|
BERBAGAI
peristiwa di Dunia Arab dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan kian tidak
menentunya masa depan demokrasi di kawasan ini. Sejak Presiden Muhammad
Murs—dari al-Ikhwan al-Muslimun—yang terpilih melalui pemilu demokratis pertama
di Mesir digulingkan militer, transisi damai untuk konsolidasi demokrasi kian
menjauh.
Sebaliknya, dari ke hari publik internasional melihat
peningkatan zero-sum- game di antara pemerintah Presiden (interim)
Adly Mansour yang didukung militer, institusi al-Azhar dan kelompok liberal
secara bersama melawan IM.
Sementara itu, pemerintahan ”Islamis” Partai Ennahdah di
Tunisia juga mendapat tantangan kian keras dari oposisi. Meski partai pimpinan
Rachid el-Ganouchi ini telah berusaha memoderasikan diri, ketidakpercayaan dan
skeptisisme tetap bertahan. Kalangan oposisi menuntut pemerintah Ennahdah
mundur dan pemilu kembali diadakan; mereka masih memendam kecurigaan kuat,
Ennahdah tetap memiliki agenda Islamis tersembunyi.
Absennya
”civil society”
Harapan bagi tumbuhnya demokrasi di bagian Dunia Arab lainnya
”setali tiga uang”. Hampir tidak ada harapan bagi demokrasi di Suriah yang
masih dilanda perang saudara, yang kini harus menghadapi kekuatan internasional
dan PBB karena penggunaan senjata kimia. Harapan juga memudar di Irak yang
meski beberapa tahun terakhir telah memiliki pemerintahan melalui pemilu, tetap
saja dilanda kekerasan sektarian yang menewaskan ribuan orang Sunni dan Syiah.
Demokrasi lebih daripada sekadar eksistensi partai politik,
yang dalam beberapa kasus di Dunia Arab, seperti Mesir, telah ada sejak masa
pasca-pengambilalihan kekuasaan oleh rezim militer Gamal Abdul Nasser pada
1952. Namun, Mesir sejak saat itu lebih menampilkan kekuasaan one-single
party system, Partai Persatuan Nasional pimpinan Nasser. Sistem partai tunggal
dilanjutkan Presiden Anwar Sadat lewat Partai Nasional Demokrat (al-Hizb al-Watani al-Dimukrati) yang dia
dirikan pada 1978 sebagai transformasi dari [Partai] Persatuan Sosialis Arab,
partai penguasa sejak 1962. Meski ada partai-partai lain, mereka tidak lebih
daripada sekadar ”pajangan” untuk menutupi otoritarianisme militer.
Demokrasi juga lebih daripada sekadar pemilihan umum yang
secara relatif reguler diadakan penguasa militer Mesir. Pemilu, yang
kadang-kadang disertai referendum untuk mengambil keputusan rakyat, tidak lebih
sebagai alat untuk melestarikan status
quo kekuasaan militer.
Meski punya pengalaman dengan partai politik dan pemilu,
masyarakat dan negara-negara Arab tampak tidak memiliki prasyarat memadai untuk
tumbuhnya demokrasi. Pengembangan sejumlah prasyarat itu jelas memerlukan waktu
panjang karena harus disemaikan sejak dari bibitnya.
Salah satu syarat penting bagi demokrasi untuk tumbuh dan
menguat dalam masyarakat adalah civil
society (CS), yang biasa diterjemahkan sebagai masyarakat sipil, masyarakat
kewargaan atau masyarakat madani. Ihwal tentang apakah Dunia Arab memiliki atau
tidak memiliki CS menjadi subyek perdebatan akademis sejak waktu lama. Sarjana
seperti Ernest Gellner dan Bernard Lewis berargumen, masyarakat Muslim Arab
tidak memiliki lahan sosial-budaya yang kondusif bagi tumbuhnya masyarakat
kewargaan.
Sejumlah sarjana lebih belakangan, seperti Dennis J Sullivan
dan AA Sachedina, berargumen bahwa CS telah tumbuh dalam masyarakat Muslim Arab
sejak waktu lama dalam bentuk kelompok atau organisasi sukarela, asosiasi
perajin, atau paguyuban pedagang. Mereka ini memegang peranan tertentu dalam
menumbuhkan solidaritas dan kohesi sosial di antara para anggotanya.
Hemat saya, CS dalam bentuk ormas besar, seperti NU dan
Muhammadiyah, di Indonesia absen dalam Dunia Arab secara keseluruhan. Memang di
Mesir juga ada CS dalam bentuk asosiasi profesional para dokter atau guru
misalnya. Namun, jelas CS seperti ini hanya tertarik pada hal menyangkut profesi
mereka sendiri; mereka hampir tidak memiliki minat pada dinamika, perkembangan,
dan perubahan politik.
Peran
”civil society”
Ketiadaan CS seperti NU dan Muhammadiyah di Dunia Arab
mengakibatkan terjadinya head-on-collision,
”laga adu kepala” [kambing] di antara dua kubu kekuatan politik di Dunia Arab.
Dalam kasus Mesir, pertarungan hidup-mati terjadi antara militer dan para
pendukungnya melawan Ikhwanul Muslimin (IM). Dalam hal Tunisia, Partai Ennahda,
partai penguasa, melawan partai dan golongan masyarakat Muslim modernis.
Dengan demikian, tidak ada kekuatan penengah dalam
pertarungan kekuasaan di Dunia Arab. Hal ini berbeda dengan CS berbasis Islam
di Indonesia yang menjadi kekuatan penengah dan mediasi dalam transisi yang terjadi
di Indonesia pada 1998-2001 antara kubu militer dan partai-partai politik. CS
Indonesia memainkan peran penyeimbang (balancing
power) di antara pihak-pihak yang terlibat langsung dalam perebutan
kekuasaan.
Lebih lanjut, ketika pertarungan politik menuju ke arah jalan
buntu, CS Indonesia sekaligus tampil memberikan kepemimpinan alternatif yang
relatif bisa diterima mayoritas warga. Hal ini yang terjadi ketika Amien Rais,
sebelumnya Ketua Umum PP Muhammadiyah, dipilih sebagai Ketua MPR.
Selanjutnya
dalam Sidang Umum MPR 1999, Abdurrahman Wahid, sebelumnya Ketua PBNU, dipilih
sebagai Presiden RI. Sebagai kontras, ketiadaan CS di Dunia Arab mengakibatkan
absennya alternatif kepemimpinan di luar kedua kubu yang bertikai.
Tak kurang pentingnya, CS di Indonesia memainkan peran lain
yang tak kurang krusialnya, yaitu memelihara kohesi sosial. Ketika transisi
politik yang begitu cepat menimbulkan gejolak friksi, konflik vertikal dan
horizontal, serta bahkan kekerasan di antara kubu-kubu politik yang bertikai, CS
mampu menjaga keadaban (civility)
para anggotanya yang masif. Tidak heran, sejak dasawarsa 1910-an CS Indonesia
secara langsung atau tidak memainkan peran instrumental dalam penumbuhan civic culture di kalangan para
anggotanya.
Dalam komparasi ini, terlihat negara-negara Arab bakal terus
berada dalam transisi demokrasi sangat sulit, pedih, dan panjang. Indonesia
yang punya pengalaman panjang dengan CS melalui Institute for Peace and Democracy (IPD) sejak bangkitnya ”Arab Spring” menyelenggarakan beberapa
forum ”berbagi pengalaman” (sharing
experiences) dengan sejumlah kalangan pemerintahan, tokoh politik, dan
politisi politik negara-negara Arab, baik di Jakarta, Bali, maupun Kairo.
Namun, masih banyak lagi yang bisa dilakukan Pemerintah Indonesia untuk berbagi
pengalaman dengan warga dan masyarakat Dunia Arab sehingga dapat menginspirasi
penumbuhan civil society dalam
negara-bangsa mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar