|
Sejak Papua bergabung dengan Republik Indonesia, 1 Mei
1963, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menyelesaikan
konflik Papua.
Pada masa Orde Baru, pemerintah berupaya menyelesaikan
konflik Papua melalui pendekatan keamanan dengan mengedepankan militer dan
senjata.
Memasuki Orde Reformasi, pemerintah mengutamakan pendekatan
kesejahteraan. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan otonomi khusus
(otsus) sebagai tanggapan atas tuntutan Papua merdeka.
Kebijakan ini ditetapkan tanggal 21 November 2001 melalui
UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua. Diandaikan
bahwa konflik Papua akan diselesaikan tanpa pertumpahan darah melalui
implementasi UU Otsus secara efektif dan konsisten.
Setahun kemudian, pemerintah meluncurkan kebijakan
pemekaran kabupaten. Pada 11 Desember 2002, pemerintah membentuk 14 kabupaten
baru di Papua melalui UU Nomor 26 Tahun 2002.
Pada 21 Januari 2003, pemerintah memekarkan Provinsi Irian
Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat dari Provinsi Papua melalui Inpres Nomor 1
Tahun 2003. Kebijakan ini memicu perang suku di Timika yang membatalkan
pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah.
Setelah melakukan pemekaran provinsi dan kabupaten,
pemerintah melihat pentingnya percepatan pembangunan. Pada 16 Mei 2007,
pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.
Empat tahun kemudian, tepatnya 20 September 2011,
pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2011
tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (P4B).
Untuk melaksanakan Perpres ini, pemerintah membentuk satu
unit khusus melalui Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B). Masa kerja unit ini
akan berakhir tahun 2014.
Pada 17 Oktober 2012, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor
84 tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Rangka Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Dalam Perpres ini, orang asli Papua
diberikan kesempatan dan peranan yang lebih besar dalam pengadaan barang dan
jasa pemerintah di kedua provinsi ini.
Seraya mengakui dampak positif yang dialami orang Papua,
kebijakan-kebijakan ini tidak berhasil meredam konflik Papua. Terbukti konflik
Papua masih saja membara dan terus merenggut nyawa, baik warga sipil maupun
personel TNI dan Polri. Korban mungkin akan terus berjatuhan dan bertambah.
Pertanyaan yang patut diajukan adalah sekali pun pemerintah
telah mengedepankan pendekatan kesejahteraan, memberikan status otsus,
mengucurkan dana triliunan rupiah, membagi Papua menjadi dua provinsi,
melipatgandakan jumlah kabupaten, dan mempercepat pembangunan, mengapa semua
kebijakan ini belum berhasil menyelesaikan konflik Papua?
Solusi Komprehensif
Penyebab utama dari belum tuntasnya penyelesaian konflik
Papua melalui kebijakan-kebijakan di atas, menurut saya, karena belum ada
solusi yang komprehensif.
Konflik Papua lebih sering diidentikkan dengan masalah
ekonomi. Dengan berasumsi konflik Papua akan hilang dengan sendirinya ketika
orang Papua menikmati kesejahteraan ekonomi, pemerintah lebih memperhatikan
bidang ketahanan pangan, pengurangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur dasar.
Perlu disadari bahwa selain masalah ekonomi, konflik Papua
mengandung masalah ke-Indonesiaan. Masih ada orang Papua yang belum mengakui
dirinya sebagai orang Indonesia. Masalah ini merupakan beban politik bagi
pemerintah dan setiap Presiden Indonesia.
Ada juga persoalan benturan budaya antara Melayu versus
Melanesia. Ada perbedaan penafsiran atas sejarah bergabungnya Papua dengan
Indonesia. Papua juga merupakan satu-satunya daerah yang bergabung dengan
Indonesia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dengan demikian, konflik Papua mempunyai dimensi ekonomi,
politik, budaya, sejarah, keamanan, dan internasional. Oleh karena itu, solusi
parsial tidak akan menyelesaikan konflik Papua. Kompleksitas dan multidimensionalitas
konflik Papua menuntut suatu solusi komprehensif yang mengakomodasi dan mampu
menjawab semua dimensi permasalahan.
Pemerintah tidak boleh memandang dirinya sebagai
satu-satunya pihak yang mampu mengatasi konflik Papua. Hal ini karena
pemerintah terbukti tidak berhasil menyelesaikan konflik Papua melalui berbagai
kebijakan yang ditetapkannya tanpa keterlibatan pihak lain.
Apabila konflik Papua mau diselesaikan secara permanen,
pemerintah harus merangkul semua pemangku kepentingan agar secara bersama-sama
mencari solusi yang komprehensif. Perlu ditetapkan mekanisme inklusif yang
dapat memungkinkan keterlibatan semua pihak yang berkepentingan dalam pembuatan
kebijakan.
Secara khusus, pemerintah tidak perlu takut melibatkan
orang Papua yang bergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perlu disadari
bahwa sebagus apa pun kebijakan pemerintah, tidak dapat menyelesaikan konflik
Papua apabila tidak berkonsultasi dengan kelompok OPM.
OPM terdiri atas tiga kelompok, yakni orang Papua yang
melakukan perlawanan di kota dan kampung, mereka yang bergerilya di hutan
dengan nama Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB), dan orang Papua
yang hidup di luar negeri. Ketiga kelompok ini harus dilibatkan semuanya dalam
pembahasan solusi yang komprehensif.
Pemerintah perlu mendorong mereka untuk berkumpul,
berdiskusi, dan merumuskan pandangan kolektifnya tentang kebijakan yang
komprehensif bagi penyelesaian konflik Papua.
Dengan demikian, solusi komprehensif untuk Papua dicari dan
ditetapkan secara bersama, serta diterima semua pemangku kepentingan, termasuk
kelompok OPM. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar