|
TERPILIHNYA tujuh anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban akhir September lalu jadi babak baru bagi lembaga yang dibentuk untuk
menjamin salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana, yakni
keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami
sendiri terjadinya suatu tindak pidana.
Perjalanan lima tahun LPSK tentu bukan jalan mulus yang
ditemui. Publik tentu ingat, dua tahun setelah terbentuk, publik dikagetkan
dugaan keterlibatan dua komisioner LPSK terkait kasus Anggodo Widjojo. Dua
komisioner LPSK itu disebut dalam rekaman pembicara yang diputar di sidang
Mahkamah Konstitusi (3/11/2009). LPSK pun kemudian menonaktifkan dua
komisionernya tersebut.
Selain kepercayaan publik yang masih menjadi kendala bagi
LPSK, kesadaran publik terkait pentingnya sebuah kesaksian yang bisa membongkar
kasus pidana juga masih rendah. Namun, keberadaan LPSK setidaknya sudah mulai
menumbuhkan kesadaran publik tentang pentingnya sebuah kesaksian. Harus diakui
keberadaan saksi dan korban, baik berstatus whistleblower (pembuka aib) dan justice collaborator (saksi pelaku yang bekerja sama) menambah
energi upaya pengungkapan kasus hukum.
Terungkapnya kasus korupsi, narkotika, dan terorisme,
misalnya, tidak sedikit juga dari peran para saksi dan korban tersebut.
Akibatnya, posisi saksi dan korban, khususnya yang bersedia membantu penegak
hukum mengungkap kasus, cukup rentan terhadap teror dan intimidasi.
Tak heran jika kemudian saksi maupun korban, khususnya dalam
tindak pidana, cenderung tidak mau bicara. Kecenderungan yang terjadi mereka
khawatir ditempatkan sebagai ”korban untuk kedua kalinya” akibat pengungkapan
peristiwa yang dialami, didengar, maupun diketahuinya.
Pengalaman empirik merekam bagaimana saksi dan korban
merupakan ilustrasi selintas bahwa perlindungan terhadap mereka kerap menjadi
masalah yang krusial. Tiadanya jaminan memadai terhadap saksi dan korban
menjadi pemicu mengapa banyak orang enggan menjadi saksi ataupun tidak berani
mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya.
Tantangan LPSK
Kondisi inilah yang jadi tantangan bagi LPSK untuk bisa
menempatkan diri sebagai lembaga mandiri yang berpihak pada perlindungan saksi
dan korban. Kehadiran LPSK mestinya menjawab keraguan para saksi dan korban,
terutama mereka yang enggan ”terlibat” dalam proses pengungkapan kasus pidana.
Diakui atau tidak, LPSK memang tidak lepas dari kendala.
Selain kepercayaan publik, lembaga ini juga dihadapkan pada tiga kendala.
Pertama, kelemahan UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban. Fakta menunjukkan, kinerja LPSK lima tahun terakhir sedikit
terseok. Hal ini tidak lepas dari ketentuan undang-undang yang hanya menang di
atas kertas, tapi sulit dilaksanakan di lapangan. Sebut saja dalam hal
pemberian restitusi dan kompensasi terhadap korban yang tentu terkait dengan
dukungan anggaran yang tidak secara mudah dikucurkan.
Kendala kedua terkait keterbatasan kewenangan LPSK.
Terbatasnya kewenangan ini pemicu utama
sulitnya lembaga ini bergerak lebih
cepat dalam penanganan perlindungan saksi dan korban. Sebut saja dalam hal
penanganan perlindungan, LPSK cenderung pasif. Hal ini tak lepas dari UU yang
membatasi kewenangan perlindungan sebatas pada adanya permohonan tertulis dari
saksi dan korban. Ruang proaktif untuk melakukan jemput bola masih belum terbuka.
Ketiga, tidak lepas dari masih suramnya perbedaan perspektif
aparat penegak hukum mengenai pentingnya perlindungan saksi dan korban,
terutama aparat di daerah. Lemahnya perbedaan perspektif di kalangan aparat
penegak hukum ini mengakibatkan pelaksanaan rekomendasi LPSK terseok-seok.
Akibatnya, keberadaan LPSK pun cenderung tak berwibawa di mata masyarakat.
Lebih berani
Penyelesaian kendala-kendala tersebut tentu membutuhkan sosok
lembaga yang berwibawa. Tentu, lembaganya harus diisi orang-orang yang lebih
berani. Dengan kewibawaan lembaga, setidaknya, kendala yang dihadapi LPSK
sedikit banyak akan tertangani dengan komitmen dan model kepemimpinan yang
berani. Kita harapkan terpilihnya tujuh anggota LPSK, empat di antaranya adalah
anggota lama, mampu menjawab ”keraguan” publik pada lembaga ini.
Salah satu langkah yang perlu diperhatikan adalah menguatkan
kembali upaya lembaga ini dalam melakukan revisi terhadap UU 13/2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Salah satu revisi yang ditawarkan adalah tentang
pembentukan perwakilan di daerah. Tentu, kendala-kendala yang dihadapi LPSK
jika usulan ini lolos, kewenangan LPSK pun kian kuat dan jangkauan perlindungan
akan lebih luas.
Periode kedua LPSK mestinya memusatkan energi yang dimiliki
pada kepentingan publik, melalui para saksi dan korban dari kasus tindak
pidana. Jangan sampai LPSK, yang merupakan instrumen penting dalam upaya
penegakan hukum, terjebak dalam muara dari krisis kepercayaan publik pada
lembaga hukum.
Tentu publik berharap LPSK tidak menjadi ladang baru bagi
praktik transaksi hukum. Meski anggota LPSK dipilih melalui proses politik di
DPR, mereka tetaplah hamba-hamba hukum yang semestinya setia mengabdi kepada
hukum, bukan kepada politik. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar