Senin, 07 Oktober 2013

Meluruskan Revisi UU Pesisir

Meluruskan Revisi UU Pesisir
M Riza Damanik ;  Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice;
Pemohon I Uji Materi UU No 27/2007
KOMPAS, 07 Oktober 2013


Selaku pemohon uji materi UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, saya punya tanggung jawab untuk terlihat memperkuat substansi revisinya.

Setidaknya ada dua rujukan penting sebagai acuan. Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi No 3/PUU-VIII/2010. Dokumen setebal 169 halaman tersebut telah membatalkan sedikitnya 30 ayat di 14 pasal dari UU Pesisir, diawali persoalan tumpang tindih antarpasal dan antar-UU.

Lalu, minimnya demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya pesisir serta lemahnya komitmen negara melindungi dan memulihkan hak-hak nelayan dan masyarakat hukum adat. Jadi, puncaknya, barulah MK mempersoalkan kebijakan privatisasi yang dikonstruksikan sebagai pemberian sertifikat Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) kepada sektor swasta, termasuk asing, hingga waktu 60 tahun akumulatif. Jadi, kuranglah tepat jika Arif Satria dalam tulisannya, ”Menyisir UU Pesisir” (Kompas, 16/9), menyederhanakan putusan MK sebatas pada pembatalan pasal-pasal terkait dengan HP-3. Karena itu pula, draf revisi UU Pesisir yang sekadar mengubah terminologi ”hak” dalam HP-3 menjadi Izin Lokasi dan Izin Pemanfaatan Sumber Daya Perairan Pesisir (IP-3) berpotensi kembali melanggar konstitusi.

Empat isu

Rujukan lain adalah isu-isu terkini yang tengah dihadapi masyarakat pesisir dan tren ke depan. Terdapat lima isu krusial yang perlu perhatian. Pertama, masih tingginya angka kemiskinan di wilayah pesisir Indonesia. Merujuk data termutakhir Badan Pusat Statistik, jumlahnya mencapai 7,87 juta jiwa atau sekitar 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional Indonesia.

Kedua, masih maraknya praktik perusakan lingkungan pesisir oleh kegiatan privat, semacam industri perikanan, reklamasi pantai, pertambangan, hingga perluasan perkebunan kelapa sawit. Di sektor perikanan, misalnya, Kementerian Lingkungan Hidup sudah sejak lima tahun silam memasukkan industri perikanan dalam urutan empat besar investasi paling buruk kinerja pengelolaan lingkungan hidupnya. Ekosistem utama pesisir—terumbu karang, padang lamun, dan hutan bakau (mangrove)—juga terus menyempit.

Ketiga, ancaman terhadap perubahan iklim dan kebencanaan. Sejak 2010, Organisasi Pangan dan Pertanian telah mengingatkan bahwa perubahan iklim akan membawa dampak berlapis (multiple effects) terhadap produktivitas masyarakat di pedesaan (termasuk wilayah pesisir) dan daerah-daerah yang telah mengalami tingkat rawan pangan tinggi. Terakhir, maraknya persoalan- persoalan lintas batas, yang memiliki dimensi pertahanan ataupun keamanan nasional. Sebut saja, masih ditemukannya illegal mining, illegal logging, illegal fishing, hingga perdagangan manusia di perairan ataupun pulau-pulau kecil Indonesia.

Tiga pendekatan

Kehendak konstitusi untuk membenahi pengaturan pesisir Indonesia telah teramat kuat. Sama kuatnya dengan tantangan yang dihadapi masyarakat nelayan dan pesisir Indonesia ke depan. Oleh karena itu, revisi UU Pesisir perlu menggunakan pendekatan dan strategi berbeda.

Pertama, terhadap perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dikelola masyarakat, revisi harus bertujuan memulihkan hak-hak masyarakat nelayan dan pesisir sebagaimana dijabarkan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, yakni hak melintas (akses) dan hak mengelola sumber daya sesuai dengan kaidah budaya dan kearifan tradisional yang diyakini dan dijalankan secara turun-temurun.

Lainnya, hak memanfaatkan sumber daya dan hak mendapatkan lingkungan perairan yang sehat dan bersih. Kesemua hak tersebut melekat pada individu ataupun kolektif organisasi masyarakat serta tidak boleh ditukargulingkan, sekalipun melalui mekanisme perizinan.

Kedua, terhadap lebih dari 13.000 pulau tidak berpenghuni dan sedikitnya 92 pulau kecil terdepan Indonesia. Di sini, putusan MK memberi keutamaan peran pemerintah untuk mengelola sumber daya, dengan empat indikator: kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, dan penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam. 
Oleh karena itu, Pasal 23 draf revisi yang telah sengaja memberi kesempatan bagi orang asing memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia perlu ditinjau ulang.


Ketiga, percepatan pemulihan lingkungan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah rusak. Pada tahap inilah kegiatan ekstraktif yang mengancam keberlanjutan ekosistem pesisir, termasuk pertambangan, harus dikecualikan. Hanya dengan ketiga pendekatan itu kita pantas berharap revisi UU Pesisir dapat melunasi kehendak konstitusi: menyejahterakan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar