|
Selaku
pemohon uji materi UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil, saya punya tanggung jawab untuk terlihat memperkuat
substansi revisinya.
Setidaknya ada dua rujukan penting
sebagai acuan. Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi No 3/PUU-VIII/2010. Dokumen
setebal 169 halaman tersebut telah membatalkan sedikitnya 30 ayat di 14 pasal
dari UU Pesisir, diawali persoalan tumpang tindih antarpasal dan antar-UU.
Lalu, minimnya demokratisasi dalam
pengelolaan sumber daya pesisir serta lemahnya komitmen negara melindungi dan
memulihkan hak-hak nelayan dan masyarakat hukum adat. Jadi, puncaknya, barulah
MK mempersoalkan kebijakan privatisasi yang dikonstruksikan sebagai pemberian
sertifikat Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) kepada sektor swasta,
termasuk asing, hingga waktu 60 tahun akumulatif. Jadi, kuranglah tepat jika
Arif Satria dalam tulisannya, ”Menyisir UU Pesisir” (Kompas, 16/9), menyederhanakan
putusan MK sebatas pada pembatalan pasal-pasal terkait dengan HP-3. Karena itu
pula, draf revisi UU Pesisir yang sekadar mengubah terminologi ”hak” dalam HP-3
menjadi Izin Lokasi dan Izin Pemanfaatan Sumber Daya Perairan Pesisir (IP-3)
berpotensi kembali melanggar konstitusi.
Empat
isu
Rujukan lain adalah isu-isu terkini
yang tengah dihadapi masyarakat pesisir dan tren ke depan. Terdapat lima isu
krusial yang perlu perhatian. Pertama, masih tingginya angka kemiskinan di
wilayah pesisir Indonesia. Merujuk data termutakhir Badan Pusat Statistik,
jumlahnya mencapai 7,87 juta jiwa atau sekitar 25,14 persen dari total penduduk
miskin nasional Indonesia.
Kedua, masih maraknya praktik
perusakan lingkungan pesisir oleh kegiatan privat, semacam industri perikanan,
reklamasi pantai, pertambangan, hingga perluasan perkebunan kelapa sawit. Di
sektor perikanan, misalnya, Kementerian Lingkungan Hidup sudah sejak lima tahun
silam memasukkan industri perikanan dalam urutan empat besar investasi paling
buruk kinerja pengelolaan lingkungan hidupnya. Ekosistem utama pesisir—terumbu
karang, padang lamun, dan hutan bakau (mangrove)—juga terus menyempit.
Ketiga, ancaman terhadap perubahan
iklim dan kebencanaan. Sejak 2010, Organisasi Pangan dan Pertanian telah
mengingatkan bahwa perubahan iklim akan membawa dampak berlapis (multiple effects) terhadap produktivitas
masyarakat di pedesaan (termasuk wilayah pesisir) dan daerah-daerah yang telah
mengalami tingkat rawan pangan tinggi. Terakhir, maraknya persoalan- persoalan
lintas batas, yang memiliki dimensi pertahanan ataupun keamanan nasional. Sebut
saja, masih ditemukannya illegal
mining, illegal logging, illegal fishing, hingga perdagangan manusia di
perairan ataupun pulau-pulau kecil Indonesia.
Tiga
pendekatan
Kehendak konstitusi untuk membenahi
pengaturan pesisir Indonesia telah teramat kuat. Sama kuatnya dengan tantangan
yang dihadapi masyarakat nelayan dan pesisir Indonesia ke depan. Oleh karena
itu, revisi UU Pesisir perlu menggunakan pendekatan dan strategi berbeda.
Pertama, terhadap perairan pesisir
dan pulau-pulau kecil yang telah dikelola masyarakat, revisi harus bertujuan
memulihkan hak-hak masyarakat nelayan dan pesisir sebagaimana dijabarkan
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, yakni hak melintas (akses) dan hak mengelola
sumber daya sesuai dengan kaidah budaya dan kearifan tradisional yang diyakini
dan dijalankan secara turun-temurun.
Lainnya, hak memanfaatkan sumber
daya dan hak mendapatkan lingkungan perairan yang sehat dan bersih. Kesemua hak
tersebut melekat pada individu ataupun kolektif organisasi masyarakat serta
tidak boleh ditukargulingkan, sekalipun melalui mekanisme perizinan.
Kedua, terhadap lebih dari 13.000
pulau tidak berpenghuni dan sedikitnya 92 pulau kecil terdepan Indonesia. Di
sini, putusan MK memberi keutamaan peran pemerintah untuk mengelola sumber
daya, dengan empat indikator: kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, tingkat
pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, tingkat partisipasi rakyat
dalam menentukan manfaat sumber daya alam, dan penghormatan terhadap hak rakyat
secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Oleh karena itu,
Pasal 23 draf revisi yang telah sengaja memberi kesempatan bagi orang asing
memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia perlu ditinjau
ulang.
Ketiga, percepatan pemulihan
lingkungan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah rusak. Pada tahap
inilah kegiatan ekstraktif yang mengancam keberlanjutan ekosistem pesisir,
termasuk pertambangan, harus dikecualikan. Hanya dengan ketiga pendekatan itu
kita pantas berharap revisi UU Pesisir dapat melunasi kehendak konstitusi:
menyejahterakan rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar