Jumat, 11 Oktober 2013

Hukuman Mati dan Mahalnya Efek Jera

Hukuman Mati dan Mahalnya Efek Jera
Joko Wahyono Analis Politik dan Hukum di Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 10 Oktober 2013


Tuntutan hukuman mati bagi koruptor kembali mencuat setelah ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, tertangkap tangan oleh KPK atas dugaan menerima suap Rp 3 miliar dalam kasus sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Muncul semacam “gregetan massal” di tengah masyarakat yang menuntutnya dihukum mati.

Sebagai penegak hukum sekaligus penjaga konstitusi, ia seharusnya memberi keteladanan taat hukum dan konstitusi. Karena korupsi—dalam bahasa Latin, corruptus—tindakan yang merusak, menghancurkan, melanggar hokum, dan merampas hak-hak rakyat, maka logis bila hukumanya harus jauh lebih berat, termasuk hukuman mati. Namun, diskursus hukuman mati di negeri ini masih menjadi perdebatan.

Perdebatan itu tak bisa dilepaskan dari tarik-menarik antara teori retributif dan utiliter hukum. Dengan berpijak pada hukum kodrati, penganut teori retributif menekankan hukuman sebagai restorasi (pemulihan kembali) atas kerugian yang diderita korban secara setimpal. Kejahatan adalah bentuk negasi dari hak, maka hukumannya adalah penegasan kembali hak seseorang.

Hukuman lebih dilihat sebagai pemulihan kembali hakikat dan martabat manusia yang dilanggar, dirusak, atau disingkirkan oleh tindakan kejahatan. Maka, berlaku prinsip hilangnya nyawa seseorang harus diganti dengan nyawa pelakunya, sehingga keadilan dapat terpenuhi secara pasti.

Sebaliknya, teori utiliter menganggap hukuman semata-mata sebagai sarana pendidikan, baik bagi terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya maupun bagi masyarakat agar tidak berani melakukan tindakan yang sama. Untuk itu, hukuman mati tidak dibenarkan, karena terdakwa tidak diberi kesempatan memperbaiki dirinya.

Armada Riyanto (2011) menilai hukuman mati tidak bisa menjadi landasan prinsip keadilan. Ia tidak bisa dikategorikan sebagai sangsi legal adil. Penerapan hukuman yang legal semestinya mengedepankan prinsip-prinsip keadilan manusiawi pada tataran nilai-nilai kultur-edukatif etis. Sebuah sanksi yang legal akan bergumul dengan pertimbangan rasional yang berefek jera bagi pelaku kejahatan, sehingga tidak melakukan kejahatan yang sama.

Lalu, bagaimana dengan perilaku korupsi yang masuk kategori kejahatan top hate crime itu? Tentu kita masih ingat dengan hukuman Irjen Djoko Susilo.

Mantan Korlantas Polri yang merugikan negara Rp 121.830 miliar karena korupsi proyek simulator SIM dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) itu hanya dihukum 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Hukuman ini jauh dari tuntutan jaksa KPK, yakni 18 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan, membayar kerugian negara Rp 32 miliar dan pencabutan hak politik.

Alih-alih memberikan shock therapy, putusan hukumannya justru antitesis dari semangat pemberantasan korupsi. Belum terlihat konsistensi dari penegak hukum kita, terutama para hakim di pengadilan Tipikor dalam menegakkan efek jera.

Terbukti ganjaran bagi “tikus dan rayap” negara tidak kurang dari dua pertiga hukuman yang seharusnya layak diterima. ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat sejak semester II/2010
hingga semester I/2013, ada 143 terdakwa divonis bebas, 185 divonis 1 tahun penjara, 384 divonis 1-5 tahun penjara, 35 divonis 5-10 tahun penjara, dan hanya lima orang yang divonis di atas 10 tahun penjara (30/7). Tren vonis ringan ini pun masih dirayakan dengan panen remisi ketika hari kemerdekaan dan momentum Lebaran. Tak heran jika negeri ini menjadi comfort zone bagi koruptor.

Sulit rasanya pemberantasan korupsi bisa sampai ke akar-akarnya manakala efek jera masih jadi barang mahal. Sejumlah negara lain telah menempuh langkah-langkah radikal, termasuk hukuman mati untuk menciptakan efek jera bagi koruptor.

Mahalnya efek jera inilah yang melanggengkan regenerasi korupsi. Memang korupsi berbeda dengan kejahatan lainnya, seperti pembunuhan atau kekerasan massal yang orban, kerusakan dan kerugiannya dapat dilihat langsung.

Ada “jarak” antara kajahatan korupsi dengan konsekuensi-konsekuensi logis yang muncul. Meski pejabat korupsi triliunan rupiah, dampaknya tak bisa langsung dirasakan masyarakat. Padahal, korupsi memiliki akibat jauh lebih dahsyat tanpa bisa terlihat langsung hubungan sebab-akibatnya.

Masalah korupsi tidak hanya tanggung jawab moral dan hukum, tetapi juga tanggung jawab politik. Atau politik yang bertanggung jawab, di mana praktik penyelenggaraan negara diharapkan sesuai etika politik.
Dalam konteks ini, Paul Ricoeur (1991) membidik etika politik sebagai tujuan hidup, baik bersama maupun untuk orang lain, dalam institusi-institusi adil dan dalam kerangka memperluas lingkup kebebasan. Dengan perspektif ini, korupsi adalah bentuk negasi dari ketiga unsur etika politik tersebut.

Pertama, korupsi merusak sendi-sendi penopang hidup, baik bersama maupun untuk orang lain, karena yang dicari kepentingan diri atau kelompoknya. Padahal, kehidupan bersama adalah cita-cita kebebasan yang ingin menggapai keutamaan.

Maka, korupsi adalah negasi nilai yang kedua, yakni mengkhianati cita-cita kebebasan itu. Ketiga, korupsi menghalangi upaya membangun institusi-institusi yang adil, karena pada dasarnya korupsi adalah bentuk ketidakadilan, dan beroperasi melawan perwujudan kesejahteraan bersama.

Untuk itu, di tengah kontroversi hukuman mati dan mahalnya efek jera, kini hukuman bagi koruptor harus sepadan dengan dampak yang diakibatkan. Hukuman tidak semata berdasarkan logika peraturan.
Logika kepatutan sosial dan logika keadilan harus menjadi dasar pertimbangan. Kendati tidak mudah, hukuman harus sejalan dengan rasa keadilan masyarakat, sehingga, kalaupun itu hukuman mati, merupakan eksperesi kehendak umum dan rasa keadilan masyarakat tanpa terpolusi kepentingan.

Jika kemudian hukuman tidak menjerakan, hal itu menggambarkan betapa negeri ini telah terbiasa hidup dalam kebobrokan, atau memang memuluskan jalan bagi para koruptor untuk mengeruk harta negara tanpa rasa takut dan jera.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar