|
Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar ditangkap Komisi
Pemberantasan Korupsi di rumah dinasnya di Jalan Widya Chandra III Nomor 7,
Rabu, 3 Oktober 2013 malam. Ia diduga menerima suap terkait sengketa Pemilihan
Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Juru Bicara KPK Johan
Budi mengungkapkan, Akil Mochtar ditangkap setelah serah terima uang sekitar
pukul 22.00.
Ketua MK itu ditangkap bersama-sama dengan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Chairun Nisa, Bupati Gunung Mas Hambit Bintih, serta
pengusaha berinisial DH dan Cornelis Nalau. KPK juga menyita uang dollar
Singapura dan Amerika Serikat senilai Rp 2 miliar-Rp 3 miliar.
Sulit bagi Akil Mochtar untuk mengelak dari dugaan menerima
suap seperti yang disangkakan KPK. Sejak September lalu, KPK sudah
mengintainya. Akil ditangkap saat akan ada penyerahan uang dari Chairun Nisa
dan Cornelis Nalau, sebanyak 282.040 dollar Singapura dan 22.000 dollar Amerika
Serikat, kepada dirinya. Uang itu merupakan pemberian dari Hambit yang tengah
berperkara dalam sengketa pemilihan umum kepala daerah di MK.
Kita tidak tahu lagi harus bereaksi seperti apa atas kejadian
itu. Kita hanya bisa bertanya-tanya, mengapa Akil Mochtar tidak menjaga
kehormatan dirinya sendiri dan juga kehormatan lembaga tinggi yang dipimpinnya?
Tidak sedikit orang yang mempersoalkan proses perekrutan Ketua MK. Bagaimana
mungkin sampai seseorang yang terpilih sebagai Ketua MK, pemimpin lembaga yang
menjadi penjaga konstitusi dan benteng keadilan, melakukan perbuatan seperti
itu?
Tidak heran jika mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie bereaksi
sangat keras terhadap kasus yang menimpa Akil. Ia menegaskan, ”Ini orang (Akil)
harus segera diberhentikan. Bentuk segera majelis kehormatan. Kalau sudah
tertangkap tangan, kan, berarti dia terbukti menerima. Menurut saya, pantasnya,
orang ini dihukum mati. Walaupun undang-undang tidak mengenal pidana mati untuk
korupsi.”
Akil Mochtar bukanlah orang penting pertama yang ditangkap
KPK. Dua bulan sebelumnya, 13 Agustus 2013 pukul 22.30, KPK menangkap Kepala
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK
Migas) Rudi Rubiandini, juga karena dugaan menerima suap.
Sebelumnya, ada Angelina Sondakh, anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, dewan yang terhormat, yang ditangkap KPK karena diduga menerima suap.
Lalu ada Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq yang ditangkap
KPK, diduga terkait kasus korupsi dalam pengurusan impor daging sapi dan kasus
pencucian uang. Sulit rasanya untuk percaya, seorang pemimpin dari partai yang
mempunyai citra yang baik dapat melakukan perbuatan seperti itu.
Kita dibuat terheran-heran, mengapa penangkapan yang
dilakukan KPK tidak menimbulkan efek jera sedikit pun. Selalu saja ada orang
penting dan berada dalam posisi terhormat yang ditangkap KPK.
Melalui layar televisi, setiap kali, kita mengamati dengan
saksama, ekspresi wajah orang-orang yang ditangkap KPK, dan mencoba melihat
adakah rasa malu atau rasa bersalah memencar dari wajah mereka. Semua itu sama
sekali tidak tampak. Justru kita melihat senyum lepas yang memancar dari
ekspresi wajah mereka. Bahkan, beberapa dari mereka malah melambai-lambaikan
tangan kepada wartawan yang menantinya.
Di mana rasa malu itu?
Kita tidak habis mengerti, di mana rasa malu mereka? Mengapa
kita sama sekali tidak menangkap adanya pancaran rasa malu dalam ekspresi
mereka? Akan tetapi? Sudahlah, mungkin mereka tidak memiliki rasa malu lagi.
Namun, lupakah mereka, bahwa rasa malu itu tidak hanya harus ditanggung mereka
sendiri, tetapi juga oleh keluarga mereka, terutama anak-anak mereka, dan istri
atau suami yang merupakan belahan jiwa mereka.
Bagi orang-orang yang ditangkap KPK, menanggung rasa malu itu
memang sudah seharusnya, mengingat itu adalah buah dari perbuatan yang mereka
lakukan. Mereka tahu, perbuatan yang mereka lakukan itu dilarang, tetapi mereka
tetap melakukannya.
Namun, bagaimana dengan anak-anak mereka yang harus
menanggung perasaan malu atas perbuatan yang mereka lakukan.
Bagaimana anak-anak mereka harus menghadapi lingkungan di
rumah, di sekolah, di kampus, atau di tempat kerja? Lupakah mereka bahwa salah
satu dari tujuan mereka bekerja adalah untuk membuat anak-anak mereka bahagia,
dan bukan menyengsarakan mereka dengan menimpakan rasa malu kepada mereka.
Kita tidak dapat memungkiri bahwa tindak korupsi sudah begitu
merajalela di masyarakat. Kita juga mengetahui bahwa hanya karakter yang baik
dan berkualitaslah yang dapat membuat seseorang dapat mempertahankan kehormatan
dirinya sendiri dan lembaga yang diwakilinya. Itu sebabnya, tidak ada pilihan
lain bagi Indonesia kecuali menata ulang sistem pendidikan di negara ini.
Merajalelanya korupsi di negara ini menjadi bukti bahwa sistem pendidikan yang
ada sekarang ini terbukti tidak dapat menghasilkan orang-orang yang berkarakter
yang baik dan berkualitas.
Akan tetapi, menyalahkan sistem pendidikan saja, juga tidak
benar. Oleh karena pendidikan karakter itu pertama-tama dimulai di rumah,
terutama di usia-usia dini sebelum anak mengikuti pendidikan formal di sekolah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar