|
Menjelang akhir tahun, berbagai pihak terkait mulai
kasak-kusuk perihal penentuan upah baru. Tahun 2013 ini terbilang istimewa
lantaran terjadi lonjakan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta, dari sekitar
Rp 1,5 juta pada 2012 menjadi Rp 2,2 juta atau naik 44 persen. Buruh di sekitar
Jakarta (Bekasi, Bogor, Karawang, Cilegon, Tangerang) pun ikut menikmati upah
Rp 2 jutaan. Bahkan kota/kabupaten Tangerang nilai UMK-nya melebihi DKI Jakarta
(Rp 2,203 juta) dan ditasbihkan tertinggi di seluruh Indonesia.
Kalangan pengusaha segera pasang kuda-kuda, agar upah
minimum 2014 tak melonjak lagi. Berbagai upaya dilakukan. Salah satunya
bergandengan tangan dengan sejumlah menteri mewacanakan pembatasan kenaikan
upah. Dalam pertemuan pembahasan upah buruh antara pemerintah (diwakili Hatta
Rajasa, Menko Perekonomian) dan pengusaha (diwakili Sofjan Wanandi, Ketua Umum
Apindo), baru-baru ini muncul dua opsi, kenaikan 20 persen atau kenaikan
seturut nilai inflasi yang ditambahkan sekian persen. Sofjan cenderung ke
pilihan kedua.
Pemerintah bersama Apindo juga tengah mengkaji agar
kenaikan upah minimum dibuat dalam bentuk kebijakan khusus. Nantinya, akan ada
rumusan atau formula baru yang menjadi referensi penentuan upah. Menteri
Perindustrian MS Hidayat menyebut kebijakan khusus itu kira-kira inflation rate
plus certain percent yang bisa didiskusikan di forum tripartit. (Republika, 19/7)
Di luar pendekatan informal itu, pengusaha dan
organisasinya kompak menyebarkan kampanye negatif bertema 'gelombang' PHK yang
diakibatkan UMP terlalu tinggi. Sofjan Wanandi bahkan menyebut UMP di Indonesia
tertinggi se-Asia. (okezone.com, 10/10/2012) Tengara ini muncul setelah
pemberitaan cukup gencar mengenai sejumlah pabrik milik pengusaha Korsel telah
hengkang dari Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Jakarta Timur. Penutupan
pabrik-pabrik itu disebut-sebut mengorbankan 1.200 buruh yang terpaksa di-PHK.
Data Korean Chamber
of Commerce di Indonesia menyebut, sebanyak 63.680 pekerja sudah dirumahkan
per tanggal 31 Juli 2013 dan 15.000 pekerja dalam proses dirumahkan. Disebutkan
juga, jumlah tersebut bisa mencapai 110.000 pekerja tanpa adanya implementasi
penangguhan UMP. Industri garmen tercatat mem-PHK 37.500 orang, industri alas
kaki 18.500 orang, industri elektronik 5.000 orang, industri rambut palsu (wig)
2.000 orang, dan industri mainan anak 680 orang.
Menakut-nakuti
Belakangan, muncul bantahan penutupan 4 pabrik milik
investor Korsel. Menurut aktivis buruh yang berbasis di KBN Cakung, Jumisih, PT
Hansoll Indo I sama sekali tidak tutup dan masih beroperasi hingga sekarang.
Jumisih menyampaikan bahwa empat pabrik yang disebut pihak Kadin, tutup, tetap
ada di Cakung. Jumisih bahkan menantang para jurnalis melakukan cross-check ke
lapangan. Pihak Apindo juga mengakui penutupan pabrik-pabrik itu masih rumor. (detik.com, 21/8)
Menakertrans Muhaimin Iskandar pun membantah adanya isu
penutupan perusahaan di kawasan industri Jakarta dan sekitarnya, yang
menyebabkan aksi PHK massal terhadap pekerjanya akibat faktor kenaikan upah.
Menurut Muhaimin, pihaknya belum mendapat laporan mengenai adanya PHK di
kawasan-kawasan industri seperti di Cakung. (okezone.com, 20/8)
Sedangkan klaim beberapa sumber milik pengusaha yang
menyampaikan puluhan ribu buruh sektor padat karya mengalami PHK sulit
diverifikasi kebenarannya. Meskipun itung-itungan itu benar, puluhan ribu buruh
ter-PHK bukanlah hal istimewa.
Pertama, setiap tahun pabrik-pabrik selalu melakukan
konsolidasi, termasuk kebutuhan terhadap pekerjanya. Pabrik-pabrik padat karya
memiliki buruh yang sangat banyak (bisa mencapai puluhan ribu orang dalam satu
pabrik), sehingga wajar terdapat dinamika perburuhan (baca: PHK) yang terkesan
berjumlah besar. Namun perlu dicatat, arus pekerja sebaliknya (penerimaan
pekerja baru) cenderung besar pula.
Kedua, sistem kerja kontrak dan outsourcing (tenaga alih daya) menambah sumir besaran pasti buruh
ter-PHK. Saat ini nyaris seluruh penerimaan buruh baru melalui mekanisme
kontrak atau alih daya. Dengan sistem ini, perusahaan dapat sesuka hati memutus
kontrak atau tak memperpanjangnya, yang berarti juga di-PHK. Fenomena ini akan
terus ada sepanjang kedua sistem itu berlaku dan tak berhubungan langsung
dengan upah minimum. Pabrik-pabrik padat karya di daerah ber-UMK rendah pun
tetap memberlakukan putus-sambung kontrak para buruhnya. Putus kontrak
(perpanjangan kontrak kadang dilakukan berjeda beberapa bulan, misalnya, saat
menghindari masa pembayaran THR) tetap terhitung sebagai PHK.
Ketiga, industri alas kaki dan garmen merupakan sektor
industri padat karya yang menyerap sedikitnya 4 juta tenaga kerja, dan PHK
terhadap 40 ribuan buruhnya bukan hal yang luar biasa. Proporsinya hanya 1
persen dan jelas masih bisa ditoleransi. Dalam hal ini, Apindo juga tak
mengungkap apakah sepanjang tahun ini sama sekali tak ada penerimaan buruh baru
di dua sektor tersebut. Biro Pusat Statistik (BPS) justru menggambarkan
perkembangan positif. Jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada Februari
2013 mencapai 114 juta orang, bertambah 3,2 juta orang dibanding Agustus 2012.
Selama setahun terakhir - dua bulan pertama 2013 sudah berlaku UMP baru -
jumlah penduduk yang bekerja mengalami kenaikan terutama di Sektor Perdagangan
sebanyak 790 ribu orang (3,29 persen), Sektor Konstruksi 790 ribu orang (12,95
persen), serta Sektor Industri 570 ribu orang (4,01 persen).
Gembar-gembor PHK massal ini patut dicurigai sebagai upaya
menakut-nakuti pengambil kebijakan agar tak menaikkan upah minimum
tinggi-tinggi. Apalagi, di tengah desakan kalangan serikat buruh yang menuntut
UMP naik hingga 50 persen, sebagai imbas langsung kenaikan BBM dan inflasi yang
menggerus daya beli buruh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar