Jumat, 11 Oktober 2013

Mencari Akar Korupsi

Mencari Akar Korupsi
Herri Kiswanto S Mahasiswa Pascasarjana STFT Widya Sasana, Malang
SINAR HARAPAN, 10 Oktober 2013


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Golkar, Chairun Nisa, Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Hambit Bintih, serta pengusaha berinisial DH dan CN, Rabu (2/10), sekitar pukul 22.00 WIB.

Rakyat Indonesia dikagetkan dengan berita penangkapan ketua MK atas dugaan kasus suap Pilkada di Kalimantan dan Lebak ini.

MK sebagai lembaga hukum tertinggi di negeri ini telah mempermalukan dirinya. Ekspektasi masyarakat yang begitu tinggi berkaitan dengan tegaknya hukum di tangan lembaga ini ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan yang terjadi.

Terlepas dari siapa dan lembaga mana yang terlibat dalam kasus korupsi, sepertinya persoalan korupsi ini tampak seperti “selilit” yang menggerogoti tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Aneka persoalan korupsi silih berganti melanda kehidupan berbangsa dan bernegara. Tampaknya, aneka persolan yang ada ibarat selilit yang menggerogoti eksistensi NKRI tercinta ini. Kasus korupsi ini secara implisit hendak mengungkapkan realitas kurangnya sikap “rasa memiliki” terhadap bangsa dan negara.
Hal itu mengakibatkan “selilit” menggerogoti tubuh bangsa ini. Ibarat tubuh manusia yang tidak dirawat dan diperhatikan sang pemilik tubuh itu sendiri atau sekalipun dirawat dan diperhatikan, tetapi tidak maksimal.

Sepintas, kalau kita menelisik dan meneropong lebih jauh, kurangnya sikap rasa memiliki terhadap bangsa dan negara sepertinya tidak terlepas dari pengalaman masa lalu dari bangsa ini.

Krisis Tanggung Jawab

Diakui atau tidak, pengalaman masa lalu cukup berperan dalam membentuk karakter pribadi bangsa ini. Kita dapat dan patut merujuk pada masa penjajahan kolonial Belanda yang begitu lama menunggangi bangsa ini. Pengalaman dijajah dalam kurun waktu yang relatif lama secara serentak ikut membentuk karakter pribadi bangsa.

Karakter tersebut adalah elemen rohaniah manusiawi Indonesia yang menunjukkan bahwa ia tidak merasa memiliki atas tanah air dan hasil buminya sendiri. Hal ini karena ia adalah pekerja bagi sang tuan yakni Belanda.

Saat yang sama, bangsa Indonesia sebagai objek jajahan sesungguhnya juga sedang membangun benteng-benteng pertahanannya secara personal demi alasan mempertahankan diri maupun demi alasan kebutuhan akan rasa aman.

Benteng-benteng yang dibangun itu berupa bangunan-bangunan sikap individualistik, munafik, dan egoistik. Bangunan-bangunan sikap tersebut sesuai dengan kualitas negatif manusia Indonesia seperti yang dijelaskan Mochtar Lubis dalam bukunya yang berjudul Manusia Indonesia (2001).

Dalam buku yang merupakan kumpulan pidatonya di IKJ pada 1977 itu, beliau mengungkapkan paling tidak terdapat dua belas sikap mental manusia Indonesia yang menonjol. Sikap-sikap itu di antaranya adalah munafik, enggan bertanggung jawab atas keputusannya sendiri, feodalis, percaya takhayul, artistik, dan berwatak lemah.

Pada konteks zamannya, bangunan-bangunan sikap tersebut tentu tampak sebagai “sikap yang baik”. Dikatakan baik karena memang sikap-sikap itu diperlukan demi alasan dapat bertahan hidup dan untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman. Misalnya, sikap individual, munafik, dan egois itu muncul ketika setiap pribadi dalam situasi tanam paksa berusaha semaksimal mungkin bekerja untuk Belanda demi upah atau reward.

Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya sikap-sikap itu secara tidak sadar menjadi stimulus terhadap kemungkinkan menjamurnya korupsi yang berlangsung hebat dan terus-menerus di berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta di negara tercinta ini. Dengan kata lain, budaya korupsi di negara ini, bila ditelusuri, mempunyai akar pada sikap-sikap negatif yang terbentuk pada zaman penjajahan.

Selanjutnya, apabila kurangnya kesadaran akan rasa memiliki dalam diri setiap warga negara terhadap bangsa dan negara masih tumbuh subur maka hal itu akan semakin melapangkan jalan bagi persoalan bangsa yang lebih runyam lagi.

Kurangnya rasa memiliki terhadap bangsa dan negara ini merupakan ungkapan adanya krisis tanggung jawab dari setiap warga negara, khususnya pemerintah dalam banyak dimensi, baik dalam kaitannya dengan tanggung jawab terhadap tanah air maupun terhadap sesama. Hal ini juga sangat berkaitan dengan perlakuan setiap warga negara terhadap Indonesia.

Berbenah Diri

Uraian di atas tidak bermaksud untuk melihat pengalaman masa lalu bangsa ini semata-mata sebagai sesuatu yang buruk dan jelek. Hal ini karena pengalaman masa lalu juga menunjukkan bangsa ini pernah bersatu padu menyatukan “rasa memiliki” terhadap bangsa ketika berjuang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, sekalipun perlahan-lahan terasa luntur.

Akan tetapi, uraian tersebut lebih ingin menunjukkan dan menjadikan fakta tersebut sebagai titik balik (turning point) untuk berbenah diri. Situasi dan keadaan sulit yang dihadapi bangsa kita akhir-akhir ini menuntut kita untuk lebih peduli dan memupuk rasa tanggung jawab sebagai warga negara.

Tidak jarang persoalan yang dihadapi bangsa kita dewasa ini cukup kental dipicu kurangnya rasa tanggung jawab setiap warga negara terhadap negara. Fenomena saling melempar tanggung jawab sering kali terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Seolah-olah tanggung jawab untuk memperhatikan dan memperjuangkan eksistensi negara adalah tugas dan tanggung jawab pemerintah, sekalipun memang pemerintah harus lebih peduli karena mereka telah mengemban amanat luhur untuk mengabdikan diri terhadap bangsa dan negara.

Oleh karena itu, pemerintah sebagai pemegang kendali bangsa ini perlu untuk melihat amanat luhur ini sebagai panggilan jiwa, bukan sebagai profesi semata-mata. Hal itu akan sangat memengaruhi kualitas pengabdian dan pelayanan terhadap bangsa dan negara.

Akan tetapi, lebih dari itu semua, usaha untuk memperhatikan dan memperjuangkan eksistensi bangsa dan negara ini adalah tanggung jawab kita bersama. Kita patut bertanya “sejauh mana kita sudah bertanggung jawab terhadap Indonesia?”

Dalam kaitannya dengan usaha untuk berbenah diri, konsep tanggung jawab yang pernah digagas Levinas dalam bukunya yang berjudul Totality and Infinity (1991) dapat kita jadikan sabagai bahan inspirasi untuk diajarkan di keluarga maupun sekolah sejak dini.

Dalam pemahaman Levinas, tanggung jawab itu mendahului segala bentuk aktivitas manusia, entah itu berpikir atau pun bertindak. Dengan kata lain, Levinas memahami bahwa tanggung jawab merupakan sesuatu yang sudah melekat dalam kemanusiaan kita.

Hal itu menuntut kita untuk memiliki tanggung jawab terhadap “yang lain” sebelum kita berpikir dan juga bertindak. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, “yang lain” itu tidak lain dan tidak bukan adalah segala sesuatu yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Eksistensi ”yang lain” merupakan fakta yang tak dapat dipungkiri dalam kehidupan kita.

Dalam hal ini, tampak bahwa tanggung jawab selalu mengandung makna imperatif yakni menuntut seseorang berlaku baik dan adil terhadap “yang lain”. Tidak malah memupuk sikap berpusat dan mementingkan diri dan kelompok tertentu serta mengalienasi, maupun mengeksploitasi “yang lain”. Bila hal ini terjadi, sesungguhnya penyangkalan terhadap eksistensi diri sebagai manusia juga sedang terjadi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar