|
KESULITAN
likuiditas jangka pendek perekonomian nasional dewasa ini perlu segera
ditangani secara hati-hati. Hal ini untuk mencegah terjadi masalah solvabilitas
yang menimbulkan krisis yang tidak diharapkan. Ancaman krisis dimaksud adalah
bersumber dari pinjaman luar negeri perbankan dan dunia usaha serta arus balik
investasi modal jangka pendek ke luar negeri.
Keadaan menjadi sulit karena
berakhirnya boom komoditas primer yang kita nikmati selama ini, telah
menurunkan penerimaan ekspor. Sementara itu, kemerosotan harga Surat Utang
Negara (SUN), Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan efek-efek di dalam negeri
telah menurunkan nilai aset pemiliknya, terutama lembaga keuangan seperti bank,
asuransi, dana pensiun dan reksa dana sehingga mengganggu kecukupan modal dan
likuiditas mereka. Kemerosoton harga efek-efek tersebut semakin cepat terjadi
karena 34 persen dari efek-efek itu dikuasai investor asing yang mulai
meninggalkan Indonesia.
Di lain pihak, beban pembayaran
utang luar negeri meningkat akibat dari naiknya tingkat suku bunga pinjaman di
pasar dunia dan erosi nilai tukar rupiah.
Penanaman
modal asing
Untuk mengatasi kesulitan
likuiditas tersebut, dalam jangka pendek, pemerintah dan BI perlu segera
mengundang lebih banyak penanaman modal asing, mengupayakan pinjaman baru untuk
menguatkan cadangannya, termasuk pinjaman siaga dan fasilitas swap valuta
asing dari bank-bank sentral mitra dagang Indonesia. Tujuannya adalah untuk
mencegah terjadinya resource transfer yang negatif dan gagal bayar
jika kewajiban pengeluaran devisa untuk mengimpor dan membayar utang lebih
besar daripada pemasukannya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan
Bank Indonesia (BI) perlu meningkatkan pengawasan atas lembaga keuangan serta
monitoring pinjaman luar negeri dunia usaha. Pemerintah dan BI perlu segera
melakukan reformasi secara struktural, korporatisasi BUMN, menguatkan lembaga
sosial, dan mengatasi kelangkaan infrastruktur. Tujuan dari reformasi itu
adalah untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi perekonomian agar secara
perlahan, dalam jangka menengah dan panjang, dapat menambah perolehan devisa
dan menciptakan lapangan kerja di kampung halaman sendiri.
Sejak beberapa tahun terakhir,
kecuali pada tahun 2008, neraca pembayaran Indonesia terus-menerus mengalami
surplus karena adanya surplus pada neraca berjalan dan neraca modal. Adanya
surplus pada kedua neraca itu telah memungkinkan BI memupuk cadangan luar
negerinya dan adakalanya membiarkan nilai tukar rupiah menguat terhadap mata uang
asing. Yang terakhir ini membuat ekspor kalah bersaing di pasar dunia, tetapi
membuat harga barang impor menjadi lebih murah sehingga menyumbang pada
pengendalian tingkat laju inflasi. Surplus pada neraca berjalan terjadi akibat
dari adanya boom sumber energi beserta komoditas primer lain maupun
bahan makanan karena adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi di China dan India,
rata-rata sebesar 9-10 persen per tahun selama 30 tahun terakhir.
Kecuali pada tahun 2005 dan 2008,
jumlah pemasukan modal jangka pendek lebih besar daripada pemasukan investasi
modal asing. Selain membeli aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN),
sebagian besar dari investasi modal swasta asing adalah berupa investasi baru
di sektor perkebunan sawit dan pertambangan batubara serta migas maupun
perikanan. Sebagian lainnya digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur
seperti jalan tol, telepon, dan pembangkit tenaga listrik.
Modal jangka pendek masuk ke
Indonesia melalui berbagai saluran, yakni pinjaman perbankan, dunia usaha,
ataupun investasi dalam surat-surat berharga. Pinjaman luar negeri perbankan
lebih mudah mengontrolnya karena dibatasi oleh aturan net open position (NOP)
yang membatasinya hanya sebesar 20 persen dari modal bank. Sementara itu,
pinjaman sektor korporat sulit untuk mengetahui dan mengontrolnya. Sejumlah
perusahaan besar di berbagai sektor ekonomi, seperti pertambangan, perkebunan,
perikanan, industri, maupun real estat, meminjam modal dari bank-bank asing
dari luar negeri karena bank-bank nasional belum mampu untuk memenuhi keperluan
pembelanjaan mereka.
Untuk memudahkan urusan dengan
lembaga keuangan internasional tersebut, hampir semua perusahaan besar
Indonesia memiliki kantor di Singapura. Selain mengurus urusan perbankan,
beberapa di antaranya sekaligus melakukan penggelapan kewajiban pajak (tax
avoidance dan transfer pricing)
sebagaimana tecermin dari kasus penggelapan pajak oleh Asian Agri. Akibatnya,
rasio penerimaan pajak di Indonesia termasuk yang terendah di dunia, yakni 13
persen dari PDB.
Modal
jangka pendek
Modal asing yang diinvestasikan
dalam bentuk surat-surat berharga terjadi karena dirangsang oleh tingginya
perbedaan antara tingkat suku bunga di Indonesia dan di luar negeri. Rendahnya
suku bunga internasional juga berkaitan dengan kebijakan injeksi likuiditas
secara besar-besaran (quantitative easing/QE)
di Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa sebagai upaya untuk menggerakkan
kembali perekonomiannya. Modal asing jangka pendek ini masuk ke dalam pasar
uang dan modal Indonesia yang masih dangkal dan sempit. Instrumen yang ada di
dalamnya hanya terbatas pada SUN, SBI, ataupun efek-efek yang dijual di Bursa
Efek Indonesia. SUN yang terbesar adalah dikeluarkan tahun 1998 untuk
menguatkan kembali modal bank dan membersihkan bukunya setelah kolaps pada
waktu krisis 1997.
Kreditor ataupun investor asing juga percaya bahwa Indonesia
mampu melunasi utang luar negerinya karena ekonominya yang tumbuh baik,
rata-rata 5-6 setahun. Sementara itu, tingkat laju inflasi dan kurs rupiah juga
relatif stabil, sedangkan kenaikan cadangan devisa serta boomkomoditas
primer pun mencerminkan adanya kemampuan Indonesia untuk melunasi utang luar
negerinya.
Boom bahan mentah berakhir
mulai pertengahan 2011 dan sejak itu tingkat harganya terus merosot dengan tajam.
Sementara itu, modal jangka pendek mulai meninggalkan Indonesia setelah bank
sentral Amerika Serikat (The Fed)
mengumumkan rencananya untuk secara perlahan mengurangi (tapering off) QE dari
tingkat 85 miliar dollar AS setiap bulan sejak krisis 2008. Alasan tapering off itu adalah karena
sudah mulai ada tanda-tanda perbaikan kondisi perekonomiannya. Berita tentang
pengurangan QE telah meningkatkan tingkat suku bunga. Belakangan ini, The Fed mengumumkan penundaan tapering off karena masih menunggu
penurunan tingkat pengangguran tenaga kerja menjadi setidaknya 7 persen dari
7,3 persen sekarang ini yang diharapkan dapat dicapai akhir 2013 atau tahun
depan. The Fed punya tugas ganda,
yakni menggerakkan perekonomian dan sekaligus mengendalikan tingkat laju inflasi.
Meniru bank sentral Jerman, tugas pokok BI hanya terbatas pada pengendalian
tingkat laju inflasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar