Senin, 07 Oktober 2013

Kerja Sama Ekonomi APEC

Kerja Sama Ekonomi APEC
Hartanto Reksodipoetro ;  Ketua Forum Pemerhati Kebijakan Perdagangan (TRAP Forum); Mantan Direktur Jenderal Kerja Sama Internasional Kementerian Perdagangan
KOMPAS, 07 Oktober 2013


Dua puluh tahun lalu di Amerika Serikat, tepatnya tahun 1993, diluncurkan gerakan baru kerja sama untuk membangun perekonomian negara-negara di kawasan Asia Pasifik.

Keanggotaannya terdiri atas negara maju dan negara berkembang. Dalam setiap Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), delegasi setiap negara akan dipimpin ”Kepala Perekonomian”. Ini untuk membedakan dengan pertemuan tingkat tinggi lain, khususnya karena pembahasan dibatasi hanya persoalan kerja sama ekonomi. Ketika itu, kerja sama ini diberi nama Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) dan diputuskan Indonesia jadi tuan rumah berikutnya. Pada tahun 2004, saat Indonesia menjadi tuan rumah, disepakati yang akan menjadi tujuan (goal) kerja sama ekonomi APEC ini, yang kemudian diberi nama Bogor Goals. Setelah Indonesia, Jepang jadi tuan rumah berikutnya dan disepakati Osaka Action Agenda. Lengkap sudah tatanan kerja sama perekonomian di kawasan Asia Pasifik (APEC). Kerja berikutnya mengacu pada Agenda Aksi Osaka adalah mendorong agar secara bertahap APEC mengambil langkah pasti untuk mencapai Bogor Goals pada 2020.

Walaupun setiap kesepakatan yang diambil APEC bersifat tak mengikat (non-binding), pada kenyataannya perekonomian APEC menjadi semakin terbuka dan perdagangan di kawasan APEC telah meningkat berlipat ganda. Dua puluh tahun kemudian, tahun 2013, Indonesia kembali jadi tuan rumah dan menjadi tantangan bagi Indonesia sebagai pemrakarsa Bogor Goals, untuk menilai sudah sejauh mana APEC melangkah dalam merealisasikan peningkatan kesejahteraan perekonomian anggota, berdasarkan APEC Bogor Goals, yakni memperkuat sistem perdagangan multilateral yang terbuka, mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi, serta mengintensifkan kerja sama pembangunan di Asia Pasifik.

Deklarasi Bogor jelas menyatakan di paragraf tiga bahwa ”ekonomi industri” (negara industri) di kawasan Asia Pasifik akan menyediakan kesempatan bagi perekonomian negara berkembang untuk lebih meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pembangunannya dengan tujuan mencapai tingkat kesejahteraan yang telah dicapai ekonomi industri baru (negara-negara industri baru), dengan tiga tonggak pendekatan, yaitu pertumbuhan berkesinambungan, pemerataan pembangunan, dan stabilitas nasional. Ini yang harus menjadi prioritas utama (ultimate concern) dari Indonesia yang memegang kepemimpinan APEC pada tahun 2013.

Cukup berhasil

Menurut penelitian Armstrong and Drysdale (2009), sejak pembentukannya APEC telah cukup berhasil meningkatkan perdagangan bukan hanya di antara anggota, melainkan juga dengan ekonomi di luar keanggotaan APEC, yang sekaligus menunjukkan bahwa kerja sama ekonomi ini tidak menimbulkan pembelokan dalam perdagangan (trade diversion). Kalau ini benar, kerja sama APEC yang bersifat tak mengikat selama ini menunjukkan kemajuan dalam upaya mencapai Bogor Goals. Namun, Indonesia masih tetap harus memastikan bahwa kemajuan yang dicapai dalam meningkatkan perdagangan dan investasi akan berujung pada peningkatan kesejahteraan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang harus menjadi sasaran terpenting Indonesia sebagai tuan rumah KTT APEC, Oktober 2013.

Perekonomian Indonesia dewasa ini menunjukkan banyak kemajuan, terutama dilihat dari indikator ekonomi makro. Selama beberapa tahun terakhir, laju pertumbuhan ekonomi kita di atas 6 persen. Dengan nilai tukar stabil (rupiah yang kuat) dan tingkat suku bunga yang cukup merangsang penanaman modal di dalam negeri, Indonesia termasuk dalam kategori negara dengan perekonomian yang diincar para penanam modal asing.

Namun, perkembangan sektor riil belum menampakkan banyak kemajuan, terutama di sektor manufaktur dan pertanian. Penanaman modal di sektor manufaktur masih sangat terbatas, mungkin malah lebih banyak terjadi di sektor-sektor tradisional. Masih amat sedikit penanam modal yang bersedia membangun industri manufaktur berteknologi tinggi. Selain itu, sektor pertanian semakin jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara tetangga di ASEAN, seperti Vietnam.

Dengan kondisi Indonesia seperti itu, jelas pertumbuhan berkesinambungan masih jauh dari jangkauan. Lemahnya sektor pertanian menunjukkan pula pembangunan yang merata baru sampai ”pembangunan yang merata untuk sebagian kalangan”. Tak bisa disangkal, penduduk Indonesia dengan pendapatan menengah ke atas kian besar, yang seharusnya bisa jadi tulang punggung pemasaran produk dalam negeri. Namun, yang terjadi justru Indonesia jadi pasar produk luar negeri kalau dilihat perkembangan perdagangan luar negeri, terutama impor yang semakin meningkat laju pertumbuhannya.

Kepemimpinan Indonesia dalam KTT APEC 2013 harus menjadi ajang, di mana masalah perekonomian APEC yang sedang berkembang dapat perhatian utama. Semenjak kepemimpinan Indonesia beberapa tahun silam, perdagangan di antara anggota APEC meningkat. Tren ini harus terus dipertahankan karena kunci keberhasilan perdagangan ekspor adalah daya saing dan keterbukaan pasar luar negeri untuk produk ekspor Indonesia harus jadi perangsang untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Kalaupun Indonesia belum bisa meningkatkan ekspor dengan cepat, minimal produk Indonesia harus mampu bersaing di dalam negeri.

Pasar global itu termasuk Indonesia sehingga kalau produk Indonesia cukup mampu bersaing (bukan dengan proteksi impor) di dalam negeri, seharusnya sudah menunjukkan kemampuan bersaing di pasaran luar negeri. Pasar internasional yang oligopolistik memang perlu kemampuan pemasaran yang canggih sehingga perlu waktu untuk melakukan kemitraan strategis. Akan sangat naif bagi Indonesia berpikir, pembangunan ekonomi bisa maju tanpa memiliki konektivitas yang baik antara pasar Indonesia dan pasar regional dan internasional. Sama naifnya kalau kita berpikir teknologi itu dengan mudah akan ditransfer pemilik teknologi. Teknologi itu harus dibeli dan caranya adalah melalui penanaman modal oleh industri teknologi tinggi. Teknologi yang dibutuhkan Indonesia termasuk di bidang manajemen.

Menyejahterakan rakyat

Indonesia harus berjuang di APEC agar pasar internasional, baik di sektor perdagangan luar negeri maupun arus modal, tetap terbuka. Itu berarti Indonesia juga harus bersedia membuka pasar untuk perdagangan dan arus modal. Harus ada take and give atau dalam bahasa jargonnya non-discrimination

Tentu apa pun kebijakan yang kemudian didesain untuk mencapai itu harus bisa menjangkau sasaran pembangunan ekonomi dalam negeri dan bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia yang 250 juta jiwa. Salah satu yang penting bagi Indonesia untuk bisa melangkah ke tahap perekonomian modern yang tak melupakan hajat hidup orang banyak di sektor pertanian adalah pembangunan infrastruktur fisik. Pembangunan ekonomi Indonesia tak mungkin bisa menjangkau bagian terbesar rakyat kalau tidak memiliki sistem distribusi yang memadai.

Salah satu hambatan dalam pengembangan industri, baik manufaktur maupun pertanian, adalah tingkat pendidikan dan keterampilan generasi muda Indonesia. Sektor pendidikan harus jadi salah satu sasaran utama pertemuan APEC 2013. Harus ada kesepakatan mempermudah kerja sama pendidikan di antara ekonomi APEC, termasuk tawaran bantuan pendanaan pendidikan generasi penerus bangsa. Syarat utama terjadinya ”alih teknologi” adalah kemampuan tenaga kerja dalam negeri untuk menyerap teknologi itu sendiri. Indonesia saat ini berada di titik yang sangat penting dalam upaya untuk tinggal landas. Kita harus bekerja keras mempertahankan keterbukaan pasar internasional, sekaligus meningkatkan konektivitas perekonomian Indonesia dengan perekonomian di Asia Pasifik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar