Jumat, 04 Oktober 2013

Pelajaran dari Kasus Wilfrida

Pelajaran dari Kasus Wilfrida
Mulyanah  ;  Ibu Rumah Tangga, Aktif Mengikuti Isu Buruh Migran
SUARA KARYA, 03 Oktober 2013


Nasib Wilfrida Soik (20) tak seindah namanya. Di usia yang demikian muda, Wilfrida tengah menanti vonis pengadilan yang mungkin akan mengakhiri hidupnya. Perempuan asal Kolo Ulun, Fatu Rika, Raimanuk, Belu, NTT itu terancam hukuman mati atas dakwaan pembunuhan dan melanggar Pasal 302 Penal Code (Kanun Keseksaan) Malaysia.

Kisah tragisnya bermula tiga tahun lalu (2010). Dia bekerja sebagai PRT pada seorang majikan bernama Yeap Seok Pen (60). Sang majikan kerap memarahi dan memukuli Wilfrida yang saat itu baru berusia 17 tahun. Tak tahan perlakuan sang majikan, Wilfrida membela diri. Hari itu, 7 Desember 2010, dia melawan dan mendorong majikannya hingga terjatuh dan akhirnya meninggal dunia.

Tiga tahun lamanya, Wilfrida mendekam di Penjara Pangkalan Chepa, Kota Nharu, Kelantan. Proses persidangan pemberkasan kasusnya di Mahkamah Majistret Pasir Mas, Kelantan, berjalan sangat lambat dan mengalami penundaan beberapa kali karena laporan visum et repertum korban dari pihak rumah sakit tidak kunjung selesai. Awal 2012, kasus Wilfrida akhirnya dilimpahkan ke Mahkamah Tinggi Kota Bharu sebagai mahkamah tingkat pertama yang berwenang memeriksa pokok perkara. KBRI di Malaysia menunjuk pengacara dari kantor Raftfizi & Rao untuk membelanya.

Dari keterangan Direktur Migrant Care, Anis Hidayah, diketahui bahwa Wilfrida diberangkatkan ke Malaysia pada 23 November 2010 melalui jalur Jakarta-Batam-Johor Bahru dengan rekruitmen langsung oleh agen AP Master. Kemudian, Wilfrida dibawa langsung ke Kota Bharu, Kelantan. Pihak yang memberangkatkan (AP Master & calonya) memalsukan umur Wilfrida tiga tahun lebih tua. Dalam paspor, Wilfrida lahir 8 Juni 1989, padahal menurut surat baptis Gereja Katolik Paroki Roh Kudus di Belu, NTT, Wilfrida dilahirkan 12 Oktober 1993.

Janggal

Potensi hukuman mati untuk Wilfrida Soik sontak membuka luka lama hubungan panas Indonesia-Malaysia, terutama terkait kondisi TKI di negeri jiran tersebut. Kasus ini seperti menyiram bara dengan minyak, sangat mudah memicu sentimen Anti-Malaysia, baik melalui demonstrasi maupun pernyataan-pernyataan tokoh masyarakat dan pejabat.

Namun, ketimbang mencari-cari kesalahan Malaysia (yang memang berhak menggelar peradilan yang menimpa warga negaranya), ada baiknya kita melihat permasalahan mengapa kasus Wilfrida mencuat. Bagaimanapun, proses yang mengantarkan perempuan ini sampai Malaysia dipenuhi banyak kejanggalan dan melibatkan pihak-pihak swasta dan pemerintahan.

Pertama, pemalsuan umur dari 17 tahun menjadi 21 tahun, supaya Wilfrida memenuhi persyaratan sebagai TKI. Fenomena ini sudah biasa terjadi dan sejauh ini belum ada perlakuan serius untuk mencegahnya dalam proses pemberangkatan TKI. Berbagai pihak terlibat, mulai dari sponsor (calo), PJTKI, aparat desa, dinas tenaga kerja, bahkan pihak keluarga TKI itu sendiri. Keterlibatan lintas-pihak ini demi menikmati rente proses pemberangkatan TKI yang memang tidak kecil.

Belakangan, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat, berharap dapat mengandalkan KTP elektronik (e-KTP) untuk mendata dan menata sistem TKI yang semrawut. Namun, selama praktik kongkalikong tidak dipecahkan, secanggih apa pun e-KTP tidak akan banyak bermanfaat. Selalu ada ruang dan kesempatan yang dapat dimanfaatkan untuk berbuat curang.

Kedua, masih terkait pemalsuan umur, tidak ada usaha keras pemerintah memberikan efek jera bagi para pelaku. Belum ada atau sangat sedikit mereka yang melakukan tindak kejahatan pemalsuan dokumen ini dijerat hukuman berat. Padahal proses inilah yang menjadi batu lompatan aktivitas trafiking (perdagangan manusia) seperti menimpa Wilfrida. Tanpa 'efek jera', para pelaku tidak merasa takut dihukum. Bahkan, mereka menganggap membantu kelancaran proses tersebut sebagai sumbangsih memajukan ekonomi keluarga calon TKI.

Ketiga, masa pemberangkatan Wilfrida ke Malaysia justru saat pemberlakuan moratorium TKI ke Malaysia masih berlangsung. Kebijakan moratorium (penghentian sementara) ditempuh karena pemerintah RI menganggap Malaysia belum memberikan jaminan perlindungan terhadap TKI penata laksana rumah tangga (PLRT) yang bekerja di negaranya. Moratorium berlaku sejak 29 Juni 2009 dan berakhir pada 1 Desember 2011. Wilfrida berangkat ke Malaysia November 2010, yang berarti masih dalam masa moratorium.

Moratorium sepertinya hanya dikenakan pada TKI legal, dan tidak menyasar ke pencegahan pemberangkatan TKI ilegal. Pihak-pihak berwenang membatasi diri pada urusan stempel (formal), padahal moratorium otomatis memicu pemberangkatan TKI secara ilegal. Moratorium seharusnya disertai tindakan-tindakan khusus mencegah TKI-TKI ilegal berhamburan ke tanah seberang.

Selain itu, tidak banyak inovasi yang dikerjakan pemerintah demi mencegah bertambahnya kasus-kasus ala Wilfrida di masa datang. Pemerintah masih sangat permisif dalam hal pemberangkatan TKI ke luar negeri, namun seiring dengan itu, kurang memberikan perlindungan pada TKI mulai dari proses awal, saat bekerja di negara penempatan, bahkan hingga mereka kembali ke Tanah Air. Screening atau penyaringan yang memadai tidak jalankan atau bisa dikesampingkan asalkan TKI segera berangkat dan dipekerjakan.

Kita dapat membayangkan, TKI berumur belia yang berpengetahuan minim. PLRT sekalipun membutuhkan kecakapan tertentu. Jika tidak, dikombinasi masalah perbedaan bahasa, si PLRT bisa sering kena damprat majikan. Persoalan kian runyam apabila si majikan berkarakter keras dan ringan tangan.

Pengetahuan dan keterampilan PLRT merupakan bekal sekaligus 'alat' yang melindungi TKI dari persoalan berat yang berpotensi menimpanya di luar negeri. Dan, adalah tugas negara, bukan PJTKI, yang memastikan calon-calon TKI memiliki kecakapan sesuai standar yang telah ditentukan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar