Jumat, 11 Oktober 2013

MK, Demokrasi dan Pilkada

MK, Demokrasi dan Pilkada
Ahmad Syafii Maarif  Pendiri Maarif Institute
KOMPAS, 11 Oktober 2013


MAHKAMAH Konstitusi adalah perangkat hukum untuk sebuah negara modern, di samping Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial. Tujuan pembentukannya adalah agar sistem demokrasi dapat berjalan dengan baik, sehat, dan kuat di bawah pengawasan lembaga hukum yang kuat dan independen.


Untuk Indonesia, ketiga lembaga itu lahir dari rahim gerakan reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 sebagai antitesis terhadap sistem politik autoritarian yang berlangsung selama hampir 40 tahun (1959-1998) sebelumnya.

Apa yang disebut sebagai Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan Demokrasi Pancasila (1966-1998) hanyalah demokrasi dalam nama, sedangkan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, praktik kekuasaan yang dikembangkan sepenuhnya bercorak antidemokrasi. ”Segalanya akan ada dalam sistem ini, kecuali demokrasi,” tulis Mohammad Natsir, tokoh Masyumi, sekitar lima dasawarsa yang lalu.

Demokrasi dan sumpah jabatan

Saking kuatnya arus publik untuk berdemokrasi yang harus beroperasi dalam bingkai konstitusi agar tidak melenceng, dibentuklah Mahkamah Konstitusi melalui Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2001 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tertanggal 13 Agustus 2003, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Menurut undang-undang ini, Mahkamah Konstitusi adalah ”salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Sangat jelas kedudukan lembaga ini dalam konteks sebuah negara hukum berdasarkan sistem demokrasi. Secara teoretik konstitusional, bangsa ini memiliki keinginan luhur untuk merasakan kehidupan politik yang terbuka dan berkeadilan, sesuai cita-cita proklamasi yang belum juga kunjung menjadi kenyataan. Demokrasi tanpa dikawal oleh tegaknya hukum dan elite politik yang bertanggung jawab pasti menjadi liar dan anarkistis. Maka adalah sebuah tragedi maut bagi demokrasi di Indonesia saat seorang ketua Mahkamah Konstitusi menjadi pasien Komisi Pemberantasan Korupsi. Tetapi, itulah yang terjadi.

Selama lebih dari 68 tahun kita merdeka, cita-cita luhur bagi tegaknya sistem demokrasi yang sehat tidak pernah mati, sekalipun sering disalahgunakan oleh elite puncak negara untuk menumpuk kuasa, pengaruh, dan benda. Demikian agungnya nilai demokrasi sehingga seorang Bung Hatta pada tahun 1960 sampai kepada kesimpulan: ”Lenyap demokrasi berarti lenyap Indonesia merdeka”. Bagi Hatta, proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 juga mengandung pesan utama bahwa bangsa ini telah dengan mantap memilih sistem demokrasi, sekalipun pernah ditindas saat penguasa mengkhianati sumpah jabatannya, tetapi ”tidak akan lenyap di Indonesia”, tulis Hatta.

Ketika sumpah jabatan yang demikian sakral diucapkan hanya dianggap angin lalu oleh mereka yang tunakonstitusi, akibatnya pasti fatal dan destruktif. Di sinilah sebenarnya terletak sumber utama dari segala macam kebusukan dan kebobrokan dalam cara kita mengurus bangsa dan negara. Sumpah itu bagi mereka yang beragama selalu memakai nama Allah dan berjanji untuk setia kepada UUD, tetapi kekuasaan yang tanpa visi moral ternyata telah membencanai perjalanan sejarah modern Indonesia, sedangkan makna Allah dan janji dibuang begitu saja. Bagi saya, sumpah jabatan wajib dibaca berulang-ulang agar kesetiaan kepada UUD tetap terjaga, betapapun godaan kekuasaan dan benda itu selalu saja menyerbu setiap saat.

Di kalangan pemimpin bangsa sejak masa pergerakan nasional, Hatta ada di antara teladan tertinggi yang tidak pernah lumpuh nuraninya berhadapan dengan godaan kekuasaan. Anak bangsa tipe Hatta ini masih banyak jumlahnya di kalangan kita. Hakim Mahkamah Konstitusi yang diberi mandat kekuasaan final dalam memutus sengketa perkara, demi tegaknya konstitusi semestinya selalu ingat akan sumpah jabatannya. Maka apa yang kita tonton sekarang ini adalah rombongan pejabat publik yang diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi karena termakan sumpahnya sendiri. Oleh sebab itu, orang tidak boleh mempermainkan sumpah jabatan itu karena di sanalah integritas seorang pejabat publik diuji dengan ketat dan keras.

Pilkada dan solusi instan

Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 di atas, ada empat wewenang Mahkamah Konstitusi: (1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; (2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945; (3) Memutus pembubaran partai politik; dan (4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dalam pengertian saya, ”pemilihan umum” yang dimaksud adalah pemilihan reguler yang diselenggarakan sekali lima tahun itu, bukan pilkada yang ratusan jumlahnya dengan biaya triliunan rupiah, sebuah pemborosan pundi-pundi negara yang dahsyat. Saya tidak tahu mengapa bahu Mahkamah Konstitusi diberi lagi beban yang teramat berat ini yang ternyata kemudian menjadi sumber godaan yang luar biasa bagi hakim Mahkamah Konstitusi yang tunaintegritas.

Tentang pilkada ini, cobalah tuan dan puan simak jumlah daerah tingkat (dati) I dan daerah tingkat II yang sangat rentan bagi permainan patgulipat jika berurusan dengan fatwa Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat itu. Sampai saat ini di Indonesia ada 34 provinsi (dati I), 409 kabupaten, 93 kota (dati II), plus lima kota administrasi. Calon raja-raja lokal yang jumlahnya ratusan ini saling berlomba memanfaatkan lembaga Mahkamah Konstitusi untuk memenangkan dirinya dalam sengketa pilkada dengan segala sogok yang dijanjikan. Sangat kumuh, sangat busuk. Akibatnya, sistem demokrasi kita telah disandera secara biadab oleh politik uang haram dan sangat destruktif ini.

Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri tampaknya menyadari dampak buruk dari sistem pilkada langsung sebagai buah dari euforia demokrasi di era reformasi. Lalu ingin dikembalikan kepada sistem lama, di mana kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dinilai lebih sederhana dan hemat biaya. Dari perspektif ini, gagasan itu cukup rasional. Tentu dengan mengubah undang-undang tentang otonomi daerah terlebih dulu. Namun, kultur sogok-menyogok dan permainan patgulipat yang sudah menggurita pada semua lini ranah kekuasaan kita pasti akan berpindah ke anggota DPRD yang sebagian besar telah menjadikan politik sebagai sawah dan ladang untuk berebut rezeki. 

Oleh sebab itu, mari kita kaji ulang secara serius pelaksanaan sistem demokrasi kita yang masih sangat jauh dari harapan semua orang. Solusi yang serba instan harus dijauhi karena tidak akan pernah menyembuhkan penyakit kronis yang telah lama merusak perpolitikan bangsa ini.

Dengan segala kemelut dan krisis yang tengah mendera bangsa dan negara di bawah kepemimpinan yang lemah dan rapuh sekarang ini, saya masih percaya pada kekuatan nurani dan akal sehat. Kita pasti dapat menemukan jalan keluar terbaik bagi masa depan kita semua. Syaratnya hanya satu: fungsikan kembali nurani dan akal sehat itu secara berani dalam bangunan kolektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar