Jumat, 11 Oktober 2013

Pertanda Senja Kala SBY

Pertanda Senja Kala SBY
Sumaryoto Padmodiningrat Anggota DPR, Calon Anggota DPD dari Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 10 Oktober 2013


TAMPAKNYA ada benang merah antara penolakan terhadap Ruhut Sitompul menjadi Ketua Komisi III DPR dan ketidakjelasan Sekretariat Gabungan Koalisi Partai Politik Pendukung Pemerintah (biasa disebut Setgab Koalisi), yakni kememudaran wibawa politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Bila tak memudar, tak akan ada anggota Komisi III dari fraksi pendukung koalisi yang menolak tapilnya Ruhut. Sebut saja misalnya Bambang Soesatyo dari Fraksi Partai Golkar dan Ahmad Yani dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Bambang dan Yani adalah dua dari ”Trio SBY” yang paling getol menolak Ruhut.

Seorang lainnya adalah Syarifuddin Sudding dari Fraksi Partai Hanura. Selain masalah kapabilitas, penolakan itu dilandasi masalah moralitas Ruhut. Ruhut pun akhirnya mengundurkan diri, Senin (7/10/13), setelah tiga kali batal dilantik. Fraksi Partai Demokrat kemudian menunjuk Dr Pieter Zulkifli (SM, 9/10/13).

Jika wibawa politik SBY tak memudar, tentu keberadaan Setgab akan jelas, tidak seperti sekarang ini. Jangankan mengadakan rapat, ada alih fungsi kantor saja para anggota Setgab tak tahu atau malah tak diberi tahu. Kantor atau sekretariat yang semula sering digunakan Setgab untuk menggelar rapat di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat, kini beralih fungsi menjadi Posko Pemenangan Jenderal (Purn) TNI Pramono Edhie Wibowo. Peserta Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat tersebut adalah adik ipar SBY.

Mengapa wibawa politik SBY memudar? Mungkin karena Ketua Umum Partai Demokrat itu kini sedang menuju sandyakala (senja kala) kekuasaannya. Tak lama lagi ia bakal meletakkan jabatannya sebagai presiden, dan tak bisa memperpanjang lagi karena sudah dua periode, dan itu memang sesuai ketetapan konstitusi.

Kekuasaan memang ibarat lampu petromaks dalam kegelapan malam yang memancing laron-laron mengerubung. Kekuasaan juga ibarat gula yang manis dan mengundang semut-semut untuk berkerumun. Ketika lampu kekuasaan itu meredup, ketika manisnya jabatan itu habis, laron atau semut itu akan pergi meninggalkan. Bahkan bisa jadi, akan ibarat habis manis sepah dibuang. Lihat saja Anas Urbaningrum. Ketika masih meger-meger, kekuasaannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat masih full power, dan belum tersandung dugaan korupsi, ia di-subya-subya, dan banyak yang pasang badan membelanya dari berbagai serangan politik.

Kini ketika ia sudah ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian berhenti dari jabatan ketua umum partai, banyak yang kemudian balik badan meninggalkan-nya. Hanya beberapa gelintir politikus yang masih setia. Bahkan bisa jadi Anas akan menempuh lorong sunyi seorang diri bila nanti kasusnya disidangkan. Dalam konteks ini adagium ''dalam politik tak ada kawan atau lawan abadi, yang abadi adalah kepentingan” menemukan kebenarannya.

Adagium ini mengemuka tahun 1971 tatkala Richard Nixon berkunjung ke Beijing, menyusul Diplomasi Pingpong, yakni tatkala AS mengirim atlet tenis meja mengikuti pertandingan persahabatan di China pada 10-17 April 1971. Diplomasi melalui olahraga itu membuka gerbang bagi Nixon bertemu dengan Mao Zedong. Kunjungan Presiden AS ke China waktu itu mengejutkan mengingat China musuh bebuyutan AS. Sejak 1950-an, AS bersekutu erat dengan Taiwan mengadang China.

Menjadi ”Brutus”

Sandyakalaning Pak Harto bahkan lebih ekstrem lagi. Selain ditinggalkan, menjelang kejatuhannya pada 21 Mei 1998, mereka yang dulu pengikut setia penguasa Orde Baru itu bahkan berkhianat, menjadi ”Brutus”. Mengapa Setgab tak jelas? Ada atau tidak ada Setgab, mungkin tak akan ada pengaruh signifikan bagi pemerintahan SBY yang tinggal seumur jagung. Barangkali itulah yang berkecamuk dalam benak para anggota Setgab.

Di sisi lain, parpol-parpol kini juga sedang sibuk mencari jalan sendiri-sendiri menghadapi Pemilu 2014 yang tinggal beberapa bulan lagi. Bahkan parpol-parpol itu harus saling berkompetisi. Parpol-parpol lain akan diuntungkan bila elektabilitas the ruling party jeblok. Maka ada semacam “sabotase” atau “penggembosan” dari dalam. Itu sebabnya mengapa banyak instruksi SBY tak dipatuhi para menteri, dan oleh karena itu keberadaan Setgab dirasa sudah tidak urgen lagi. Termasuk oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang beberapa kali mendapat ancaman dikeluarkan dari Setgab. Senja kala kekuasaan SBY akan benar-benar tiba manakala ia, sesuai janjinya, melepaskan jabatan Ketua Umum Partai Demokrat setelah Pemilu 2004. Benarkah? Biarlah waktu yang membuktikan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar