|
Dalam sesi tanya jawab antara seorang peserta dengan seorang
pejabat tinggi Kementan tentang upaya mencapai swasembada beras, terungkap
bahwa persoalan beras jika hanya bertumpu pada peningkatan produksi adalah
suatu upaya sangat berat dan memerlukan pendanaan sangat mahal. Oleh karena itu
solusi terbaik selain perhatian pada produksi adalah dengan menurunkan tingkat
konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia yang saat ini termasuk kategori
tertinggi di dunia.
Program diversifikasi pangan sudah dicanangkan sejak era Orde Baru dan sampai saat ini pun program ini tetap dilaksanakan, hanya pertanyaannya sejauh mana keberhasilan program ini?Memang ada kecenderungan penurunan konsumsi beras, tetapi perubahan ini karena konsumen ternyata beralih ke pangan berbahan baku terigu, yang jika dibiarkan terus berlangsung maka seperti kata pepatah ”keluar dari mulut singa, masuk ke mulut buaya”. Bukannya memperkecil persoalan pangan, tetapi justru memperparah ketahanan pangan dalam negeri.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2006 pemerintahmenargetkan penurunan konsumsi beras mencapai 1,5% per tahun dari tingkat konsumsi sekitar 130 kg/orang/tahun atau penurunan konsumsi beras per kapita menjadi 110 kg/tahun. Dengan target tersebut maka kebutuhan beras dalam negeri per tahunnya mencapai sekitar 25,3 juta ton setara 51 juta ton GKP dengan asumsi jumlah penduduk indonesia 230 juta dan beras 50% dari GKB, atau terjadi penurunan konsumsi beras sekitar 4,6 juta ton.
Jika target ini tercapai, maka ”beban” berat yang dipikul pemerintah menjadi ringan karena target tersebut sudah terlampaui sejak beberapa tahun terakhir ini. Pertanyaannya walaupun target penurunan sudah dicanangkan sejak tahun 2006 bahkan diperkuat dengan dikeluarkannya Perpres segala, mengapa pemerintah masih ”memaksakan” target pruduksi menjadi 67 juta ton GKP tahun ini? Jawabannya karena program diversifikasi tidak berjalan dengan baik.
Citra
Harus diakui di masyarakat kita masih ada pandangan bahwa miskin atau tidaknya seseorang tercermin dari apa yang dia makan. Di Indonesia, jika seseorang makan nasi maka citranya lebih kaya, lebih sejahtera dibandingkan dengan orang yang makan ubi, jagung, atau sagu.
Faktor citra inilah pula yang kemudian menyebabkan peralihan pangan karbohidrat kita dari beras ke pangan berbasis terigu, yang dipandang lebih bergengsi. Pangan berbasis terigu ini terkesan lebih ”elite” dan pengkonsumsi-nya merasa strata sosialnya meningkat kalau memakan makanan berbahan terigu seperti burger, pizza, spaghetti, dan roti (terutama roti bikinan bakery asing).
Program diversifikasi pangan sudah dicanangkan sejak era Orde Baru dan sampai saat ini pun program ini tetap dilaksanakan, hanya pertanyaannya sejauh mana keberhasilan program ini?Memang ada kecenderungan penurunan konsumsi beras, tetapi perubahan ini karena konsumen ternyata beralih ke pangan berbahan baku terigu, yang jika dibiarkan terus berlangsung maka seperti kata pepatah ”keluar dari mulut singa, masuk ke mulut buaya”. Bukannya memperkecil persoalan pangan, tetapi justru memperparah ketahanan pangan dalam negeri.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2006 pemerintahmenargetkan penurunan konsumsi beras mencapai 1,5% per tahun dari tingkat konsumsi sekitar 130 kg/orang/tahun atau penurunan konsumsi beras per kapita menjadi 110 kg/tahun. Dengan target tersebut maka kebutuhan beras dalam negeri per tahunnya mencapai sekitar 25,3 juta ton setara 51 juta ton GKP dengan asumsi jumlah penduduk indonesia 230 juta dan beras 50% dari GKB, atau terjadi penurunan konsumsi beras sekitar 4,6 juta ton.
Jika target ini tercapai, maka ”beban” berat yang dipikul pemerintah menjadi ringan karena target tersebut sudah terlampaui sejak beberapa tahun terakhir ini. Pertanyaannya walaupun target penurunan sudah dicanangkan sejak tahun 2006 bahkan diperkuat dengan dikeluarkannya Perpres segala, mengapa pemerintah masih ”memaksakan” target pruduksi menjadi 67 juta ton GKP tahun ini? Jawabannya karena program diversifikasi tidak berjalan dengan baik.
Citra
Harus diakui di masyarakat kita masih ada pandangan bahwa miskin atau tidaknya seseorang tercermin dari apa yang dia makan. Di Indonesia, jika seseorang makan nasi maka citranya lebih kaya, lebih sejahtera dibandingkan dengan orang yang makan ubi, jagung, atau sagu.
Faktor citra inilah pula yang kemudian menyebabkan peralihan pangan karbohidrat kita dari beras ke pangan berbasis terigu, yang dipandang lebih bergengsi. Pangan berbasis terigu ini terkesan lebih ”elite” dan pengkonsumsi-nya merasa strata sosialnya meningkat kalau memakan makanan berbahan terigu seperti burger, pizza, spaghetti, dan roti (terutama roti bikinan bakery asing).
Anomali pola pangan ini semakin diperparah oleh iklan
yang dikemas sangat menarik oleh produk mie cepat saji, bahkan jingle lagu
iklan tersebut dipakai oleh SBY ketika kampanye presiden dahulu. Jadilah
penduduk Indonesia semakin tertarik mengkonsumsi terigu, sehingga tidak heran
impor terigu saat sekarang melonjak mencapai 6 - 7 juta ton per tahun dan
kecenderungannya terus meningkat.
Upaya diversifikasi ke pangan berbasis produk lokal
khususnya ubi-ubian akan dapat berhasil jika pemerintah mampu mengubah citra
pangan berbasis potensi lokal ini menjadi tidak ”miskin" atau ndeso”.
Caranya dapat dilakukan dengan menciptakan pola menu ubi-ubian dengan kombinasi
protein (nabati/hewani) yang tepat. Dibarengi dengan iklan dan kampanye oleh
kalangan ”elite” di negara ini dimulai dari presiden, misalnya poster presiden
sedang makan tiwul + sepotong paha ayam + sayur urap. Garuda Indonesia sebagai
maskapai penerbangan plat merah mengubah sajian yang selama ini menggunakan
bahan terigu menjadi menu berbasis tepung ubi-ubian misalnya. Jika upaya ini
dilakukan secara sinergis dan berkesinambungan maka Insya Allah kesan miskin
jika makan non-nasi dan non-terigu perlahan akan hilang.
Mengubah citra ini merupakan faktor penentu keberhasilan program diversifikasi. Agar citra ini sinkron dengan kenyataannya maka upaya perbaikan bentuk penyajian, teknologi olah bahan pangan, warna, dan rasa merupakan suatu kegiatan paralel yang harus dilakukan sehingga sembari digencarkan iklan dan kampanye juga dibarengi dengan penyediaan outlet dan produk siap sajinya.
Harus diakui dari tataran konsep bangsa ini sudah lengkap. Tetapi apa artinya jika hanya pada tataran konsep saja? Oleh karena itu penerapan konsep dan peaturan jauh lebih penting untuk dapat dilaksanakan. Di sinilah peranan pemerintah membuat kebijakan yang ada unsur ”paksaan” (karena) ada sanksi jika tidak dilaksanakan, serta unsur pembinaan (ada reward jika dilaksanakan).
Salah satu kebijakannya adalah mewajibkan perusahaan mie instant untuk memproduksi mie berbahan baku non-terigu atau menambah bahan campuran mienya dengan konten non-terigu. Misal mewajibkan perusahaan mie instant menyerap 25% bahan baku tepungnya harus dari non-terigu atau CSR perusahaan dalam persentase tertentu dialokasikan untuk mempromosikan pangan-pangan non-beras dan non-terigu.
Sudah saatnya pemerintah membuat kebijakan yang menyebabkan makanan berbasis non-terigu semakin berkembang sementara makanan asing tidak menghancurkan pangan lokal. Dalam hal ini Indonesia dapat meniru Italia yang dengan gencar mempromosikan makanan khas Italia yang lebih sehat, sehingga di Italia restoran fast food tidak berkembang seperti di negara lain. Italia merupakan motor penggerak ”melawan” makanan fast food dengan mempromosikan pangan slow food mereka. ”Serbuan” pangan non pribumi ini harus ”dilawan” oleh pemerintah, jika ingin ketahanan pangan dan keamanan pangan dalam negeri terjamin serta kedaulatan pangan dapat terwujud. ●
Mengubah citra ini merupakan faktor penentu keberhasilan program diversifikasi. Agar citra ini sinkron dengan kenyataannya maka upaya perbaikan bentuk penyajian, teknologi olah bahan pangan, warna, dan rasa merupakan suatu kegiatan paralel yang harus dilakukan sehingga sembari digencarkan iklan dan kampanye juga dibarengi dengan penyediaan outlet dan produk siap sajinya.
Harus diakui dari tataran konsep bangsa ini sudah lengkap. Tetapi apa artinya jika hanya pada tataran konsep saja? Oleh karena itu penerapan konsep dan peaturan jauh lebih penting untuk dapat dilaksanakan. Di sinilah peranan pemerintah membuat kebijakan yang ada unsur ”paksaan” (karena) ada sanksi jika tidak dilaksanakan, serta unsur pembinaan (ada reward jika dilaksanakan).
Salah satu kebijakannya adalah mewajibkan perusahaan mie instant untuk memproduksi mie berbahan baku non-terigu atau menambah bahan campuran mienya dengan konten non-terigu. Misal mewajibkan perusahaan mie instant menyerap 25% bahan baku tepungnya harus dari non-terigu atau CSR perusahaan dalam persentase tertentu dialokasikan untuk mempromosikan pangan-pangan non-beras dan non-terigu.
Sudah saatnya pemerintah membuat kebijakan yang menyebabkan makanan berbasis non-terigu semakin berkembang sementara makanan asing tidak menghancurkan pangan lokal. Dalam hal ini Indonesia dapat meniru Italia yang dengan gencar mempromosikan makanan khas Italia yang lebih sehat, sehingga di Italia restoran fast food tidak berkembang seperti di negara lain. Italia merupakan motor penggerak ”melawan” makanan fast food dengan mempromosikan pangan slow food mereka. ”Serbuan” pangan non pribumi ini harus ”dilawan” oleh pemerintah, jika ingin ketahanan pangan dan keamanan pangan dalam negeri terjamin serta kedaulatan pangan dapat terwujud. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar