|
RUU Penyiaran yang
baru tengah dibahas di DPR. Dua paradigma dalam mengelola penyiaran saling
berkontestasi, yakni paradigma demokratis yang diusung DPR dan otoritarianisme
versi pemerintah. Menurut versi DPR, regulator penyiaran tetap harus dibagi
dua, yakni pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pemerintah
berwenang memberikan izin penetapan frekuensi sesuai dengan mandat International Telecommunication Union
(ITU), sedangkan KPI berhak memberikan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP).
Sedangkan menurut versi pemerintah, KPI lebih baik hanya mengawasi isi siaran, sehingga nama yang lebih pas bukan KPI, melainkan Komisi Pengawas Isi Siaran (KPIS). Tampaknya visi inilah yang coba diadvokasi Abdul Salam Taba, yang dimuat di rubrik Pendapat di Koran Tempo edisi 3 Oktober 2013 berjudul "Ketika Kewenangan KPI Dipersoalkan". Sayangnya, advokasi tersebut memunculkan logika yang kurang tepat. Seolah-olah ketetapan ITU tidak membenarkan KPI mengeluarkan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) karena hanya ada satu administrator telekomunikasi di setiap negara. Padahal KPI boleh mengeluarkan IPP, sementara pemerintah mengeluarkan izin penetapan frekuensi sebagai administrator telekomunikasi.
Di samping itu, argumen yang dibangun dalam artikel juga keliru dan manipulatif dengan mengatakan izin (IPP) merupakan bentuk Keputusan Tata Usaha Negara yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah diubah terakhir dengan UU No. 51/2009 serta bertentangan dengan UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara. Peraturan perundang-undangan tersebut sama sekali tidak melarang KPI mengeluarkan IPP.
Diskusi mengenai siapa regulator penyiaran mempunyai nilai politik (dan ekonomi) yang tinggi karena menyangkut alokasi sumber daya alam yang terbatas. Karena itu, tidak mengherankan jika pemerintah berkukuh agar regulator penyiaran berada di tangannya dengan menempatkan KPI sebatas sebagai pemantau media (media watch). Padahal pemberian kewenangan KPI yang bukan hanya sebatas pengawas isi siaran, tapi juga izin siaran dilatarbelakangi oleh visi demokratis dan pengalaman empiris.
Pertama, sebagai regulator bidang penyiaran, pemerintah telah gagal dalam mengemban amanah Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 beserta turunannya. Implementasi televisi berjaringan dan pembatasan kepemilikan penyiaran sebagaimana diamanatkan undang-undang dan PP Nomor 50 Tahun 2005 tidak pernah ditegakkan oleh Kemenkominfo. Pasal 32 PP Nomor 50 Tahun 2005, misalnya, poin a dengan tegas menyatakan bahwa 1 (satu) badan hukum paling banyak memiliki 2 (dua) izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di 2 (dua) provinsi yang berbeda.
Menurut MK, PP ini merupakan tafsir paling sah atas Pasal 18 UU Nomor 32 Tahun 2002. Namun, sejauh ini, pemerintah tidak melakukan tindakan konkret untuk menegakkan peraturan tersebut. Karena itu, pemerintah sebagai regulator penyiaran telah gagal karena yang justru terjadi pemusatan kepemilikan yang membuat usaha membangun keragaman isi (diversity of content) dan keragaman kepemilikan (diversity of ownership) semakin sulit. Di sinilah sebenarnya harapan kepada KPI itu masih bisa disandarkan, sehingga kewenangannya layak ditambah. Sebaliknya, kewenangan pemerintah layak diamputasi karena gagal mengemban amanah konstitusi dan undang-undang. Di samping itu, di negara demokrasi di dunia, regulator utama penyiaran adalah badan regulator independen (independent regulatory body) semacam KPI. Banyak pihak lupa bahwa lembaga semacam KPI ini juga lembaga negara. KPI dan pemerintah seharusnya menjadi regulator penting karena akan menciptakan kesetimbangan pengawasan (check and balances). Di Amerika, ada Federal Communications Commission (FCC) sebagai lembaga negara independen dan National Telecommunication and Information Administration (NTIA) sebagai lembaga pemerintah yang ikut mengalokasikan frekuensi.
Kedua, kewenangan pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran di tangan Menkominfo membuat monitoring KPI menjadi kurang bermakna. Mestinya, seluruh catatan hasil monitoring KPI menjadi rujukan utama apakah IPP bisa diperpanjang ataukah tidak. Namun terpisahnya kewenangan ini membuat perpanjangan IPP dengan rekam jejak yang dibuat KPI selama periode monitoring menjadi kurang gereget karena kewenangan sepenuhnya pada akhirnya di pemerintah. Di sini, apakah monitoring KPI digunakan sebagai bahan pertimbangan ataukah tidak, menjadi hak prerogatif pemerintah. Akibatnya, meskipun publik melihat bahwa suatu lembaga penyiaran terus-menerus melakukan pelanggaran, izinnya tetap diperpanjang. Karena itu, pemisahan izin penetapan frekuensi dan izin penyelenggaraan penyiaran kiranya menjadi solusi terbaik. Selain tidak menyalahi ITU, pemisahan tersebut akan memberikan kewenangan kepada KPI untuk lebih bisa menegakkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Persoalannya kemudian apakah hal itu tidak menciptakan kekuasaan absolut yang mengarah ke korupsi? Jawabannya tentu tidak. Pertama, lembaga pemerintah sudah lama mengidap penyakit korupsi, sehingga jika berbicara mengenai korupsi maka birokrasi pemerintahan itulah yang secara jelas mengidap penyakit korupsi. Kedua, masa tugas anggota KPI adalah tiga tahun berdasarkan UU lama atau lima tahun berdasarkan draf yang baru. Jika mereka melakukan korupsi baik sendiri-sendiri ataupun berjemaah, akan jauh lebih mudah menggantinya dibanding pemerintah beserta birokrasinya. Birokrasi pemerintah tetap hidup meskipun presiden berganti.
Selama ini memang ada banyak pandangan manipulatif yang coba dikemukakan untuk menghambat KPI sebagai regulator penyiaran dengan kewenangan mengeluarkan IPP. Satu di antaranya adalah jika KPI diberi kewenangan memberi izin IPP, akan tercipta lembaga yang sangat kuat karena menggabungkan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yustisi. Namun pandangan ini tidak benar. Ajaran trias politica adalah pembuat undang-undang, kekuasaan menyelenggarakan pemerintahan, dan kekuasaan di bidang hukum memang tidak boleh digabungkan karena akan menciptakan negara fasis. Sebaliknya, dalam konteks KPI, seluruh peraturan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang dibuat oleh DPR bersama pemerintah.
Kemudian, KPI juga tidak melaksanakan kewenangan peradilan dalam arti yudikatif, karena jika lembaga penyiaran merasa keberatan maka dapat mengajukan ke pengadilan. Sanksi yang diberikan KPI berdasarkan P3SPS dan sebenarnya hanya melaksanakan perintah undang-undang. Hal yang sama berlaku untuk pemerintah dalam konteks implementasi undang-undang yang lain. Pemerintah mengeluarkan peraturan dan menegakkannya melalui beragam sanksi. Namun tidak pernah ada yang mempersoalkan karena memang seharusnya demikian. Karena itu, dalam usaha menegakkan demokrasi penyiaran, tidak ada alasan lain kecuali memberi kewenangan lebih kepada KPI. ●
Sedangkan menurut versi pemerintah, KPI lebih baik hanya mengawasi isi siaran, sehingga nama yang lebih pas bukan KPI, melainkan Komisi Pengawas Isi Siaran (KPIS). Tampaknya visi inilah yang coba diadvokasi Abdul Salam Taba, yang dimuat di rubrik Pendapat di Koran Tempo edisi 3 Oktober 2013 berjudul "Ketika Kewenangan KPI Dipersoalkan". Sayangnya, advokasi tersebut memunculkan logika yang kurang tepat. Seolah-olah ketetapan ITU tidak membenarkan KPI mengeluarkan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) karena hanya ada satu administrator telekomunikasi di setiap negara. Padahal KPI boleh mengeluarkan IPP, sementara pemerintah mengeluarkan izin penetapan frekuensi sebagai administrator telekomunikasi.
Di samping itu, argumen yang dibangun dalam artikel juga keliru dan manipulatif dengan mengatakan izin (IPP) merupakan bentuk Keputusan Tata Usaha Negara yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah diubah terakhir dengan UU No. 51/2009 serta bertentangan dengan UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara. Peraturan perundang-undangan tersebut sama sekali tidak melarang KPI mengeluarkan IPP.
Diskusi mengenai siapa regulator penyiaran mempunyai nilai politik (dan ekonomi) yang tinggi karena menyangkut alokasi sumber daya alam yang terbatas. Karena itu, tidak mengherankan jika pemerintah berkukuh agar regulator penyiaran berada di tangannya dengan menempatkan KPI sebatas sebagai pemantau media (media watch). Padahal pemberian kewenangan KPI yang bukan hanya sebatas pengawas isi siaran, tapi juga izin siaran dilatarbelakangi oleh visi demokratis dan pengalaman empiris.
Pertama, sebagai regulator bidang penyiaran, pemerintah telah gagal dalam mengemban amanah Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 beserta turunannya. Implementasi televisi berjaringan dan pembatasan kepemilikan penyiaran sebagaimana diamanatkan undang-undang dan PP Nomor 50 Tahun 2005 tidak pernah ditegakkan oleh Kemenkominfo. Pasal 32 PP Nomor 50 Tahun 2005, misalnya, poin a dengan tegas menyatakan bahwa 1 (satu) badan hukum paling banyak memiliki 2 (dua) izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di 2 (dua) provinsi yang berbeda.
Menurut MK, PP ini merupakan tafsir paling sah atas Pasal 18 UU Nomor 32 Tahun 2002. Namun, sejauh ini, pemerintah tidak melakukan tindakan konkret untuk menegakkan peraturan tersebut. Karena itu, pemerintah sebagai regulator penyiaran telah gagal karena yang justru terjadi pemusatan kepemilikan yang membuat usaha membangun keragaman isi (diversity of content) dan keragaman kepemilikan (diversity of ownership) semakin sulit. Di sinilah sebenarnya harapan kepada KPI itu masih bisa disandarkan, sehingga kewenangannya layak ditambah. Sebaliknya, kewenangan pemerintah layak diamputasi karena gagal mengemban amanah konstitusi dan undang-undang. Di samping itu, di negara demokrasi di dunia, regulator utama penyiaran adalah badan regulator independen (independent regulatory body) semacam KPI. Banyak pihak lupa bahwa lembaga semacam KPI ini juga lembaga negara. KPI dan pemerintah seharusnya menjadi regulator penting karena akan menciptakan kesetimbangan pengawasan (check and balances). Di Amerika, ada Federal Communications Commission (FCC) sebagai lembaga negara independen dan National Telecommunication and Information Administration (NTIA) sebagai lembaga pemerintah yang ikut mengalokasikan frekuensi.
Kedua, kewenangan pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran di tangan Menkominfo membuat monitoring KPI menjadi kurang bermakna. Mestinya, seluruh catatan hasil monitoring KPI menjadi rujukan utama apakah IPP bisa diperpanjang ataukah tidak. Namun terpisahnya kewenangan ini membuat perpanjangan IPP dengan rekam jejak yang dibuat KPI selama periode monitoring menjadi kurang gereget karena kewenangan sepenuhnya pada akhirnya di pemerintah. Di sini, apakah monitoring KPI digunakan sebagai bahan pertimbangan ataukah tidak, menjadi hak prerogatif pemerintah. Akibatnya, meskipun publik melihat bahwa suatu lembaga penyiaran terus-menerus melakukan pelanggaran, izinnya tetap diperpanjang. Karena itu, pemisahan izin penetapan frekuensi dan izin penyelenggaraan penyiaran kiranya menjadi solusi terbaik. Selain tidak menyalahi ITU, pemisahan tersebut akan memberikan kewenangan kepada KPI untuk lebih bisa menegakkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Persoalannya kemudian apakah hal itu tidak menciptakan kekuasaan absolut yang mengarah ke korupsi? Jawabannya tentu tidak. Pertama, lembaga pemerintah sudah lama mengidap penyakit korupsi, sehingga jika berbicara mengenai korupsi maka birokrasi pemerintahan itulah yang secara jelas mengidap penyakit korupsi. Kedua, masa tugas anggota KPI adalah tiga tahun berdasarkan UU lama atau lima tahun berdasarkan draf yang baru. Jika mereka melakukan korupsi baik sendiri-sendiri ataupun berjemaah, akan jauh lebih mudah menggantinya dibanding pemerintah beserta birokrasinya. Birokrasi pemerintah tetap hidup meskipun presiden berganti.
Selama ini memang ada banyak pandangan manipulatif yang coba dikemukakan untuk menghambat KPI sebagai regulator penyiaran dengan kewenangan mengeluarkan IPP. Satu di antaranya adalah jika KPI diberi kewenangan memberi izin IPP, akan tercipta lembaga yang sangat kuat karena menggabungkan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yustisi. Namun pandangan ini tidak benar. Ajaran trias politica adalah pembuat undang-undang, kekuasaan menyelenggarakan pemerintahan, dan kekuasaan di bidang hukum memang tidak boleh digabungkan karena akan menciptakan negara fasis. Sebaliknya, dalam konteks KPI, seluruh peraturan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang dibuat oleh DPR bersama pemerintah.
Kemudian, KPI juga tidak melaksanakan kewenangan peradilan dalam arti yudikatif, karena jika lembaga penyiaran merasa keberatan maka dapat mengajukan ke pengadilan. Sanksi yang diberikan KPI berdasarkan P3SPS dan sebenarnya hanya melaksanakan perintah undang-undang. Hal yang sama berlaku untuk pemerintah dalam konteks implementasi undang-undang yang lain. Pemerintah mengeluarkan peraturan dan menegakkannya melalui beragam sanksi. Namun tidak pernah ada yang mempersoalkan karena memang seharusnya demikian. Karena itu, dalam usaha menegakkan demokrasi penyiaran, tidak ada alasan lain kecuali memberi kewenangan lebih kepada KPI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar