|
Nasib Wilfrida Soik (20) tak seindah namanya. Di usia yang
demikian muda, Wilfrida tengah menanti vonis pengadilan yang mungkin akan
mengakhiri hidupnya. Perempuan asal Kolo Ulun, Fatu Rika, Raimanuk, Belu, NTT
itu terancam hukuman mati atas dakwaan pembunuhan dan melanggar Pasal 302 Penal
Code (Kanun Keseksaan) Malaysia.
Kisah tragisnya bermula tiga tahun lalu (2010). Dia bekerja
sebagai PRT pada seorang majikan bernama Yeap Seok Pen (60). Sang majikan kerap
memarahi dan memukuli Wilfrida yang saat itu baru berusia 17 tahun. Tak tahan
perlakuan sang majikan, Wilfrida membela diri. Hari itu, 7 Desember 2010, dia
melawan dan mendorong majikannya hingga terjatuh dan akhirnya meninggal dunia.
Tiga tahun lamanya, Wilfrida mendekam di Penjara Pangkalan
Chepa, Kota Nharu, Kelantan. Proses persidangan pemberkasan kasusnya di Mahkamah
Majistret Pasir Mas, Kelantan, berjalan sangat lambat dan mengalami penundaan
beberapa kali karena laporan visum et repertum korban dari pihak rumah sakit
tidak kunjung selesai. Awal 2012, kasus Wilfrida akhirnya dilimpahkan ke
Mahkamah Tinggi Kota Bharu sebagai mahkamah tingkat pertama yang berwenang
memeriksa pokok perkara. KBRI di Malaysia menunjuk pengacara dari kantor
Raftfizi & Rao untuk membelanya.
Dari keterangan Direktur Migrant Care, Anis Hidayah,
diketahui bahwa Wilfrida diberangkatkan ke Malaysia pada 23 November 2010
melalui jalur Jakarta-Batam-Johor Bahru dengan rekruitmen langsung oleh agen AP
Master. Kemudian, Wilfrida dibawa langsung ke Kota Bharu, Kelantan. Pihak yang
memberangkatkan (AP Master & calonya) memalsukan umur Wilfrida tiga tahun
lebih tua. Dalam paspor, Wilfrida lahir 8 Juni 1989, padahal menurut surat
baptis Gereja Katolik Paroki Roh Kudus di Belu, NTT, Wilfrida dilahirkan 12
Oktober 1993.
Janggal
Potensi hukuman mati untuk Wilfrida Soik sontak membuka
luka lama hubungan panas Indonesia-Malaysia, terutama terkait kondisi TKI di
negeri jiran tersebut. Kasus ini seperti menyiram bara dengan minyak, sangat
mudah memicu sentimen Anti-Malaysia, baik melalui demonstrasi maupun
pernyataan-pernyataan tokoh masyarakat dan pejabat.
Namun, ketimbang mencari-cari kesalahan Malaysia (yang
memang berhak menggelar peradilan yang menimpa warga negaranya), ada baiknya
kita melihat permasalahan mengapa kasus Wilfrida mencuat. Bagaimanapun, proses
yang mengantarkan perempuan ini sampai Malaysia dipenuhi banyak kejanggalan dan
melibatkan pihak-pihak swasta dan pemerintahan.
Pertama, pemalsuan umur dari 17 tahun menjadi 21 tahun,
supaya Wilfrida memenuhi persyaratan sebagai TKI. Fenomena ini sudah biasa
terjadi dan sejauh ini belum ada perlakuan serius untuk mencegahnya dalam
proses pemberangkatan TKI. Berbagai pihak terlibat, mulai dari sponsor (calo),
PJTKI, aparat desa, dinas tenaga kerja, bahkan pihak keluarga TKI itu sendiri.
Keterlibatan lintas-pihak ini demi menikmati rente proses pemberangkatan TKI
yang memang tidak kecil.
Belakangan, Kepala Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat, berharap dapat
mengandalkan KTP elektronik (e-KTP) untuk mendata dan menata sistem TKI yang
semrawut. Namun, selama praktik kongkalikong tidak dipecahkan, secanggih apa
pun e-KTP tidak akan banyak bermanfaat. Selalu ada ruang dan kesempatan yang
dapat dimanfaatkan untuk berbuat curang.
Kedua, masih terkait pemalsuan umur, tidak ada usaha keras
pemerintah memberikan efek jera bagi para pelaku. Belum ada atau sangat sedikit
mereka yang melakukan tindak kejahatan pemalsuan dokumen ini dijerat hukuman
berat. Padahal proses inilah yang menjadi batu lompatan aktivitas trafiking
(perdagangan manusia) seperti menimpa Wilfrida. Tanpa 'efek jera', para pelaku
tidak merasa takut dihukum. Bahkan, mereka menganggap membantu kelancaran
proses tersebut sebagai sumbangsih memajukan ekonomi keluarga calon TKI.
Ketiga, masa pemberangkatan Wilfrida ke Malaysia justru
saat pemberlakuan moratorium TKI ke Malaysia masih berlangsung. Kebijakan
moratorium (penghentian sementara) ditempuh karena pemerintah RI menganggap
Malaysia belum memberikan jaminan perlindungan terhadap TKI penata laksana
rumah tangga (PLRT) yang bekerja di negaranya. Moratorium berlaku sejak 29 Juni
2009 dan berakhir pada 1 Desember 2011. Wilfrida berangkat ke Malaysia November
2010, yang berarti masih dalam masa moratorium.
Moratorium sepertinya hanya dikenakan pada TKI legal, dan
tidak menyasar ke pencegahan pemberangkatan TKI ilegal. Pihak-pihak berwenang
membatasi diri pada urusan stempel (formal), padahal moratorium otomatis memicu
pemberangkatan TKI secara ilegal. Moratorium seharusnya disertai
tindakan-tindakan khusus mencegah TKI-TKI ilegal berhamburan ke tanah seberang.
Selain itu, tidak banyak inovasi yang dikerjakan pemerintah
demi mencegah bertambahnya kasus-kasus ala Wilfrida di masa datang. Pemerintah
masih sangat permisif dalam hal pemberangkatan TKI ke luar negeri, namun
seiring dengan itu, kurang memberikan perlindungan pada TKI mulai dari proses
awal, saat bekerja di negara penempatan, bahkan hingga mereka kembali ke Tanah
Air. Screening atau penyaringan yang memadai tidak jalankan atau bisa
dikesampingkan asalkan TKI segera berangkat dan dipekerjakan.
Kita dapat membayangkan, TKI berumur belia yang
berpengetahuan minim. PLRT sekalipun membutuhkan kecakapan tertentu. Jika
tidak, dikombinasi masalah perbedaan bahasa, si PLRT bisa sering kena damprat
majikan. Persoalan kian runyam apabila si majikan berkarakter keras dan ringan
tangan.
Pengetahuan dan keterampilan PLRT
merupakan bekal sekaligus 'alat' yang melindungi TKI dari persoalan berat yang
berpotensi menimpanya di luar negeri. Dan, adalah tugas negara, bukan PJTKI,
yang memastikan calon-calon TKI memiliki kecakapan sesuai standar yang telah
ditentukan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar