|
HAMPIR satu setengah dekade
undang-undang tentang korupsi diterapkan di Indonesia. Kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi juga banyak dipuji-puji. Sayangnya, pengungkapan korupsi
di bidang eksploitasi sumber daya alam jalan di tempat.
Februari lalu, Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) memeriksa kinerja 247 perusahaan tambang di Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Timur sepanjang 2010-2011. Uji kinerja ini tak berarti
dibandingkan percepatan jumlah perizinan yang mencapai 10.667 izin usaha
pertambangan (Jatam, 2013).
Kelambanan pemerintah membuat korupsi menemukan
”rumahnya” di sektor pertambangan.
Belum lagi korupsi yang diungkap
bukanlah potret korupsi sejati. Korupsi yang diwacanakan hanyalah korupsi
berdimensi kerugian di ranah pengurus negara atau pemerintah. Macam transaksi
perizinan, dokumen palsu pengangkutan barang, tunggakan pajak, dan lainnya.
Belum menyentuh kerugian sebenarnya dari unsur-unsur negara lain, yaitu rakyat
atau warga negara, dan wilayah.
Kerugian negara
Definisi perbuatan korupsi tercantum dalam Pasal
2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU No 20/ 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam dua pasal tersebut, ada enam kali istilah negara
dikaitkan dengan korupsi sebagai tindakan yang merugikan negara, keuangan
negara, dan perekonomian negara. Padahal, menurut Konvensi Montevideo (1933),
negara mempunyai empat unsur konstitutif, yaitu warga negara, wilayah atau
lingkungan kekuasaan, penguasa yang berdaulat, dan kesanggupan berhubungan
dengan negara lain.
Jika mencermati kasus-kasus korupsi
bidang pertambangan, saat ini yang ditangani masih sebatas korupsi pada ranah
pemerintah. Padahal, kerugian yang dialami unsur negara lainnya, yaitu rakyat
dan wilayah, sangatlah benderang. Hal itu misalnya warga Makroman di Kalimantan
Timur yang sawahnya gagal panen berkali-kali karena limbah tambang batubara,
atau warga Kampung Gincu di Nusa Tenggara Timur yang tak bisa lagi memanen madu
karena hutannya dihancurkan tambang mangan.
Warga dirugikan di atas keuntungan
yang didapat perusahaan. Bukankah itu serupa kerugian pemerintah, hanya daur
keuangannya berbeda, yang satu masuk ke kas pemerintahan, lainnya masuk ke kas
rakyat. Bedanya, pemerintah memiliki perangkat memeriksa korupsi, dan memaksa
koruptornya bertanggung jawab, sementara warga tidak. Pada berbagai kesempatan
aparat pemerintah justru berpihak kepada perusahaan.
Dimensi ruang dan waktu
Pun kerugian yang dialami
wilayah—salah satu unsur negara— tak dilihat sebagai korupsi atau tindakan
merugikan negara. Ini terjadi di Samarinda, yang 71 persen kawasannya adalah
konsesi tambang batubara. Ada sekitar 150 lubang tambang yang dibiarkan
menganga dan mengancam keselamatan warga sekitar. Sudah ada tujuh anak dan
remaja meninggal di empat lubang tambang dalam tiga tahun terakhir.
Lubang-lubang itu tak ditutup, apalagi direklamasi. Bukankah kerugian bakal
ditanggung negara jika kelak terjadi bencana yang lebih dahsyat?
Sekarang pun, Samarinda sudah
merugi. Tahun lalu pemerintah kota mengeluarkan dana Rp 850 miliar untuk penanganan
banjir, sementara pendapatan dari pertambangan batubara hanya Rp 113 miliar.
Bahkan, dana untuk biaya penanganan banjir ini naik tiap tahun sejak sebagian
besar wilayah Samarinda menjadi konsesi tambang batubara.
Cerita serupa dijumpai di Provinsi
Bangka Belitung. Ratusan lubang-lubang tambang yang berbentuk danau warna-warni
beragam ukuran ditinggalkan begitu saja, menjadi sumber derita warga sekitar
dan pemerintah daerah. Lubang-lubang itu menjadi sarang nyamuk malaria. Kepala
Dinas Kesehatan Bangka Belitung (2011) mengatakan, jentik nyamuk malaria tumbuh
subur di danau bekas tambang yang berusia lebih dari lima tahun. Di Pulau
Bangka, khususnya, penyebaran malaria termasuk yang tertinggi di Indonesia
setelah Papua. Jumlah penderitanya lebih dari 2 juta orang setiap tahun.
Padahal, penyakit malaria pada ibu
hamil bisa memicu bayi lahir dengan berat badan rendah (kurang dari 2,5
kilogram), kelahiran prematur dan kematian perinatal (saat baru lahir). Janin
yang terpapar parasit malaria dapat mengalami infeksi sehingga sistem imun
termodifikasi dan memengaruhi respons terhadap malaria di usia 1-2 tahun.
Logikanya, makin banyak lubang
tambang, makin banyak penderita malaria, makin meningkat generasi masa depan
yang lahir tak normal. Jika pun sebagian besar pendapatan Bangka Belitung
berasal dari tambang, sesungguhnya dana itu tersedot untuk menjawab masalah
yang ditimbulkan pertambangan timah di sana, terutama dalam jangka panjang.
Salah satunya adalah masalah kesehatan ini.
Kasus Samarinda dan Bangka Belitung
menunjukkan kerugian negara berdimensi ruang (spatial) dan waktu (chronos).
Di Samarinda pembongkaran batubara di kawasan hulu tak hanya merugikan warga di
sekitar tambang, tetapi juga meluas hingga Kota Samarinda lewat langganan
banjir. Dari 29 lokasi banjir kini meluas menjadi 35 lokasi banjir.
Di Bangka Belitung, pengerukan
beberapa puluh tahun lalu meninggalkan ratusan lubang, dan memicu tingginya
penyakit malaria lima hingga sepuluh tahun kemudian.
Celakanya, korupsi di bidang
pertambangan yang merugikan warga negara dan wilayah ini tak tersentuh hukum.
Padahal, keduanya berpotensi paling besar merugikan negara.
BPK dan KPK serta aparat penegak
hukum lainnya harus mengubah paradigma mengurus korupsi di pertambangan.
Kerugian rakyat dan wilayah sekitar tambang mesti dilihat sebagai korupsi yang
merugikan negara dengan kerugian yang berdimensi ruang dan waktu. Jika tidak,
mungkin undang-undang korupsi harus diubah, cukuplah mencantumkan korupsi
sebagai merugikan keuangan pemerintah atau perekonomian pemerintah semata.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar