Sabtu, 12 Oktober 2013

Soetandyo dan Pembangunan Hukum

Soetandyo dan Pembangunan Hukum
Adnan Buyung Nasution  Advokat Senior;
Guru Besar Melbourne Law School, University of Melbourne, Australia
KOMPAS, 12 Oktober 2013


PROF Soetandyo Wignjosoebroto MPA tutup usia 2 September 2013. Saya amat berduka ditinggalkan seorang guru, sahabat, dan rekan seperjuangan.
Indonesia kehilangan cendekiawan terbaik bidang studi hukum dan kemasyarakatan (rechtssociologie, socio-legal studies).
Saya pertama kali mengenal Prof Soetandyo kala menempuh studi doktoral di Universitas Utrecht, Belanda. Dia memberikan public lecture tentang Sosiologi Hukum Indonesia di Universitas Leiden.
Di antara cendekiawan Indonesia yang hadir, salah satunya adalah Prof Paul Moedigdo Moeliono yang menyampaikan kekagumannya kepada Prof Soetandyo. Pada masa itu memang tidak banyak akademisi Indonesia yang mendapat kehormatan tinggi untuk berbicara dalam forum akademik internasional.
Prof Soetandyo dalam ceramahnya menjelaskan pencangkokan hukum (legal transplant). Ia berpendapat bahwa hukum dan aturan perundang-undangan suatu negara tidak bisa begitu saja dicangkokkan ke sistem hukum negara lain. Operasi transplantasi hukum amat bergantung pada kondisi sosio-kultural.
Pendapat Prof Soetandyo itu, menurut hemat saya, amat tepat dan relevan dalam memahami upaya bangsa Indonesia mengadopsi norma-norma hukum modern dari bangsa-bangsa lain dalam rangka pembangunan hukum nasional. Ia tidak antimodernitas karena memahaminya sebagai keniscayaan dalam suatu tatanan dunia yang mengglobal. Namun, ia menekankan perlunya perhatian pada hukum adat (folklaw) dan kearifan lokal (local wisdom) sebagai kondisi sosial- obyektif yang terberi sehingga menjadi pertimbangan dalam mengadopsi hukum modern.
Prof Soetandyo juga memberikan perhatian amat besar terhadap pluralisme hukum (legal pluralism) seraya mengingatkan agar proses kodifikasi dan unifikasi hukum nasional jangan sampai menghilangkan lokalitas- lokalitas dan keberagaman dalam negara-bangsa kita.
Perjumpaan awal itu memberikan impresi begitu dalam. Oleh karena itu, saya mengusulkan Prof Soetandyo Wignjosoebroto MPA bersama-sama dengan Prof Dr Selo Soemardjan, Prof Dr Satjipto Rahardjo, dan Prof Dr Daniel S Lev untuk menjadi tim penguji disertasi saya, selain para penguji dari Belanda. Usul itu disetujui pihak universitas, tetapi sayang Soetandyo berhalangan hadir. Ia digantikan Prof Dr Usep Ranuwihardja.
Mengoreksi penguasa
Sepulangnya ke Tanah Air, saya berkontak kembali dengan Prof Soetandyo. Kami banyak berdiskusi dan mengupayakan terwujudnya demokrasi, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, serta penegakan hukum yang berkeadilan. Prof Soetandyo pada tahun 1990-an memang secara aktif mengoreksi kekuasaan Orde Baru. Ia mengkritisi tindakan represif pada aktivis-aktivis politik yang berseberangan dengan penguasa.
Prof Soetandyo juga serius memikirkan tindakan diskriminatif negara kepada rakyat kecil, kaum perempuan, dan golongan minoritas lainnya. Dengan latar belakang tersebut, amatlah tepat ketika Prof Soetandyo dipilih menjadi anggota Komnas HAM selama dua periode (1993-1998 dan 1998-2002).
Namun, Prof Soetandyo tidak lalu meninggalkan peran utamanya sebagai guru yang memberikan pencerahan lewat ilmu pengetahuan, tidak terbatas pada mahasiswanya di Universitas Airlangga, Surabaya, dan kampus-kampus lainnya, tetapi terutama juga pada para aktivis dan masyarakat luas. Ia senantiasa meluangkan waktu menghadiri diskusi yang diadakan para aktivis di seluruh Nusantara.
Prof Soetandyo bahkan terlibat secara langsung dalam advokasi berbagai kasus, misalnya pembelaan terhadap korban Lumpur Lapindo. Saya pun masih ingat cerita tentang pembelaan Prof Soetandyo terhadap pedagang sektor nonformal (PKL) yang senantiasa terancam razia. Ia melindungi mereka dengan menyuruh memasukkan gerobak-gerobak mereka ke pekarangan dan bahkan merelakan listrik dan air di rumahnya untuk para pedagang.
Prof Soetandyo adalah intelektual yang memilih secara aktif memberikan penyadaran dan pembelaan kepada kelompok-kelompok masyarakat miskin, marjinal, dan minoritas. Ia pantas disebut ”aktivis intelektual” atau yang dalam kategori Antonio Gramsci disebut sebagai ”intelektual organik”.

Kontribusinya pada pembangunan hukum nasional sungguh amatlah besar. Tidak banyak akademisi hukum Indonesia yang memiliki kualitas ketekunan sebagaimana Prof Soetandyo dalam membahas paradigma hukum (legal paradigm) dengan segala perkembangan atau pergeserannya. Tema ini sering diabaikan oleh para pembuat aturan dan kebijakan hukum. Ia dalam berbagai kesempatan mengingatkan, pembangunan struktur hukum mesti dibarengi dengan pembangunan aparat hukum dan budaya hukum.
Sayangnya pemerintah saat ini mengabaikan begitu saja pesan kaum cendekiawan. Sebagai contoh, saat masih menjadi anggota Wantimpres, saya membicarakan ide mengenai metode jemput bola (talent scouting) dalam seleksi Hakim Mahkamah Konstitusi. Prof Soetandyo adalah salah satu yang saya ajak berdiskusi dan memberikan banyak masukan.
Semua kalangan mengakui bahwa proses seleksi yang transparan adalah kunci keberhasilan. Maka ketika belakangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk hakim MK secara langsung tanpa proses seleksi, Prof Soetandyo pasti amat kecewa, apalagi ditambah dengan adanya korupsi di MK.
Narasumber amandemen
Prof Soetandyo adalah narasumber yang senantiasa terlibat dalam diskusi-diskusi di Wantimpres mengenai usulan Amandemen Kelima UUD 1945. Ia sangat terbuka dan mendukung gagasan tersebut. Sayang, ia berpulang sebelum proyek amandemen kelima itu terealisasi.
Terakhir, saya merasa perlu menyampaikan pesan Prof Soetandyo yang dikirim melalui e-mail tertanggal 30 Mei 2013 kepada saya, Prof Dr Sunaryati Hartono, Dr Todung Mulya Lubis, Prof Dr Sulistyowati Irianto, Prof Dr K Martono, dan sejumlah rekan muda penggiat socio-legal studies. Ia mengamanatkan, ”Kegiatan kita harus membuka diri untuk berjejaring dengan kegiatan lain yang serupa atau yang bersejajar... kegiatan dengan tema sentral yang sama—misalnya yang di seputar tema filsafat hukum atau socio-legal study—akan menjadi terserpih dan melemah. Sudah waktunya kita memikirkan kegiatan dalam payung sebuah konsorsium.”
Semoga kita mampu mengamalkan amanatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar