disetujui pihak
universitas, tetapi sayang Soetandyo berhalangan hadir. Ia digantikan Prof Dr
Usep Ranuwihardja.
Mengoreksi penguasa
Sepulangnya ke
Tanah Air, saya berkontak kembali dengan Prof Soetandyo. Kami banyak berdiskusi
dan mengupayakan terwujudnya demokrasi, penghormatan dan perlindungan hak asasi
manusia, serta penegakan hukum yang berkeadilan. Prof Soetandyo pada tahun
1990-an memang secara aktif mengoreksi kekuasaan Orde Baru. Ia mengkritisi
tindakan represif pada aktivis-aktivis politik yang berseberangan dengan
penguasa.
Prof Soetandyo
juga serius memikirkan tindakan diskriminatif negara kepada rakyat kecil, kaum
perempuan, dan golongan minoritas lainnya. Dengan latar belakang tersebut,
amatlah tepat ketika Prof Soetandyo dipilih menjadi anggota Komnas HAM selama
dua periode (1993-1998 dan 1998-2002).
Namun, Prof
Soetandyo tidak lalu meninggalkan peran utamanya sebagai guru yang memberikan
pencerahan lewat ilmu pengetahuan, tidak terbatas pada mahasiswanya di
Universitas Airlangga, Surabaya, dan kampus-kampus lainnya, tetapi terutama
juga pada para aktivis dan masyarakat luas. Ia senantiasa meluangkan waktu
menghadiri diskusi yang diadakan para aktivis di seluruh Nusantara.
Prof Soetandyo
bahkan terlibat secara langsung dalam advokasi berbagai kasus, misalnya
pembelaan terhadap korban Lumpur Lapindo. Saya pun masih ingat cerita tentang
pembelaan Prof Soetandyo terhadap pedagang sektor nonformal (PKL) yang
senantiasa terancam razia. Ia melindungi mereka dengan menyuruh memasukkan
gerobak-gerobak mereka ke pekarangan dan bahkan merelakan listrik dan air di
rumahnya untuk para pedagang.
Prof Soetandyo
adalah intelektual yang memilih secara aktif memberikan penyadaran dan
pembelaan kepada kelompok-kelompok masyarakat miskin, marjinal, dan minoritas.
Ia pantas disebut ”aktivis intelektual” atau yang dalam kategori Antonio
Gramsci disebut sebagai ”intelektual organik”.
Kontribusinya
pada pembangunan hukum nasional sungguh amatlah besar. Tidak banyak akademisi
hukum Indonesia yang memiliki kualitas ketekunan sebagaimana Prof Soetandyo
dalam membahas paradigma hukum (legal
paradigm) dengan segala perkembangan atau pergeserannya. Tema ini sering
diabaikan oleh para pembuat aturan dan kebijakan hukum. Ia dalam berbagai
kesempatan mengingatkan, pembangunan struktur hukum mesti dibarengi dengan
pembangunan aparat hukum dan budaya hukum.
Sayangnya
pemerintah saat ini mengabaikan begitu saja pesan kaum cendekiawan. Sebagai
contoh, saat masih menjadi anggota Wantimpres, saya membicarakan ide mengenai
metode jemput bola (talent scouting)
dalam seleksi Hakim Mahkamah Konstitusi. Prof Soetandyo adalah salah satu yang
saya ajak berdiskusi dan memberikan banyak masukan.
Semua kalangan
mengakui bahwa proses seleksi yang transparan adalah kunci keberhasilan. Maka
ketika belakangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk hakim MK secara
langsung tanpa proses seleksi, Prof Soetandyo pasti amat kecewa, apalagi
ditambah dengan adanya korupsi di MK.
Narasumber amandemen
Prof Soetandyo
adalah narasumber yang senantiasa terlibat dalam diskusi-diskusi di Wantimpres
mengenai usulan Amandemen Kelima UUD 1945. Ia sangat terbuka dan mendukung
gagasan tersebut. Sayang, ia berpulang sebelum proyek amandemen kelima itu terealisasi.
Terakhir, saya
merasa perlu menyampaikan pesan Prof Soetandyo yang dikirim
melalui e-mail tertanggal 30 Mei 2013 kepada saya, Prof Dr Sunaryati
Hartono, Dr Todung Mulya Lubis, Prof Dr Sulistyowati Irianto, Prof Dr K
Martono, dan sejumlah rekan muda penggiat socio-legal studies. Ia
mengamanatkan, ”Kegiatan kita harus
membuka diri untuk berjejaring dengan kegiatan lain yang serupa atau yang
bersejajar... kegiatan dengan tema sentral yang sama—misalnya yang di seputar
tema filsafat hukum atau socio-legal study—akan menjadi terserpih dan
melemah. Sudah waktunya kita memikirkan kegiatan dalam payung sebuah
konsorsium.”
Semoga kita mampu mengamalkan amanatnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar