Sabtu, 12 Oktober 2013

Menghindari Bom Waktu Ekonomi

Menghindari Bom Waktu Ekonomi
Helmi Arman  Citibank Indonesia Country Economist
KOMPAS, 12 Oktober 2013


MELEMAHNYA pertumbuhan ekonomi menjadi peringatan mendesaknya implementasi beragam reformasi struktural.

Perekonomian Indonesia kini tengah menghadapi tantangan berat. Saat kinerja ekspor menurun, risiko arus modal asing keluar dari pasar modal meningkat pula. Rupiah melemah dan stabilitas perekonomian pun terkena embusan angin. Guncangan ini akibat terlalu bergantungnya ekspor terhadap komoditas tambang dan pertanian. Jadi, ketika harga batubara anjlok 40 persen sejak 2011, ekspor sangat terganggu dan berakibat impor harus direm.

Untuk mengerem impor, mau tidak mau pertumbuhan ekonomi harus diperlambat. Hal ini karena hampir 75 persen impor merupakan bahan setengah jadi, yakni BBM dan bahan-bahan industri terutama logam, kimia, dan plastik, yang memang diimpor karena tak terpenuhi dari dalam negeri. Langkah-langkah stabilisasi yang ditempuh otoritas moneter sejauh ini cukup responsif. Selain suku bunga dinaikkan, sejumlah aturan pemberian kredit untuk industri-industri berkandungan impor tinggi, seperti sektor properti, juga diperketat.

Namun, dalam jangka panjang, perlu sejumlah perubahan struktural agar momentum pertumbuhan ekonomi bisa lebih terjaga dan tak rentan terhadap fluktuasi harga-harga komoditas. Ini butuh kebijakan jangka menengah di luar ranah kebijakan moneter.

Ada beberapa bom waktu yang jika tidak cepat ditangani bisa kembali mengguncang perekonomian Indonesia. Masalah-masalah struktural yang sudah lama tidak selesai akan menjadi beban yang makin besar. Sayangnya, waktu yang kita miliki kian tipis.

Reformasi energi

Bom pertama menyangkut reformasi energi dan subsidi BBM, yang selama ini berjalan lambat. Pada 2009, defisit perdagangan minyak hanya 0,5 miliar dollar AS per bulan. Namun, defisit ini terus meningkat dan kini mencapai 2,5 miliar dollar AS.

Sistem transportasi yang terbangun di negeri ini telah menghasilkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kendaraan pribadi. Apabila ditarik garis lurus, jangan heran jika lima tahun lagi defisit ekspor minyak bisa mencapai 5 miliar dollar AS per bulan atau lebih. Cadangan devisa yang mestinya bisa dipergunakan untuk mengimpor barang modal dan keperluan produktif akan tergerus hanya untuk impor BBM. Pertumbuhan ekonomi akan makin sulit didorong.

Hemat saya, komponen penting dari reformasi subsidi energi adalah pembangunan sistem transportasi massal dan pembenahan tata kota. Selama ini, kenaikan harga BBM berujung pada membengkaknya biaya transportasi dan logistik. Seharusnya kenaikan harga BBM justru mengurangi biaya logistik apabila publik dapat beralih menggunakan transportasi massal dan jalanan menjadi makin lancar.

Sekarang ini apabila harga BBM dinaikkan 100 persen pun, masyarakat tetap harus membeli bensin agar bisa berangkat kerja dan beraktivitas. Rencana substitusi BBM ke biodiesel dan gas juga bukan penyelesaian yang tahan lama dan hanya akan menunda masalah, selama masyarakat masih tidak bisa lepas dari kendaraannya masing-masing.

Diversifikasi ekspor

Bom waktu kedua adalah ketergantungan negeri ini yang sangat tinggi terhadap ekspor komoditas mentah. Diversifikasi ekspor harus segera dimulai karena era harga batubara tinggi tampaknya akan berakhir. China, konsumen batubara terbesar dunia, sedang mentransformasi perekonomiannya dan memperkecil ketergantungannya terhadap batubara impor.

Selama ini terlihat usaha-usaha gigih mengurangi impor dan mencapai swasembada beragam kebutuhan di dalam negeri. Pabrik-pabrik baru banyak dibuat untuk memenuhi pertumbuhan konsumsi domestik; tetapi timbul masalah baru karena impor bahan baku meningkat. Solusinya ibarat kita mengatur belanja bulanan di rumah: cari cara menambah pemasukan, jangan pengeluarannya yang terus dipotong. Buatlah industri yang kompetitif untuk ekspor daripada berpikir untuk menekan impor.

Pada kenyataannya, sulit bagi Indonesia untuk sukses menjadi ”toko serba ada”. Agar suatu industri bisa tumbuh berkesinambungan, harus ada spesialisasi. Teknologinya harus dikuasai dan untuk ini dibutuhkan skala dan kompetisi yang cukup di antara perusahaan-perusahaan dalam satu industri. Lebih baik kita memilih satu atau beberapa industri, untuk kemudian difokuskan pengembangan daya saingnya untuk ekspor. Tidak perlu swasembada segala produk, yang bilamana berhasil pun akan hanya bertahan beberapa tahun.

Semakin lama, tantangan yang dihadapi akan semakin berat ke depannya. Masalah perbaikan struktur ekspor serta reformasi energi dan subsidi ini saling berkaitan dan harus diselesaikan secara menyeluruh. Agar bisa bersaing dengan Thailand yang telah sukses menjadi basis ekspor otomotif, misalnya, biaya logistik di negeri ini harus turun. Ini tidak bisa tercapai apabila jalanan macet total atau antrean masuk pelabuhan berjam-jam. Lagi-lagi dibutuhkan pembangunan transportasi massal, pengurangan ketergantungan kendaraan pribadi, dan realokasi subsidi BBM.

Apabila Bank Indonesia terus memperketat kondisi moneter, mungkin nilai tukar rupiah bisa kembali stabil dan perekonomian lambat laun bisa pulih. Namun, dua bom waktu ini akan terus berjalan jika dibiarkan dan akan terus memperlemah sendi-sendi perekonomian.

Para teknokrat dan profesional di pemerintahan sudah sangat paham dengan permasalahan yang ada. 
Namun, kebijakan apa pun yang dirumuskan akan kandas jika tidak ada dukungan politik. Jangan sampai Pemilu 2014 menyita perhatian para penyelenggara negara terhadap masalah-masalah struktural yang sudah sangat mendesak. Apabila tidak cepat ditanggapi, ongkosnya bagi anak cucu sangat besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar