|
KETUA Mahkamah
Konstitusi Akil Mochtar tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
merupakan tragedi konstitusionalisme kita.
Tindak pidana
korupsi yang disangkakan kepada Akil Mochtar adalah perbuatan dan tanggung
jawab personalnya. Namun, mengapa laku seperti itu sampai terjadi di MK, hal
itu sebetulnya produk kesalahan kolektif. Sejumlah pihak terkait telah memberi
kontribusi munculnya peluang terjadinya laku begitu.
Ketika
mengawali kiprah pada tahun 2003, salah satu terobosan terbaik MK adalah merekrut
akademisi dan aktivis muda membantu para hakim konstitusi. Mereka menempuh
proses seleksi berlapis sebelum bergabung di MK. Mereka ditempatkan pada posisi
asisten hakim konstitusi, beberapa orang lainnya sebagai peneliti.
Merekalah amicus curiae (friend of the court) yang pertama bagi
MK dari kalangan masyarakat sipil.
Selama berada
dalam sistem MK, mereka tidak melucuti sikap kritis dan kontrol yang menjadi
karakter akademisi dan aktivis. Jika para hakim konstitusi disebut sebagai
pengawal konstitusi, mereka bisa disebut sebagai ”pengawal” hakim konstitusi
dan lembaga MK. Namun, keberadaan mereka tidak sampai satu periode masa jabatan
hakim konstitusi karena dieliminasi oleh MK. MK kehilangan counterpart dan kontrol internal
yang konstruktif.
Kesalahan kolektif
Putusan MK
dalam perkara pengujian UU terhadap UU Komisi Yudisial telah mengukuhkan MK
kebal dari pengawasan eksternal. Melalui putusan nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal
23 Agustus 2006, MK secara sepihak (ultra
petita) mengecualikan dirinya sebagai obyek pengawasan etik oleh KY.
Argumen MK, hakim konstitusi merupakan jabatan, bukan profesi karier seperti
hakim lain.
Argumen
tersebut sungguh dapat didebat. Namun, putusan itu telah memosisikan MK sebagai
satu-satunya lembaga yudisial yang kebal dari kontrol etik oleh pihak
eksternal. Sejak itu, MK merasa nyaman dan aman dengan kekebalan etik ini dan
cenderung melanggengkannya. MK tidak peduli dengan adagium terkenal dari Lord
Acton: ”power tends to corrupt, and
absolute power corrupts absolutely”. Juga dinafikan prinsip dasar
konstitusionalisme bahwa kekuasaan harus ada batas dan kontrolnya, yang dalam
kalimat Scott Gordon (2002: 15), ”power
can only be controlled by power”.
Sejak tahun
2008, DPR memindahkan kewenangan menangani perkara sengketa pilkada dari
peradilan Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Ketidakpercayaan pada
peradilan MA sebagai alasan pengalihan ini. MK tentu tidak bisa menolak
kehendak pengalihan kewenangan oleh pembuat undang-undang (legislator). Pengalihan ini menambah beban kerja MK, sekaligus
mendekatkan MK pada perkara bersifat konkret dan lebih sensitif secara politik.
Kewenangan
memeriksa dan memutus sengketa pilkada dan pemilihan umum sebetulnya tidak
berhubungan dengan norma konstitusi yang bersifat abstrak, yang menjadi tugas
MK untuk mengawal dan menafsirkannya. Kewenangan ini lebih berkaitan dengan
soal penghitungan angka- angka perolehan suara. Politisi semakin berkepentingan
dengan MK. Godaan pun semakin kuat menerpa hakim konstitusi.
Perekrutan
jabatan hakim konstitusi oleh DPR dan presiden dari kalangan berlatar belakang
politisi melengkapi kesalahan kolektif berikutnya. Bukan karena politisi pasti
tidak punya kapabilitas dan kredibilitas mengisi jabatan itu, melainkan lebih
karena alasan prinsip konstitusionalisme modern dalam praktik demokrasi
konstitusional yang telah kita pilih.
Keberadaan MK
berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang atas kekuasaan legislator sebagai
pembuat undang-undang. Menurut Hans Kelsen, MK berfungsi sebagai negative legislator yang memeriksa
konstitusionalitas UU. Itulah sebabnya Hans Kelsen, sebagai pencetus dan
pendiri MK di dunia, melarang anggota parlemen atau pemerintah menjadi hakim
konstitusi (dalam Alec Stone
Sweet, 2000 : 36). Namun, larangan ini tak bergema, bahkan dilanggar.
Obyektivitas
prinsip checks and balances tercederai
jika yang membuat dan menguji undang-undang dilakukan orang yang sama.
Celakanya, hakim konstitusi yang terlibat dalam pembuatan undang-undang dapat
ikut memeriksa dan memutus perkara pengujian undang-undang. Obyektivitas juga
diragukan jika hakim konstitusi berlatar belakang politisi menangani perkara
sengketa pemilihan umum dan pilkada. Apalagi, jika itu terkait dengan partai
politik tempatnya dulu pernah bergabung.
Bagi para hakim
konstitusi nonpolitisi sendiri, kehadiran politisi menjadi hakim konstitusi
tidak dipandang sebagai persoalan besar. Buktinya, para hakim konstitusi
nonpolitisi telah memilih ketua Mahkamah Konstitusi yang berlatar belakang
politisi.
Dengan semua
prolog di atas, MK menjelma menjadi lembaga negara superbody dan mendekati jurang kehancuran. Bangunan integritas
kelembagaan MK rapuh karena hanya bersandar pada integritas personal hakim
konstitusi, tidak berfondasi pada sistem kontrol internal dan kontrol
eksternal. Masuknya hakim konstitusi yang mudah tergoda oleh tumpukan uang
hanya sekadar mempercepat ambruknya bangunan rapuh itu.
Benahi secara kolektif
Maka, hanya KPK
yang dapat diharapkan mengawasi dan menindak MK. Namun, ini hanya dapat
dilakukan jika berkaitan dengan korupsi yudisial. Ketika tahun 2010 mencuat
tuduhan korupsi yudisial terhadap oknum hakim konstitusi, publik tidak melihat
keseriusan KPK menindaklanjuti. KPK mungkin berkepentingan kepada MK agar
menyelamatkan kewenangannya dari rongrongan pengujian undang-undang. Operasi tangkap
tangan oleh KPK terhadap ketua MK adalah upaya menyelamatkan MK dari kehancuran
lebih jauh sebagaimana MK pernah menyelamatkan KPK.
Kesalahan
kolektif harus dibenahi secara kolektif pula. Pihak-pihak otoritas terkait
harus ikut menyelamatkan MK. Upaya yang antara lain perlu dilakukan adalah
memperkuat kontrol internal MK dengan melibatkan pihak eksternal, menempatkan
hakim konstitusi juga sebagai obyek pengawasan etik oleh KY, menarik kembali
kewenangan sengketa pilkada dari MK, dan mengakhiri perekrutan hakim konstitusi
dari kalangan politisi. Bagaimanapun, keberadaan MK tetap penting ketika
hak-hak konstitusional warga negara diabaikan oleh legislator. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar