|
Tuntutan
hukuman mati bagi koruptor kembali mencuat setelah ketua Mahkamah Konstitusi
(MK), Akil Mochtar, tertangkap tangan oleh KPK atas dugaan menerima suap Rp 3
miliar dalam kasus sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Muncul semacam “gregetan massal” di tengah masyarakat yang menuntutnya dihukum
mati.
Sebagai
penegak hukum sekaligus penjaga konstitusi, ia seharusnya memberi keteladanan
taat hukum dan konstitusi. Karena korupsi—dalam bahasa Latin,
corruptus—tindakan yang merusak, menghancurkan, melanggar hokum, dan merampas
hak-hak rakyat, maka logis bila hukumanya harus jauh lebih berat, termasuk
hukuman mati. Namun, diskursus hukuman mati di negeri ini masih menjadi
perdebatan.
Perdebatan
itu tak bisa dilepaskan dari tarik-menarik antara teori retributif dan utiliter
hukum. Dengan berpijak pada hukum kodrati, penganut teori retributif menekankan
hukuman sebagai restorasi (pemulihan kembali) atas kerugian yang diderita
korban secara setimpal. Kejahatan adalah bentuk negasi dari hak, maka
hukumannya adalah penegasan kembali hak seseorang.
Hukuman
lebih dilihat sebagai pemulihan kembali hakikat dan martabat manusia yang
dilanggar, dirusak, atau disingkirkan oleh tindakan kejahatan. Maka, berlaku
prinsip hilangnya nyawa seseorang harus diganti dengan nyawa pelakunya,
sehingga keadilan dapat terpenuhi secara pasti.
Sebaliknya,
teori utiliter menganggap hukuman semata-mata sebagai sarana pendidikan, baik
bagi terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya maupun bagi masyarakat agar
tidak berani melakukan tindakan yang sama. Untuk itu, hukuman mati tidak
dibenarkan, karena terdakwa tidak diberi kesempatan memperbaiki dirinya.
Armada
Riyanto (2011) menilai hukuman mati tidak bisa menjadi landasan prinsip
keadilan. Ia tidak bisa dikategorikan sebagai sangsi legal adil. Penerapan
hukuman yang legal semestinya mengedepankan prinsip-prinsip keadilan manusiawi
pada tataran nilai-nilai kultur-edukatif etis. Sebuah sanksi yang legal akan
bergumul dengan pertimbangan rasional yang berefek jera bagi pelaku kejahatan,
sehingga tidak melakukan kejahatan yang sama.
Lalu,
bagaimana dengan perilaku korupsi yang masuk kategori kejahatan top hate crime
itu? Tentu kita masih ingat dengan hukuman Irjen Djoko Susilo.
Mantan
Korlantas Polri yang merugikan negara Rp 121.830 miliar karena korupsi proyek
simulator SIM dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) itu hanya dihukum 10
tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Hukuman ini
jauh dari tuntutan jaksa KPK, yakni 18 tahun penjara, denda Rp 1 miliar
subsider 1 tahun kurungan, membayar kerugian negara Rp 32 miliar dan pencabutan
hak politik.
Alih-alih
memberikan shock therapy, putusan
hukumannya justru antitesis dari semangat pemberantasan korupsi. Belum terlihat
konsistensi dari penegak hukum kita, terutama para hakim di pengadilan Tipikor
dalam menegakkan efek jera.
Terbukti
ganjaran bagi “tikus dan rayap” negara tidak kurang dari dua pertiga hukuman
yang seharusnya layak diterima. ICW (Indonesia
Corruption Watch) mencatat sejak semester II/2010
hingga
semester I/2013, ada 143 terdakwa divonis bebas, 185 divonis 1 tahun penjara,
384 divonis 1-5 tahun penjara, 35 divonis 5-10 tahun penjara, dan hanya lima
orang yang divonis di atas 10 tahun penjara (30/7). Tren vonis ringan ini pun
masih dirayakan dengan panen remisi ketika hari kemerdekaan dan momentum
Lebaran. Tak heran jika negeri ini menjadi comfort
zone bagi koruptor.
Sulit
rasanya pemberantasan korupsi bisa sampai ke akar-akarnya manakala efek jera
masih jadi barang mahal. Sejumlah negara lain telah menempuh langkah-langkah
radikal, termasuk hukuman mati untuk menciptakan efek jera bagi koruptor.
Mahalnya
efek jera inilah yang melanggengkan regenerasi korupsi. Memang korupsi berbeda
dengan kejahatan lainnya, seperti pembunuhan atau kekerasan massal yang orban,
kerusakan dan kerugiannya dapat dilihat langsung.
Ada
“jarak” antara kajahatan korupsi dengan konsekuensi-konsekuensi logis yang
muncul. Meski pejabat korupsi triliunan rupiah, dampaknya tak bisa langsung
dirasakan masyarakat. Padahal, korupsi memiliki akibat jauh lebih dahsyat tanpa
bisa terlihat langsung hubungan sebab-akibatnya.
Masalah
korupsi tidak hanya tanggung jawab moral dan hukum, tetapi juga tanggung jawab
politik. Atau politik yang bertanggung jawab, di mana praktik penyelenggaraan
negara diharapkan sesuai etika politik.
Dalam
konteks ini, Paul Ricoeur (1991) membidik etika politik sebagai tujuan hidup,
baik bersama maupun untuk orang lain, dalam institusi-institusi adil dan dalam
kerangka memperluas lingkup kebebasan. Dengan perspektif ini, korupsi adalah
bentuk negasi dari ketiga unsur etika politik tersebut.
Pertama,
korupsi merusak sendi-sendi penopang hidup, baik bersama maupun untuk orang
lain, karena yang dicari kepentingan diri atau kelompoknya. Padahal, kehidupan
bersama adalah cita-cita kebebasan yang ingin menggapai keutamaan.
Maka,
korupsi adalah negasi nilai yang kedua, yakni mengkhianati cita-cita kebebasan
itu. Ketiga, korupsi menghalangi upaya membangun institusi-institusi yang adil,
karena pada dasarnya korupsi adalah bentuk ketidakadilan, dan beroperasi
melawan perwujudan kesejahteraan bersama.
Untuk
itu, di tengah kontroversi hukuman mati dan mahalnya efek jera, kini hukuman
bagi koruptor harus sepadan dengan dampak yang diakibatkan. Hukuman tidak
semata berdasarkan logika peraturan.
Logika
kepatutan sosial dan logika keadilan harus menjadi dasar pertimbangan. Kendati
tidak mudah, hukuman harus sejalan dengan rasa keadilan masyarakat, sehingga,
kalaupun itu hukuman mati, merupakan eksperesi kehendak umum dan rasa keadilan
masyarakat tanpa terpolusi kepentingan.
Jika
kemudian hukuman tidak menjerakan, hal itu menggambarkan betapa negeri ini
telah terbiasa hidup dalam kebobrokan, atau memang memuluskan jalan bagi para
koruptor untuk mengeruk harta negara tanpa rasa takut dan jera. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar