|
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
Akil Mochtar, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Golkar,
Chairun Nisa, Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Hambit Bintih, serta
pengusaha berinisial DH dan CN, Rabu (2/10), sekitar pukul 22.00 WIB.
Rakyat Indonesia
dikagetkan dengan berita penangkapan ketua MK atas dugaan kasus suap Pilkada di
Kalimantan dan Lebak ini.
MK
sebagai lembaga hukum tertinggi di negeri ini telah mempermalukan dirinya.
Ekspektasi masyarakat yang begitu tinggi berkaitan dengan tegaknya hukum di
tangan lembaga ini ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan yang terjadi.
Terlepas
dari siapa dan lembaga mana yang terlibat dalam kasus korupsi, sepertinya
persoalan korupsi ini tampak seperti “selilit” yang menggerogoti tubuh Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Aneka
persoalan korupsi silih berganti melanda kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tampaknya, aneka persolan yang ada ibarat selilit yang menggerogoti eksistensi
NKRI tercinta ini. Kasus korupsi ini secara implisit hendak
mengungkapkan realitas kurangnya sikap “rasa memiliki” terhadap
bangsa dan negara.
Hal
itu mengakibatkan “selilit” menggerogoti tubuh bangsa ini. Ibarat tubuh manusia
yang tidak dirawat dan diperhatikan sang pemilik tubuh itu sendiri atau
sekalipun dirawat dan diperhatikan, tetapi tidak maksimal.
Sepintas,
kalau kita menelisik dan meneropong lebih jauh, kurangnya sikap rasa memiliki
terhadap bangsa dan negara sepertinya tidak terlepas dari pengalaman masa lalu
dari bangsa ini.
Krisis
Tanggung Jawab
Diakui
atau tidak, pengalaman masa lalu cukup berperan dalam membentuk karakter
pribadi bangsa ini. Kita dapat dan patut merujuk pada masa penjajahan kolonial
Belanda yang begitu lama menunggangi bangsa ini. Pengalaman dijajah dalam kurun
waktu yang relatif lama secara serentak ikut membentuk karakter pribadi bangsa.
Karakter
tersebut adalah elemen rohaniah manusiawi Indonesia yang menunjukkan bahwa ia
tidak merasa memiliki atas tanah air dan hasil buminya sendiri. Hal ini karena
ia adalah pekerja bagi sang tuan yakni Belanda.
Saat
yang sama, bangsa Indonesia sebagai objek jajahan sesungguhnya juga sedang
membangun benteng-benteng pertahanannya secara personal demi alasan
mempertahankan diri maupun demi alasan kebutuhan akan rasa aman.
Benteng-benteng
yang dibangun itu berupa bangunan-bangunan sikap individualistik, munafik, dan
egoistik. Bangunan-bangunan sikap tersebut sesuai dengan kualitas negatif
manusia Indonesia seperti yang dijelaskan Mochtar Lubis dalam bukunya yang
berjudul Manusia Indonesia (2001).
Dalam
buku yang merupakan kumpulan pidatonya di IKJ pada 1977 itu, beliau
mengungkapkan paling tidak terdapat dua belas sikap mental manusia Indonesia
yang menonjol. Sikap-sikap itu di antaranya adalah munafik, enggan bertanggung
jawab atas keputusannya sendiri, feodalis, percaya takhayul, artistik, dan
berwatak lemah.
Pada
konteks zamannya, bangunan-bangunan sikap tersebut tentu tampak sebagai “sikap
yang baik”. Dikatakan baik karena memang sikap-sikap itu diperlukan demi alasan
dapat bertahan hidup dan untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman. Misalnya,
sikap individual, munafik, dan egois itu muncul ketika setiap pribadi dalam
situasi tanam paksa berusaha semaksimal mungkin bekerja untuk Belanda demi upah
atau reward.
Akan
tetapi, dalam perkembangan selanjutnya sikap-sikap itu secara tidak sadar
menjadi stimulus terhadap kemungkinkan menjamurnya korupsi yang berlangsung
hebat dan terus-menerus di berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta di
negara tercinta ini. Dengan kata lain, budaya korupsi di negara ini, bila
ditelusuri, mempunyai akar pada sikap-sikap negatif yang terbentuk pada zaman
penjajahan.
Selanjutnya,
apabila kurangnya kesadaran akan rasa memiliki dalam diri setiap warga negara
terhadap bangsa dan negara masih tumbuh subur maka hal itu akan semakin
melapangkan jalan bagi persoalan bangsa yang lebih runyam lagi.
Kurangnya
rasa memiliki terhadap bangsa dan negara ini merupakan ungkapan adanya krisis
tanggung jawab dari setiap warga negara, khususnya pemerintah dalam banyak
dimensi, baik dalam kaitannya dengan tanggung jawab terhadap tanah air maupun
terhadap sesama. Hal ini juga sangat berkaitan dengan perlakuan setiap warga
negara terhadap Indonesia.
Berbenah
Diri
Uraian di
atas tidak bermaksud untuk melihat pengalaman masa lalu bangsa
ini semata-mata sebagai sesuatu yang buruk dan jelek. Hal ini karena
pengalaman masa lalu juga menunjukkan bangsa ini pernah bersatu padu menyatukan
“rasa memiliki” terhadap bangsa ketika berjuang merebut kemerdekaan dari tangan
penjajah, sekalipun perlahan-lahan terasa luntur.
Akan
tetapi, uraian tersebut lebih ingin menunjukkan dan menjadikan fakta tersebut
sebagai titik balik (turning point)
untuk berbenah diri. Situasi dan keadaan sulit yang dihadapi bangsa kita
akhir-akhir ini menuntut kita untuk lebih peduli dan memupuk rasa tanggung
jawab sebagai warga negara.
Tidak
jarang persoalan yang dihadapi bangsa kita dewasa ini cukup kental dipicu
kurangnya rasa tanggung jawab setiap warga negara terhadap negara. Fenomena
saling melempar tanggung jawab sering kali terjadi dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Seolah-olah
tanggung jawab untuk memperhatikan dan memperjuangkan eksistensi negara adalah
tugas dan tanggung jawab pemerintah, sekalipun memang pemerintah harus lebih
peduli karena mereka telah mengemban amanat luhur untuk mengabdikan diri
terhadap bangsa dan negara.
Oleh
karena itu, pemerintah sebagai pemegang kendali bangsa ini perlu untuk melihat
amanat luhur ini sebagai panggilan jiwa, bukan sebagai profesi semata-mata. Hal
itu akan sangat memengaruhi kualitas pengabdian dan pelayanan terhadap bangsa
dan negara.
Akan
tetapi, lebih dari itu semua, usaha untuk memperhatikan dan memperjuangkan
eksistensi bangsa dan negara ini adalah tanggung jawab kita bersama. Kita patut
bertanya “sejauh mana kita sudah bertanggung jawab terhadap Indonesia?”
Dalam
kaitannya dengan usaha untuk berbenah diri, konsep tanggung jawab yang pernah
digagas Levinas dalam bukunya yang berjudul Totality
and Infinity (1991) dapat kita jadikan sabagai bahan inspirasi untuk
diajarkan di keluarga maupun sekolah sejak dini.
Dalam
pemahaman Levinas, tanggung jawab itu mendahului segala bentuk aktivitas
manusia, entah itu berpikir atau pun bertindak. Dengan kata lain, Levinas
memahami bahwa tanggung jawab merupakan sesuatu yang sudah melekat dalam kemanusiaan
kita.
Hal
itu menuntut kita untuk memiliki tanggung jawab terhadap “yang lain” sebelum
kita berpikir dan juga bertindak. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan
bernegara, “yang lain” itu tidak lain dan tidak bukan adalah segala sesuatu
yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Eksistensi ”yang lain”
merupakan fakta yang tak dapat dipungkiri dalam kehidupan kita.
Dalam
hal ini, tampak bahwa tanggung jawab selalu mengandung makna imperatif yakni
menuntut seseorang berlaku baik dan adil terhadap “yang lain”. Tidak malah
memupuk sikap berpusat dan mementingkan diri dan kelompok tertentu serta
mengalienasi, maupun mengeksploitasi “yang lain”. Bila hal ini terjadi,
sesungguhnya penyangkalan terhadap eksistensi diri sebagai manusia juga sedang
terjadi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar