Sabtu, 12 Oktober 2013

Ingatlah Anak dan Isteri…

Ingatlah Anak dan Isteri…
James Luhulima  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 12 Oktober 2013


Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi di rumah dinasnya di Jalan Widya Chandra III Nomor 7, Rabu, 3 Oktober 2013 malam. Ia diduga menerima suap terkait sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Juru Bicara KPK Johan Budi mengungkapkan, Akil Mochtar ditangkap setelah serah terima uang sekitar pukul 22.00.

Ketua MK itu ditangkap bersama-sama dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Chairun Nisa, Bupati Gunung Mas Hambit Bintih, serta pengusaha berinisial DH dan Cornelis Nalau. KPK juga menyita uang dollar Singapura dan Amerika Serikat senilai Rp 2 miliar-Rp 3 miliar.

Sulit bagi Akil Mochtar untuk mengelak dari dugaan menerima suap seperti yang disangkakan KPK. Sejak September lalu, KPK sudah mengintainya. Akil ditangkap saat akan ada penyerahan uang dari Chairun Nisa dan Cornelis Nalau, sebanyak 282.040 dollar Singapura dan 22.000 dollar Amerika Serikat, kepada dirinya. Uang itu merupakan pemberian dari Hambit yang tengah berperkara dalam sengketa pemilihan umum kepala daerah di MK.

Kita tidak tahu lagi harus bereaksi seperti apa atas kejadian itu. Kita hanya bisa bertanya-tanya, mengapa Akil Mochtar tidak menjaga kehormatan dirinya sendiri dan juga kehormatan lembaga tinggi yang dipimpinnya? Tidak sedikit orang yang mempersoalkan proses perekrutan Ketua MK. Bagaimana mungkin sampai seseorang yang terpilih sebagai Ketua MK, pemimpin lembaga yang menjadi penjaga konstitusi dan benteng keadilan, melakukan perbuatan seperti itu?

Tidak heran jika mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie bereaksi sangat keras terhadap kasus yang menimpa Akil. Ia menegaskan, ”Ini orang (Akil) harus segera diberhentikan. Bentuk segera majelis kehormatan. Kalau sudah tertangkap tangan, kan, berarti dia terbukti menerima. Menurut saya, pantasnya, orang ini dihukum mati. Walaupun undang-undang tidak mengenal pidana mati untuk korupsi.”

Akil Mochtar bukanlah orang penting pertama yang ditangkap KPK. Dua bulan sebelumnya, 13 Agustus 2013 pukul 22.30, KPK menangkap Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini, juga karena dugaan menerima suap.

Sebelumnya, ada Angelina Sondakh, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dewan yang terhormat, yang ditangkap KPK karena diduga menerima suap. Lalu ada Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq yang ditangkap KPK, diduga terkait kasus korupsi dalam pengurusan impor daging sapi dan kasus pencucian uang. Sulit rasanya untuk percaya, seorang pemimpin dari partai yang mempunyai citra yang baik dapat melakukan perbuatan seperti itu.

Kita dibuat terheran-heran, mengapa penangkapan yang dilakukan KPK tidak menimbulkan efek jera sedikit pun. Selalu saja ada orang penting dan berada dalam posisi terhormat yang ditangkap KPK.
Melalui layar televisi, setiap kali, kita mengamati dengan saksama, ekspresi wajah orang-orang yang ditangkap KPK, dan mencoba melihat adakah rasa malu atau rasa bersalah memencar dari wajah mereka. Semua itu sama sekali tidak tampak. Justru kita melihat senyum lepas yang memancar dari ekspresi wajah mereka. Bahkan, beberapa dari mereka malah melambai-lambaikan tangan kepada wartawan yang menantinya.

Di mana rasa malu itu?

Kita tidak habis mengerti, di mana rasa malu mereka? Mengapa kita sama sekali tidak menangkap adanya pancaran rasa malu dalam ekspresi mereka? Akan tetapi? Sudahlah, mungkin mereka tidak memiliki rasa malu lagi. Namun, lupakah mereka, bahwa rasa malu itu tidak hanya harus ditanggung mereka sendiri, tetapi juga oleh keluarga mereka, terutama anak-anak mereka, dan istri atau suami yang merupakan belahan jiwa mereka.

Bagi orang-orang yang ditangkap KPK, menanggung rasa malu itu memang sudah seharusnya, mengingat itu adalah buah dari perbuatan yang mereka lakukan. Mereka tahu, perbuatan yang mereka lakukan itu dilarang, tetapi mereka tetap melakukannya.

Namun, bagaimana dengan anak-anak mereka yang harus menanggung perasaan malu atas perbuatan yang mereka lakukan.

Bagaimana anak-anak mereka harus menghadapi lingkungan di rumah, di sekolah, di kampus, atau di tempat kerja? Lupakah mereka bahwa salah satu dari tujuan mereka bekerja adalah untuk membuat anak-anak mereka bahagia, dan bukan menyengsarakan mereka dengan menimpakan rasa malu kepada mereka.

Kita tidak dapat memungkiri bahwa tindak korupsi sudah begitu merajalela di masyarakat. Kita juga mengetahui bahwa hanya karakter yang baik dan berkualitaslah yang dapat membuat seseorang dapat mempertahankan kehormatan dirinya sendiri dan lembaga yang diwakilinya. Itu sebabnya, tidak ada pilihan lain bagi Indonesia kecuali menata ulang sistem pendidikan di negara ini. Merajalelanya korupsi di negara ini menjadi bukti bahwa sistem pendidikan yang ada sekarang ini terbukti tidak dapat menghasilkan orang-orang yang berkarakter yang baik dan berkualitas.

Akan tetapi, menyalahkan sistem pendidikan saja, juga tidak benar. Oleh karena pendidikan karakter itu pertama-tama dimulai di rumah, terutama di usia-usia dini sebelum anak mengikuti pendidikan formal di sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar