Sabtu, 12 Oktober 2013

LPSK yang Lebih Berani

LPSK yang Lebih Berani
Maharani Siti Shopia  Tenaga Ahli Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Airlangga
KOMPAS, 12 Oktober 2013


TERPILIHNYA tujuh anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban akhir September lalu jadi babak baru bagi lembaga yang dibentuk untuk menjamin salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana, yakni keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana.

Perjalanan lima tahun LPSK tentu bukan jalan mulus yang ditemui. Publik tentu ingat, dua tahun setelah terbentuk, publik dikagetkan dugaan keterlibatan dua komisioner LPSK terkait kasus Anggodo Widjojo. Dua komisioner LPSK itu disebut dalam rekaman pembicara yang diputar di sidang Mahkamah Konstitusi (3/11/2009). LPSK pun kemudian menonaktifkan dua komisionernya tersebut.

Selain kepercayaan publik yang masih menjadi kendala bagi LPSK, kesadaran publik terkait pentingnya sebuah kesaksian yang bisa membongkar kasus pidana juga masih rendah. Namun, keberadaan LPSK setidaknya sudah mulai menumbuhkan kesadaran publik tentang pentingnya sebuah kesaksian. Harus diakui keberadaan saksi dan korban, baik berstatus whistleblower (pembuka aib) dan justice collaborator (saksi pelaku yang bekerja sama) menambah energi upaya pengungkapan kasus hukum.

Terungkapnya kasus korupsi, narkotika, dan terorisme, misalnya, tidak sedikit juga dari peran para saksi dan korban tersebut. Akibatnya, posisi saksi dan korban, khususnya yang bersedia membantu penegak hukum mengungkap kasus, cukup rentan terhadap teror dan intimidasi.

Tak heran jika kemudian saksi maupun korban, khususnya dalam tindak pidana, cenderung tidak mau bicara. Kecenderungan yang terjadi mereka khawatir ditempatkan sebagai ”korban untuk kedua kalinya” akibat pengungkapan peristiwa yang dialami, didengar, maupun diketahuinya.

Pengalaman empirik merekam bagaimana saksi dan korban merupakan ilustrasi selintas bahwa perlindungan terhadap mereka kerap menjadi masalah yang krusial. Tiadanya jaminan memadai terhadap saksi dan korban menjadi pemicu mengapa banyak orang enggan menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya.

Tantangan LPSK

Kondisi inilah yang jadi tantangan bagi LPSK untuk bisa menempatkan diri sebagai lembaga mandiri yang berpihak pada perlindungan saksi dan korban. Kehadiran LPSK mestinya menjawab keraguan para saksi dan korban, terutama mereka yang enggan ”terlibat” dalam proses pengungkapan kasus pidana.
Diakui atau tidak, LPSK memang tidak lepas dari kendala. Selain kepercayaan publik, lembaga ini juga dihadapkan pada tiga kendala.

Pertama, kelemahan UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Fakta menunjukkan, kinerja LPSK lima tahun terakhir sedikit terseok. Hal ini tidak lepas dari ketentuan undang-undang yang hanya menang di atas kertas, tapi sulit dilaksanakan di lapangan. Sebut saja dalam hal pemberian restitusi dan kompensasi terhadap korban yang tentu terkait dengan dukungan anggaran yang tidak secara mudah dikucurkan.

Kendala kedua terkait keterbatasan kewenangan LPSK. Terbatasnya kewenangan ini pemicu utama 
sulitnya lembaga ini bergerak lebih cepat dalam penanganan perlindungan saksi dan korban. Sebut saja dalam hal penanganan perlindungan, LPSK cenderung pasif. Hal ini tak lepas dari UU yang membatasi kewenangan perlindungan sebatas pada adanya permohonan tertulis dari saksi dan korban. Ruang proaktif untuk melakukan jemput bola masih belum terbuka.

Ketiga, tidak lepas dari masih suramnya perbedaan perspektif aparat penegak hukum mengenai pentingnya perlindungan saksi dan korban, terutama aparat di daerah. Lemahnya perbedaan perspektif di kalangan aparat penegak hukum ini mengakibatkan pelaksanaan rekomendasi LPSK terseok-seok. Akibatnya, keberadaan LPSK pun cenderung tak berwibawa di mata masyarakat.

Lebih berani

Penyelesaian kendala-kendala tersebut tentu membutuhkan sosok lembaga yang berwibawa. Tentu, lembaganya harus diisi orang-orang yang lebih berani. Dengan kewibawaan lembaga, setidaknya, kendala yang dihadapi LPSK sedikit banyak akan tertangani dengan komitmen dan model kepemimpinan yang berani. Kita harapkan terpilihnya tujuh anggota LPSK, empat di antaranya adalah anggota lama, mampu menjawab ”keraguan” publik pada lembaga ini.

Salah satu langkah yang perlu diperhatikan adalah menguatkan kembali upaya lembaga ini dalam melakukan revisi terhadap UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Salah satu revisi yang ditawarkan adalah tentang pembentukan perwakilan di daerah. Tentu, kendala-kendala yang dihadapi LPSK jika usulan ini lolos, kewenangan LPSK pun kian kuat dan jangkauan perlindungan akan lebih luas.

Periode kedua LPSK mestinya memusatkan energi yang dimiliki pada kepentingan publik, melalui para saksi dan korban dari kasus tindak pidana. Jangan sampai LPSK, yang merupakan instrumen penting dalam upaya penegakan hukum, terjebak dalam muara dari krisis kepercayaan publik pada lembaga hukum.

Tentu publik berharap LPSK tidak menjadi ladang baru bagi praktik transaksi hukum. Meski anggota LPSK dipilih melalui proses politik di DPR, mereka tetaplah hamba-hamba hukum yang semestinya setia mengabdi kepada hukum, bukan kepada politik. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar