Rabu, 09 Oktober 2013

Likuiditas Jangka Pendek

Likuiditas Jangka Pendek
Anwar Nasution  Guru Besar Fakultas Ekonomi UI
KOMPAS, 09 Oktober 2013


KESULITAN likuiditas jangka pendek perekonomian nasional dewasa ini perlu segera ditangani secara hati-hati. Hal ini untuk mencegah terjadi masalah solvabilitas yang menimbulkan krisis yang tidak diharapkan. Ancaman krisis dimaksud adalah bersumber dari pinjaman luar negeri perbankan dan dunia usaha serta arus balik investasi modal jangka pendek ke luar negeri.

Keadaan menjadi sulit karena berakhirnya boom komoditas primer yang kita nikmati selama ini, telah menurunkan penerimaan ekspor. Sementara itu, kemerosotan harga Surat Utang Negara (SUN), Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan efek-efek di dalam negeri telah menurunkan nilai aset pemiliknya, terutama lembaga keuangan seperti bank, asuransi, dana pensiun dan reksa dana sehingga mengganggu kecukupan modal dan likuiditas mereka. Kemerosoton harga efek-efek tersebut semakin cepat terjadi karena 34 persen dari efek-efek itu dikuasai investor asing yang mulai meninggalkan Indonesia.

Di lain pihak, beban pembayaran utang luar negeri meningkat akibat dari naiknya tingkat suku bunga pinjaman di pasar dunia dan erosi nilai tukar rupiah.

Penanaman modal asing

Untuk mengatasi kesulitan likuiditas tersebut, dalam jangka pendek, pemerintah dan BI perlu segera mengundang lebih banyak penanaman modal asing, mengupayakan pinjaman baru untuk menguatkan cadangannya, termasuk pinjaman siaga dan fasilitas swap valuta asing dari bank-bank sentral mitra dagang Indonesia. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya resource transfer yang negatif dan gagal bayar jika kewajiban pengeluaran devisa untuk mengimpor dan membayar utang lebih besar daripada pemasukannya.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) perlu meningkatkan pengawasan atas lembaga keuangan serta monitoring pinjaman luar negeri dunia usaha. Pemerintah dan BI perlu segera melakukan reformasi secara struktural, korporatisasi BUMN, menguatkan lembaga sosial, dan mengatasi kelangkaan infrastruktur. Tujuan dari reformasi itu adalah untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi perekonomian agar secara perlahan, dalam jangka menengah dan panjang, dapat menambah perolehan devisa dan menciptakan lapangan kerja di kampung halaman sendiri.

Sejak beberapa tahun terakhir, kecuali pada tahun 2008, neraca pembayaran Indonesia terus-menerus mengalami surplus karena adanya surplus pada neraca berjalan dan neraca modal. Adanya surplus pada kedua neraca itu telah memungkinkan BI memupuk cadangan luar negerinya dan adakalanya membiarkan nilai tukar rupiah menguat terhadap mata uang asing. Yang terakhir ini membuat ekspor kalah bersaing di pasar dunia, tetapi membuat harga barang impor menjadi lebih murah sehingga menyumbang pada pengendalian tingkat laju inflasi. Surplus pada neraca berjalan terjadi akibat dari adanya boom sumber energi beserta komoditas primer lain maupun bahan makanan karena adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi di China dan India, rata-rata sebesar 9-10 persen per tahun selama 30 tahun terakhir.

Kecuali pada tahun 2005 dan 2008, jumlah pemasukan modal jangka pendek lebih besar daripada pemasukan investasi modal asing. Selain membeli aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebagian besar dari investasi modal swasta asing adalah berupa investasi baru di sektor perkebunan sawit dan pertambangan batubara serta migas maupun perikanan. Sebagian lainnya digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, telepon, dan pembangkit tenaga listrik.

Modal jangka pendek masuk ke Indonesia melalui berbagai saluran, yakni pinjaman perbankan, dunia usaha, ataupun investasi dalam surat-surat berharga. Pinjaman luar negeri perbankan lebih mudah mengontrolnya karena dibatasi oleh aturan net open position (NOP) yang membatasinya hanya sebesar 20 persen dari modal bank. Sementara itu, pinjaman sektor korporat sulit untuk mengetahui dan mengontrolnya. Sejumlah perusahaan besar di berbagai sektor ekonomi, seperti pertambangan, perkebunan, perikanan, industri, maupun real estat, meminjam modal dari bank-bank asing dari luar negeri karena bank-bank nasional belum mampu untuk memenuhi keperluan pembelanjaan mereka.

Untuk memudahkan urusan dengan lembaga keuangan internasional tersebut, hampir semua perusahaan besar Indonesia memiliki kantor di Singapura. Selain mengurus urusan perbankan, beberapa di antaranya sekaligus melakukan penggelapan kewajiban pajak (tax avoidance dan transfer pricing) sebagaimana tecermin dari kasus penggelapan pajak oleh Asian Agri. Akibatnya, rasio penerimaan pajak di Indonesia termasuk yang terendah di dunia, yakni 13 persen dari PDB.

Modal jangka pendek

Modal asing yang diinvestasikan dalam bentuk surat-surat berharga terjadi karena dirangsang oleh tingginya perbedaan antara tingkat suku bunga di Indonesia dan di luar negeri. Rendahnya suku bunga internasional juga berkaitan dengan kebijakan injeksi likuiditas secara besar-besaran (quantitative easing/QE) di Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa sebagai upaya untuk menggerakkan kembali perekonomiannya. Modal asing jangka pendek ini masuk ke dalam pasar uang dan modal Indonesia yang masih dangkal dan sempit. Instrumen yang ada di dalamnya hanya terbatas pada SUN, SBI, ataupun efek-efek yang dijual di Bursa Efek Indonesia. SUN yang terbesar adalah dikeluarkan tahun 1998 untuk menguatkan kembali modal bank dan membersihkan bukunya setelah kolaps pada waktu krisis 1997. 

Kreditor ataupun investor asing juga percaya bahwa Indonesia mampu melunasi utang luar negerinya karena ekonominya yang tumbuh baik, rata-rata 5-6 setahun. Sementara itu, tingkat laju inflasi dan kurs rupiah juga relatif stabil, sedangkan kenaikan cadangan devisa serta boomkomoditas primer pun mencerminkan adanya kemampuan Indonesia untuk melunasi utang luar negerinya.

Boom bahan mentah berakhir mulai pertengahan 2011 dan sejak itu tingkat harganya terus merosot dengan tajam. Sementara itu, modal jangka pendek mulai meninggalkan Indonesia setelah bank sentral Amerika Serikat (The Fed) mengumumkan rencananya untuk secara perlahan mengurangi (tapering off) QE dari tingkat 85 miliar dollar AS setiap bulan sejak krisis 2008. Alasan tapering off itu adalah karena sudah mulai ada tanda-tanda perbaikan kondisi perekonomiannya. Berita tentang pengurangan QE telah meningkatkan tingkat suku bunga. Belakangan ini, The Fed mengumumkan penundaan tapering off karena masih menunggu penurunan tingkat pengangguran tenaga kerja menjadi setidaknya 7 persen dari 7,3 persen sekarang ini yang diharapkan dapat dicapai akhir 2013 atau tahun depan. The Fed punya tugas ganda, yakni menggerakkan perekonomian dan sekaligus mengendalikan tingkat laju inflasi. Meniru bank sentral Jerman, tugas pokok BI hanya terbatas pada pengendalian tingkat laju inflasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar