Rabu, 09 Oktober 2013

Sektor Pertambangan Rumah Korupsi

Sektor Pertambangan Rumah Korupsi
Siti Maimunah  Ketua Badan Pengarah Jatam
KOMPAS, 09 Oktober 2013


HAMPIR satu setengah dekade undang-undang tentang korupsi diterapkan di Indonesia. Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi juga banyak dipuji-puji. Sayangnya, pengungkapan korupsi di bidang eksploitasi sumber daya alam jalan di tempat.

Februari lalu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa kinerja 247 perusahaan tambang di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur sepanjang 2010-2011. Uji kinerja ini tak berarti dibandingkan percepatan jumlah perizinan yang mencapai 10.667 izin usaha pertambangan (Jatam, 2013). 
Kelambanan pemerintah membuat korupsi menemukan ”rumahnya” di sektor pertambangan.

Belum lagi korupsi yang diungkap bukanlah potret korupsi sejati. Korupsi yang diwacanakan hanyalah korupsi berdimensi kerugian di ranah pengurus negara atau pemerintah. Macam transaksi perizinan, dokumen palsu pengangkutan barang, tunggakan pajak, dan lainnya. Belum menyentuh kerugian sebenarnya dari unsur-unsur negara lain, yaitu rakyat atau warga negara, dan wilayah.

Kerugian negara

Definisi perbuatan korupsi tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU No 20/ 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam dua pasal tersebut, ada enam kali istilah negara dikaitkan dengan korupsi sebagai tindakan yang merugikan negara, keuangan negara, dan perekonomian negara. Padahal, menurut Konvensi Montevideo (1933), negara mempunyai empat unsur konstitutif, yaitu warga negara, wilayah atau lingkungan kekuasaan, penguasa yang berdaulat, dan kesanggupan berhubungan dengan negara lain.

Jika mencermati kasus-kasus korupsi bidang pertambangan, saat ini yang ditangani masih sebatas korupsi pada ranah pemerintah. Padahal, kerugian yang dialami unsur negara lainnya, yaitu rakyat dan wilayah, sangatlah benderang. Hal itu misalnya warga Makroman di Kalimantan Timur yang sawahnya gagal panen berkali-kali karena limbah tambang batubara, atau warga Kampung Gincu di Nusa Tenggara Timur yang tak bisa lagi memanen madu karena hutannya dihancurkan tambang mangan.

Warga dirugikan di atas keuntungan yang didapat perusahaan. Bukankah itu serupa kerugian pemerintah, hanya daur keuangannya berbeda, yang satu masuk ke kas pemerintahan, lainnya masuk ke kas rakyat. Bedanya, pemerintah memiliki perangkat memeriksa korupsi, dan memaksa koruptornya bertanggung jawab, sementara warga tidak. Pada berbagai kesempatan aparat pemerintah justru berpihak kepada perusahaan.

Dimensi ruang dan waktu

Pun kerugian yang dialami wilayah—salah satu unsur negara— tak dilihat sebagai korupsi atau tindakan merugikan negara. Ini terjadi di Samarinda, yang 71 persen kawasannya adalah konsesi tambang batubara. Ada sekitar 150 lubang tambang yang dibiarkan menganga dan mengancam keselamatan warga sekitar. Sudah ada tujuh anak dan remaja meninggal di empat lubang tambang dalam tiga tahun terakhir. Lubang-lubang itu tak ditutup, apalagi direklamasi. Bukankah kerugian bakal ditanggung negara jika kelak terjadi bencana yang lebih dahsyat?

Sekarang pun, Samarinda sudah merugi. Tahun lalu pemerintah kota mengeluarkan dana Rp 850 miliar untuk penanganan banjir, sementara pendapatan dari pertambangan batubara hanya Rp 113 miliar. Bahkan, dana untuk biaya penanganan banjir ini naik tiap tahun sejak sebagian besar wilayah Samarinda menjadi konsesi tambang batubara.

Cerita serupa dijumpai di Provinsi Bangka Belitung. Ratusan lubang-lubang tambang yang berbentuk danau warna-warni beragam ukuran ditinggalkan begitu saja, menjadi sumber derita warga sekitar dan pemerintah daerah. Lubang-lubang itu menjadi sarang nyamuk malaria. Kepala Dinas Kesehatan Bangka Belitung (2011) mengatakan, jentik nyamuk malaria tumbuh subur di danau bekas tambang yang berusia lebih dari lima tahun. Di Pulau Bangka, khususnya, penyebaran malaria termasuk yang tertinggi di Indonesia setelah Papua. Jumlah penderitanya lebih dari 2 juta orang setiap tahun.

Padahal, penyakit malaria pada ibu hamil bisa memicu bayi lahir dengan berat badan rendah (kurang dari 2,5 kilogram), kelahiran prematur dan kematian perinatal (saat baru lahir). Janin yang terpapar parasit malaria dapat mengalami infeksi sehingga sistem imun termodifikasi dan memengaruhi respons terhadap malaria di usia 1-2 tahun.

Logikanya, makin banyak lubang tambang, makin banyak penderita malaria, makin meningkat generasi masa depan yang lahir tak normal. Jika pun sebagian besar pendapatan Bangka Belitung berasal dari tambang, sesungguhnya dana itu tersedot untuk menjawab masalah yang ditimbulkan pertambangan timah di sana, terutama dalam jangka panjang. Salah satunya adalah masalah kesehatan ini.

Kasus Samarinda dan Bangka Belitung menunjukkan kerugian negara berdimensi ruang (spatial) dan waktu (chronos). Di Samarinda pembongkaran batubara di kawasan hulu tak hanya merugikan warga di sekitar tambang, tetapi juga meluas hingga Kota Samarinda lewat langganan banjir. Dari 29 lokasi banjir kini meluas menjadi 35 lokasi banjir.

Di Bangka Belitung, pengerukan beberapa puluh tahun lalu meninggalkan ratusan lubang, dan memicu tingginya penyakit malaria lima hingga sepuluh tahun kemudian.

Celakanya, korupsi di bidang pertambangan yang merugikan warga negara dan wilayah ini tak tersentuh hukum. Padahal, keduanya berpotensi paling besar merugikan negara.

BPK dan KPK serta aparat penegak hukum lainnya harus mengubah paradigma mengurus korupsi di pertambangan. Kerugian rakyat dan wilayah sekitar tambang mesti dilihat sebagai korupsi yang merugikan negara dengan kerugian yang berdimensi ruang dan waktu. Jika tidak, mungkin undang-undang korupsi harus diubah, cukuplah mencantumkan korupsi sebagai merugikan keuangan pemerintah atau perekonomian pemerintah semata. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar