|
Dua
puluh tahun lalu di Amerika Serikat, tepatnya tahun 1993, diluncurkan gerakan
baru kerja sama untuk membangun perekonomian negara-negara di kawasan Asia
Pasifik.
Keanggotaannya terdiri atas negara
maju dan negara berkembang. Dalam setiap Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama
Ekonomi Asia Pasifik (APEC), delegasi setiap negara akan dipimpin ”Kepala
Perekonomian”. Ini untuk membedakan dengan pertemuan tingkat tinggi lain,
khususnya karena pembahasan dibatasi hanya persoalan kerja sama ekonomi. Ketika
itu, kerja sama ini diberi nama Asia-Pacific
Economic Cooperation (APEC) dan diputuskan Indonesia jadi tuan rumah
berikutnya. Pada tahun 2004, saat Indonesia menjadi tuan rumah, disepakati yang
akan menjadi tujuan (goal) kerja sama
ekonomi APEC ini, yang kemudian diberi nama Bogor
Goals. Setelah Indonesia, Jepang jadi tuan rumah berikutnya dan disepakati Osaka Action Agenda. Lengkap sudah
tatanan kerja sama perekonomian di kawasan Asia Pasifik (APEC). Kerja
berikutnya mengacu pada Agenda Aksi Osaka adalah mendorong agar secara bertahap
APEC mengambil langkah pasti untuk mencapai Bogor
Goals pada 2020.
Walaupun setiap kesepakatan yang
diambil APEC bersifat tak mengikat (non-binding),
pada kenyataannya perekonomian APEC menjadi semakin terbuka dan perdagangan di
kawasan APEC telah meningkat berlipat ganda. Dua puluh tahun kemudian, tahun
2013, Indonesia kembali jadi tuan rumah dan menjadi tantangan bagi Indonesia
sebagai pemrakarsa Bogor Goals, untuk
menilai sudah sejauh mana APEC melangkah dalam merealisasikan peningkatan
kesejahteraan perekonomian anggota, berdasarkan APEC Bogor Goals, yakni memperkuat sistem perdagangan multilateral
yang terbuka, mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi, serta
mengintensifkan kerja sama pembangunan di Asia Pasifik.
Deklarasi Bogor jelas menyatakan di
paragraf tiga bahwa ”ekonomi industri” (negara industri) di kawasan Asia
Pasifik akan menyediakan kesempatan bagi perekonomian negara berkembang untuk
lebih meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pembangunannya dengan tujuan
mencapai tingkat kesejahteraan yang telah dicapai ekonomi industri baru
(negara-negara industri baru), dengan tiga tonggak pendekatan, yaitu
pertumbuhan berkesinambungan, pemerataan pembangunan, dan stabilitas nasional.
Ini yang harus menjadi prioritas utama (ultimate
concern) dari Indonesia yang memegang kepemimpinan APEC pada tahun 2013.
Cukup
berhasil
Menurut penelitian Armstrong and Drysdale (2009), sejak
pembentukannya APEC telah cukup berhasil meningkatkan perdagangan bukan hanya
di antara anggota, melainkan juga dengan ekonomi di luar keanggotaan APEC, yang
sekaligus menunjukkan bahwa kerja sama ekonomi ini tidak menimbulkan pembelokan
dalam perdagangan (trade diversion).
Kalau ini benar, kerja sama APEC yang bersifat tak mengikat selama ini
menunjukkan kemajuan dalam upaya mencapai Bogor
Goals. Namun, Indonesia masih tetap harus memastikan bahwa kemajuan yang
dicapai dalam meningkatkan perdagangan dan investasi akan berujung pada
peningkatan kesejahteraan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang
harus menjadi sasaran terpenting Indonesia sebagai tuan rumah KTT APEC, Oktober
2013.
Perekonomian Indonesia dewasa ini
menunjukkan banyak kemajuan, terutama dilihat dari indikator ekonomi makro.
Selama beberapa tahun terakhir, laju pertumbuhan ekonomi kita di atas 6 persen.
Dengan nilai tukar stabil (rupiah yang kuat) dan tingkat suku bunga yang cukup
merangsang penanaman modal di dalam negeri, Indonesia termasuk dalam kategori
negara dengan perekonomian yang diincar para penanam modal asing.
Namun, perkembangan sektor riil
belum menampakkan banyak kemajuan, terutama di sektor manufaktur dan pertanian.
Penanaman modal di sektor manufaktur masih sangat terbatas, mungkin malah lebih
banyak terjadi di sektor-sektor tradisional. Masih amat sedikit penanam modal
yang bersedia membangun industri manufaktur berteknologi tinggi. Selain itu,
sektor pertanian semakin jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara tetangga
di ASEAN, seperti Vietnam.
Dengan kondisi Indonesia seperti
itu, jelas pertumbuhan berkesinambungan masih jauh dari jangkauan. Lemahnya
sektor pertanian menunjukkan pula pembangunan yang merata baru sampai
”pembangunan yang merata untuk sebagian kalangan”. Tak bisa disangkal, penduduk
Indonesia dengan pendapatan menengah ke atas kian besar, yang seharusnya bisa
jadi tulang punggung pemasaran produk dalam negeri. Namun, yang terjadi justru
Indonesia jadi pasar produk luar negeri kalau dilihat perkembangan perdagangan
luar negeri, terutama impor yang semakin meningkat laju pertumbuhannya.
Kepemimpinan Indonesia dalam KTT
APEC 2013 harus menjadi ajang, di mana masalah perekonomian APEC yang sedang
berkembang dapat perhatian utama. Semenjak kepemimpinan Indonesia beberapa
tahun silam, perdagangan di antara anggota APEC meningkat. Tren ini harus terus
dipertahankan karena kunci keberhasilan perdagangan ekspor adalah daya saing
dan keterbukaan pasar luar negeri untuk produk ekspor Indonesia harus jadi
perangsang untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Kalaupun Indonesia
belum bisa meningkatkan ekspor dengan cepat, minimal produk Indonesia harus
mampu bersaing di dalam negeri.
Pasar global itu termasuk Indonesia
sehingga kalau produk Indonesia cukup mampu bersaing (bukan dengan proteksi
impor) di dalam negeri, seharusnya sudah menunjukkan kemampuan bersaing di
pasaran luar negeri. Pasar internasional yang oligopolistik memang perlu
kemampuan pemasaran yang canggih sehingga perlu waktu untuk melakukan kemitraan
strategis. Akan sangat naif bagi Indonesia berpikir, pembangunan ekonomi bisa
maju tanpa memiliki konektivitas yang baik antara pasar Indonesia dan pasar regional
dan internasional. Sama naifnya kalau kita berpikir teknologi itu dengan mudah
akan ditransfer pemilik teknologi. Teknologi itu harus dibeli dan caranya
adalah melalui penanaman modal oleh industri teknologi tinggi. Teknologi yang
dibutuhkan Indonesia termasuk di bidang manajemen.
Menyejahterakan rakyat
Indonesia harus berjuang di APEC
agar pasar internasional, baik di sektor perdagangan luar negeri maupun arus
modal, tetap terbuka. Itu berarti Indonesia juga harus bersedia membuka pasar
untuk perdagangan dan arus modal. Harus ada take and give atau dalam bahasa jargonnya non-discrimination.
Tentu apa pun
kebijakan yang kemudian didesain untuk mencapai itu harus bisa menjangkau
sasaran pembangunan ekonomi dalam negeri dan bermanfaat bagi seluruh rakyat
Indonesia yang 250 juta jiwa. Salah satu yang penting bagi Indonesia untuk bisa
melangkah ke tahap perekonomian modern yang tak melupakan hajat hidup orang
banyak di sektor pertanian adalah pembangunan infrastruktur fisik. Pembangunan
ekonomi Indonesia tak mungkin bisa menjangkau bagian terbesar rakyat kalau
tidak memiliki sistem distribusi yang memadai.
Salah satu hambatan dalam
pengembangan industri, baik manufaktur maupun pertanian, adalah tingkat
pendidikan dan keterampilan generasi muda Indonesia. Sektor pendidikan harus
jadi salah satu sasaran utama pertemuan APEC 2013. Harus ada kesepakatan
mempermudah kerja sama pendidikan di antara ekonomi APEC, termasuk tawaran
bantuan pendanaan pendidikan generasi penerus bangsa. Syarat utama terjadinya
”alih teknologi” adalah kemampuan tenaga kerja dalam negeri untuk menyerap
teknologi itu sendiri. Indonesia saat ini berada di titik yang sangat penting
dalam upaya untuk tinggal landas. Kita harus bekerja keras mempertahankan
keterbukaan pasar internasional, sekaligus meningkatkan konektivitas
perekonomian Indonesia dengan perekonomian di Asia Pasifik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar