Jumat, 11 Oktober 2013

Kesalahan Kolektif dan MK

Kesalahan Kolektif dan MK
Munafrizal Manan  Alumnus University of Melbourne, Australia, dan Mahasiswa Utrecht University School of Law, Belanda
KOMPAS, 11 Oktober 2013


KETUA Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan tragedi konstitusionalisme kita.
Tindak pidana korupsi yang disangkakan kepada Akil Mochtar adalah perbuatan dan tanggung jawab personalnya. Namun, mengapa laku seperti itu sampai terjadi di MK, hal itu sebetulnya produk kesalahan kolektif. Sejumlah pihak terkait telah memberi kontribusi munculnya peluang terjadinya laku begitu.
Ketika mengawali kiprah pada tahun 2003, salah satu terobosan terbaik MK adalah merekrut akademisi dan aktivis muda membantu para hakim konstitusi. Mereka menempuh proses seleksi berlapis sebelum bergabung di MK. Mereka ditempatkan pada posisi asisten hakim konstitusi, beberapa orang lainnya sebagai peneliti. Merekalah amicus curiae (friend of the court) yang pertama bagi MK dari kalangan masyarakat sipil.
Selama berada dalam sistem MK, mereka tidak melucuti sikap kritis dan kontrol yang menjadi karakter akademisi dan aktivis. Jika para hakim konstitusi disebut sebagai pengawal konstitusi, mereka bisa disebut sebagai ”pengawal” hakim konstitusi dan lembaga MK. Namun, keberadaan mereka tidak sampai satu periode masa jabatan hakim konstitusi karena dieliminasi oleh MK. MK kehilangan counterpart dan kontrol internal yang konstruktif.
Kesalahan kolektif
Putusan MK dalam perkara pengujian UU terhadap UU Komisi Yudisial telah mengukuhkan MK kebal dari pengawasan eksternal. Melalui putusan nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006, MK secara sepihak (ultra petita) mengecualikan dirinya sebagai obyek pengawasan etik oleh KY. Argumen MK, hakim konstitusi merupakan jabatan, bukan profesi karier seperti hakim lain.
Argumen tersebut sungguh dapat didebat. Namun, putusan itu telah memosisikan MK sebagai satu-satunya lembaga yudisial yang kebal dari kontrol etik oleh pihak eksternal. Sejak itu, MK merasa nyaman dan aman dengan kekebalan etik ini dan cenderung melanggengkannya. MK tidak peduli dengan adagium terkenal dari Lord Acton: ”power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Juga dinafikan prinsip dasar konstitusionalisme bahwa kekuasaan harus ada batas dan kontrolnya, yang dalam kalimat Scott Gordon (2002: 15), ”power can only be controlled by power”.
Sejak tahun 2008, DPR memindahkan kewenangan menangani perkara sengketa pilkada dari peradilan Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Ketidakpercayaan pada peradilan MA sebagai alasan pengalihan ini. MK tentu tidak bisa menolak kehendak pengalihan kewenangan oleh pembuat undang-undang (legislator). Pengalihan ini menambah beban kerja MK, sekaligus mendekatkan MK pada perkara bersifat konkret dan lebih sensitif secara politik.
Kewenangan memeriksa dan memutus sengketa pilkada dan pemilihan umum sebetulnya tidak berhubungan dengan norma konstitusi yang bersifat abstrak, yang menjadi tugas MK untuk mengawal dan menafsirkannya. Kewenangan ini lebih berkaitan dengan soal penghitungan angka- angka perolehan suara. Politisi semakin berkepentingan dengan MK. Godaan pun semakin kuat menerpa hakim konstitusi.
Perekrutan jabatan hakim konstitusi oleh DPR dan presiden dari kalangan berlatar belakang politisi melengkapi kesalahan kolektif berikutnya. Bukan karena politisi pasti tidak punya kapabilitas dan kredibilitas mengisi jabatan itu, melainkan lebih karena alasan prinsip konstitusionalisme modern dalam praktik demokrasi konstitusional yang telah kita pilih.
Keberadaan MK berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang atas kekuasaan legislator sebagai pembuat undang-undang. Menurut Hans Kelsen, MK berfungsi sebagai negative legislator yang memeriksa konstitusionalitas UU. Itulah sebabnya Hans Kelsen, sebagai pencetus dan pendiri MK di dunia, melarang anggota parlemen atau pemerintah menjadi hakim konstitusi (dalam Alec Stone Sweet, 2000 : 36). Namun, larangan ini tak bergema, bahkan dilanggar.
Obyektivitas prinsip checks and balances tercederai jika yang membuat dan menguji undang-undang dilakukan orang yang sama. Celakanya, hakim konstitusi yang terlibat dalam pembuatan undang-undang dapat ikut memeriksa dan memutus perkara pengujian undang-undang. Obyektivitas juga diragukan jika hakim konstitusi berlatar belakang politisi menangani perkara sengketa pemilihan umum dan pilkada. Apalagi, jika itu terkait dengan partai politik tempatnya dulu pernah bergabung.
Bagi para hakim konstitusi nonpolitisi sendiri, kehadiran politisi menjadi hakim konstitusi tidak dipandang sebagai persoalan besar. Buktinya, para hakim konstitusi nonpolitisi telah memilih ketua Mahkamah Konstitusi yang berlatar belakang politisi.
Dengan semua prolog di atas, MK menjelma menjadi lembaga negara  superbody dan mendekati jurang kehancuran. Bangunan integritas kelembagaan MK rapuh karena hanya bersandar pada integritas personal hakim konstitusi, tidak berfondasi pada sistem kontrol internal dan kontrol eksternal. Masuknya hakim konstitusi yang mudah tergoda oleh tumpukan uang hanya sekadar mempercepat ambruknya bangunan rapuh itu.
Benahi secara kolektif
Maka, hanya KPK yang dapat diharapkan mengawasi dan menindak MK. Namun, ini hanya dapat dilakukan jika berkaitan dengan korupsi yudisial. Ketika tahun 2010 mencuat tuduhan korupsi yudisial terhadap oknum hakim konstitusi, publik tidak melihat keseriusan KPK menindaklanjuti. KPK mungkin berkepentingan kepada MK agar menyelamatkan kewenangannya dari rongrongan pengujian undang-undang. Operasi tangkap tangan oleh KPK terhadap ketua MK adalah upaya menyelamatkan MK dari kehancuran lebih jauh sebagaimana MK pernah menyelamatkan KPK.
Kesalahan kolektif harus dibenahi secara kolektif pula. Pihak-pihak otoritas terkait harus ikut menyelamatkan MK. Upaya yang antara lain perlu dilakukan adalah memperkuat kontrol internal MK dengan melibatkan pihak eksternal, menempatkan hakim konstitusi juga sebagai obyek pengawasan etik oleh KY, menarik kembali kewenangan sengketa pilkada dari MK, dan mengakhiri perekrutan hakim konstitusi dari kalangan politisi. Bagaimanapun, keberadaan MK tetap penting ketika hak-hak konstitusional warga negara diabaikan oleh legislator. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar