|
MAHKAMAH Konstitusi adalah perangkat hukum untuk sebuah
negara modern, di samping Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial.
Tujuan pembentukannya adalah agar sistem demokrasi dapat berjalan dengan baik,
sehat, dan kuat di bawah pengawasan lembaga hukum yang kuat dan independen.
Untuk Indonesia, ketiga lembaga itu lahir dari rahim gerakan
reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 sebagai antitesis terhadap sistem
politik autoritarian yang berlangsung selama hampir 40 tahun (1959-1998)
sebelumnya.
Apa yang disebut sebagai Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan
Demokrasi Pancasila (1966-1998) hanyalah demokrasi dalam nama, sedangkan dalam
praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, praktik kekuasaan yang dikembangkan
sepenuhnya bercorak antidemokrasi. ”Segalanya
akan ada dalam sistem ini, kecuali demokrasi,” tulis Mohammad Natsir, tokoh
Masyumi, sekitar lima dasawarsa yang lalu.
Demokrasi dan sumpah jabatan
Saking kuatnya arus publik untuk berdemokrasi yang harus
beroperasi dalam bingkai konstitusi agar tidak melenceng, dibentuklah Mahkamah
Konstitusi melalui Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2001
yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2003 tertanggal 13 Agustus 2003, pada masa pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri. Menurut undang-undang ini, Mahkamah Konstitusi adalah ”salah satu lembaga negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna
menegakkan hukum dan keadilan”.
Sangat jelas kedudukan lembaga ini dalam konteks sebuah
negara hukum berdasarkan sistem demokrasi. Secara teoretik konstitusional,
bangsa ini memiliki keinginan luhur untuk merasakan kehidupan politik yang
terbuka dan berkeadilan, sesuai cita-cita proklamasi yang belum juga kunjung
menjadi kenyataan. Demokrasi tanpa dikawal oleh tegaknya hukum dan elite
politik yang bertanggung jawab pasti menjadi liar dan anarkistis. Maka adalah
sebuah tragedi maut bagi demokrasi di Indonesia saat seorang ketua Mahkamah
Konstitusi menjadi pasien Komisi Pemberantasan Korupsi. Tetapi, itulah yang
terjadi.
Selama lebih dari 68 tahun kita merdeka, cita-cita luhur bagi
tegaknya sistem demokrasi yang sehat tidak pernah mati, sekalipun sering
disalahgunakan oleh elite puncak negara untuk menumpuk kuasa, pengaruh, dan
benda. Demikian agungnya nilai demokrasi sehingga seorang Bung Hatta pada tahun
1960 sampai kepada kesimpulan: ”Lenyap
demokrasi berarti lenyap Indonesia merdeka”. Bagi Hatta, proklamasi
kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 juga mengandung pesan utama bahwa bangsa ini
telah dengan mantap memilih sistem demokrasi, sekalipun pernah ditindas saat
penguasa mengkhianati sumpah jabatannya, tetapi ”tidak akan lenyap di Indonesia”, tulis Hatta.
Ketika sumpah jabatan yang demikian sakral diucapkan hanya
dianggap angin lalu oleh mereka yang tunakonstitusi, akibatnya pasti fatal dan
destruktif. Di sinilah sebenarnya terletak sumber utama dari segala macam
kebusukan dan kebobrokan dalam cara kita mengurus bangsa dan negara. Sumpah itu
bagi mereka yang beragama selalu memakai nama Allah dan berjanji untuk setia
kepada UUD, tetapi kekuasaan yang tanpa visi moral ternyata telah membencanai
perjalanan sejarah modern Indonesia, sedangkan makna Allah dan janji dibuang
begitu saja. Bagi saya, sumpah jabatan wajib dibaca berulang-ulang agar
kesetiaan kepada UUD tetap terjaga, betapapun godaan kekuasaan dan benda itu
selalu saja menyerbu setiap saat.
Di kalangan pemimpin bangsa sejak masa pergerakan nasional,
Hatta ada di antara teladan tertinggi yang tidak pernah lumpuh nuraninya
berhadapan dengan godaan kekuasaan. Anak bangsa tipe Hatta ini masih banyak
jumlahnya di kalangan kita. Hakim Mahkamah Konstitusi yang diberi mandat
kekuasaan final dalam memutus sengketa perkara, demi tegaknya konstitusi
semestinya selalu ingat akan sumpah jabatannya. Maka apa yang kita tonton
sekarang ini adalah rombongan pejabat publik yang diciduk Komisi Pemberantasan
Korupsi karena termakan sumpahnya sendiri. Oleh sebab itu, orang tidak boleh
mempermainkan sumpah jabatan itu karena di sanalah integritas seorang pejabat
publik diuji dengan ketat dan keras.
Pilkada
dan solusi instan
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 di atas, ada empat
wewenang Mahkamah Konstitusi: (1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945; (2) Memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Negara Republik
Indonesia 1945; (3) Memutus pembubaran partai politik; dan (4) Memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dalam pengertian saya, ”pemilihan
umum” yang dimaksud adalah pemilihan reguler yang diselenggarakan sekali lima
tahun itu, bukan pilkada yang ratusan jumlahnya dengan biaya triliunan rupiah,
sebuah pemborosan pundi-pundi negara yang dahsyat. Saya tidak tahu mengapa bahu
Mahkamah Konstitusi diberi lagi beban yang teramat berat ini yang ternyata
kemudian menjadi sumber godaan yang luar biasa bagi hakim Mahkamah Konstitusi
yang tunaintegritas.
Tentang pilkada ini, cobalah tuan dan puan simak jumlah
daerah tingkat (dati) I dan daerah tingkat II yang sangat rentan bagi permainan
patgulipat jika berurusan dengan fatwa Mahkamah Konstitusi yang bersifat final
dan mengikat itu. Sampai saat ini di Indonesia ada 34 provinsi (dati I), 409
kabupaten, 93 kota (dati II), plus lima kota administrasi. Calon raja-raja
lokal yang jumlahnya ratusan ini saling berlomba memanfaatkan lembaga Mahkamah
Konstitusi untuk memenangkan dirinya dalam sengketa pilkada dengan segala sogok
yang dijanjikan. Sangat kumuh, sangat busuk. Akibatnya, sistem demokrasi kita
telah disandera secara biadab oleh politik uang haram dan sangat destruktif
ini.
Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri tampaknya
menyadari dampak buruk dari sistem pilkada langsung sebagai buah dari euforia
demokrasi di era reformasi. Lalu ingin dikembalikan kepada sistem lama, di mana
kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dinilai
lebih sederhana dan hemat biaya. Dari perspektif ini, gagasan itu cukup
rasional. Tentu dengan mengubah undang-undang tentang otonomi daerah terlebih
dulu. Namun, kultur sogok-menyogok dan permainan patgulipat yang sudah
menggurita pada semua lini ranah kekuasaan kita pasti akan berpindah ke anggota
DPRD yang sebagian besar telah menjadikan politik sebagai sawah dan ladang
untuk berebut rezeki.
Oleh sebab itu, mari kita kaji ulang secara serius
pelaksanaan sistem demokrasi kita yang masih sangat jauh dari harapan semua
orang. Solusi yang serba instan harus dijauhi karena tidak akan pernah
menyembuhkan penyakit kronis yang telah lama merusak perpolitikan bangsa ini.
Dengan segala kemelut dan krisis yang tengah mendera bangsa
dan negara di bawah kepemimpinan yang lemah dan rapuh sekarang ini, saya masih
percaya pada kekuatan nurani dan akal sehat. Kita pasti dapat menemukan jalan
keluar terbaik bagi masa depan kita semua. Syaratnya hanya satu: fungsikan kembali nurani dan akal sehat itu
secara berani dalam bangunan kolektif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar