|
MELEMAHNYA pertumbuhan
ekonomi menjadi peringatan mendesaknya implementasi beragam reformasi
struktural.
Perekonomian
Indonesia kini tengah menghadapi tantangan berat. Saat kinerja ekspor menurun,
risiko arus modal asing keluar dari pasar modal meningkat pula. Rupiah melemah
dan stabilitas perekonomian pun terkena embusan angin. Guncangan ini akibat
terlalu bergantungnya ekspor terhadap komoditas tambang dan pertanian. Jadi,
ketika harga batubara anjlok 40 persen sejak 2011, ekspor sangat terganggu dan
berakibat impor harus direm.
Untuk
mengerem impor, mau tidak mau pertumbuhan ekonomi harus diperlambat. Hal ini
karena hampir 75 persen impor merupakan bahan setengah jadi, yakni BBM dan
bahan-bahan industri terutama logam, kimia, dan plastik, yang memang diimpor
karena tak terpenuhi dari dalam negeri. Langkah-langkah stabilisasi yang
ditempuh otoritas moneter sejauh ini cukup responsif. Selain suku bunga
dinaikkan, sejumlah aturan pemberian kredit untuk industri-industri
berkandungan impor tinggi, seperti sektor properti, juga diperketat.
Namun,
dalam jangka panjang, perlu sejumlah perubahan struktural agar momentum
pertumbuhan ekonomi bisa lebih terjaga dan tak rentan terhadap fluktuasi
harga-harga komoditas. Ini butuh kebijakan jangka menengah di luar ranah
kebijakan moneter.
Ada
beberapa bom waktu yang jika tidak cepat ditangani bisa kembali mengguncang
perekonomian Indonesia. Masalah-masalah struktural yang sudah lama tidak
selesai akan menjadi beban yang makin besar. Sayangnya, waktu yang kita miliki
kian tipis.
Reformasi energi
Bom pertama
menyangkut reformasi energi dan subsidi BBM, yang selama ini berjalan lambat.
Pada 2009, defisit perdagangan minyak hanya 0,5 miliar dollar AS per bulan.
Namun, defisit ini terus meningkat dan kini mencapai 2,5 miliar dollar AS.
Sistem
transportasi yang terbangun di negeri ini telah menghasilkan ketergantungan
yang sangat tinggi terhadap kendaraan pribadi. Apabila ditarik garis lurus,
jangan heran jika lima tahun lagi defisit ekspor minyak bisa mencapai 5 miliar
dollar AS per bulan atau lebih. Cadangan devisa yang mestinya bisa dipergunakan
untuk mengimpor barang modal dan keperluan produktif akan tergerus hanya untuk
impor BBM. Pertumbuhan ekonomi akan makin sulit didorong.
Hemat saya,
komponen penting dari reformasi subsidi energi adalah pembangunan sistem
transportasi massal dan pembenahan tata kota. Selama ini, kenaikan harga BBM
berujung pada membengkaknya biaya transportasi dan logistik. Seharusnya
kenaikan harga BBM justru mengurangi biaya logistik apabila publik dapat
beralih menggunakan transportasi massal dan jalanan menjadi makin lancar.
Sekarang
ini apabila harga BBM dinaikkan 100 persen pun, masyarakat tetap harus membeli
bensin agar bisa berangkat kerja dan beraktivitas. Rencana substitusi BBM ke
biodiesel dan gas juga bukan penyelesaian yang tahan lama dan hanya akan
menunda masalah, selama masyarakat masih tidak bisa lepas dari kendaraannya
masing-masing.
Diversifikasi ekspor
Bom waktu
kedua adalah ketergantungan negeri ini yang sangat tinggi terhadap ekspor
komoditas mentah. Diversifikasi ekspor harus segera dimulai karena era harga batubara
tinggi tampaknya akan berakhir. China, konsumen batubara terbesar dunia, sedang
mentransformasi perekonomiannya dan memperkecil ketergantungannya terhadap
batubara impor.
Selama ini
terlihat usaha-usaha gigih mengurangi impor dan mencapai swasembada beragam
kebutuhan di dalam negeri. Pabrik-pabrik baru banyak dibuat untuk memenuhi
pertumbuhan konsumsi domestik; tetapi timbul masalah baru karena impor bahan
baku meningkat. Solusinya ibarat kita mengatur belanja bulanan di rumah: cari
cara menambah pemasukan, jangan pengeluarannya yang terus dipotong. Buatlah
industri yang kompetitif untuk ekspor daripada berpikir untuk menekan impor.
Pada
kenyataannya, sulit bagi Indonesia untuk sukses menjadi ”toko serba ada”. Agar
suatu industri bisa tumbuh berkesinambungan, harus ada spesialisasi.
Teknologinya harus dikuasai dan untuk ini dibutuhkan skala dan kompetisi yang
cukup di antara perusahaan-perusahaan dalam satu industri. Lebih baik kita
memilih satu atau beberapa industri, untuk kemudian difokuskan pengembangan
daya saingnya untuk ekspor. Tidak perlu swasembada segala produk, yang bilamana
berhasil pun akan hanya bertahan beberapa tahun.
Semakin
lama, tantangan yang dihadapi akan semakin berat ke depannya. Masalah perbaikan
struktur ekspor serta reformasi energi dan subsidi ini saling berkaitan dan
harus diselesaikan secara menyeluruh. Agar bisa bersaing dengan Thailand yang
telah sukses menjadi basis ekspor otomotif, misalnya, biaya logistik di negeri
ini harus turun. Ini tidak bisa tercapai apabila jalanan macet total atau
antrean masuk pelabuhan berjam-jam. Lagi-lagi dibutuhkan pembangunan
transportasi massal, pengurangan ketergantungan kendaraan pribadi, dan
realokasi subsidi BBM.
Apabila
Bank Indonesia terus memperketat kondisi moneter, mungkin nilai tukar rupiah
bisa kembali stabil dan perekonomian lambat laun bisa pulih. Namun, dua bom
waktu ini akan terus berjalan jika dibiarkan dan akan terus memperlemah
sendi-sendi perekonomian.
Para
teknokrat dan profesional di pemerintahan sudah sangat paham dengan
permasalahan yang ada.
Namun, kebijakan apa pun yang dirumuskan akan kandas
jika tidak ada dukungan politik. Jangan sampai Pemilu 2014 menyita perhatian
para penyelenggara negara terhadap masalah-masalah struktural yang sudah sangat
mendesak. Apabila tidak cepat ditanggapi, ongkosnya bagi anak cucu sangat
besar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar