|
Pengurangan utang secara signifikan adalah sebuah kebutuhan
riil, tak hanya bagi negara kurang berkembang, tetapi juga bagi negara
berkembang berpenghasilan menengah.”
Pernyataan Presiden SBY di atas disampaikan dalam pertemuan Financing for Development di New York
(September 2005), satu tahun masa awal pemerintahannya. Dalam periode pertama
kepemimpinannya, pemerintahan SBY juga berjanji konsisten menerapkan kebijakan
hanya akan membuat utang baru bila diperlukan, dengan jangka waktu panjang dan
dengan bunga utang lunak, serta terus menurunkan porsi kredit ekspor.
Sayangnya, sejumlah pernyataan tentang pentingnya penghapusan
utang dan rekomendasi terkait debt sustainability masih sebatas
wacana. Selama pemerintahan SBY telah terjadi peningkatan jumlah utang yang
fantastis: Rp 724,22 triliun! Juni 2013, total utang Indonesia Rp 2.156
triliun, belum ditambah utang baru yang belum cair.
Secara teoretis, Daseking dan Kozack (Avoiding Another Debt Trap, 2003) memprediksi, negara seperti
Indonesia akan gagal mencapai salah satu tujuan utama MDG (Tujuan Pembangunan
Milenium) berupa pengurangan tingkat kemiskinan menjadi separuh pada 2015,
kecuali punya pertumbuhan ekonomi tinggi, berhasil memperkuat institusi,
melaksanakan kebijakan prorakyat kecil, dan tak terperangkap dalam utang.
Sejumlah persyaratan tersebut masih jauh dari terpenuhi.
Bahkan cukup santer suara yang mencemaskan ekonomi Indonesia terancam bangkrut.
Berbagai krisis berikut ini adalah penyebab sekaligus dampak kondisi
keterpurukan yang ada.
Pertama, beberapa kali krisis ekonomi yang belum sepenuhnya
pulih berujung pada krisis kemanusiaan ketika nyaris separuh rakyat Indonesia
masih tergolong miskin dan hampir miskin. Sementara para elite seakan tak
berdaya atau membiarkan banyak kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang.
Kedua, krisis moral. Ketiga, krisis demokrasi saat lebih dari 28 juta jiwa
sangat miskin harus bergulat mencari nafkah guna menyambung hidup. Mereka
terpinggirkan dari tiap proses pengambilan keputusan publik.
Generasi
yang hilang
Kenyataan menunjukkan, struktur demokrasi saja belum cukup
menjamin munculnya elite yang sadar dan bertanggung jawab. Kondisi ini bisa
memunculkan persepsi, demokrasi adalah hambatan bagi terciptanya good governance dan kesejahteraan.
Boleh jadi kita terlalu mudah puas saat asas demokrasi telah ditanamkan dalam
konstitusi, tanpa menyadari bahwa demokrasi hanya akan berfungsi bila kian
banyak masyarakat yang punya akses pada pendidikan dan sumber daya material.
Untuk menciptakan sebuah demokrasi yang membawa kesejahteraan
bagi sebanyak mungkin warga, diperlukan terobosan berupa program yang jelas
dalam upaya memerangi kemiskinan. Oscar Arias Sanchez, mantan Presiden Kosta Rika
yang juga peraih Nobel Perdamaian 1987, mengusulkan perlunya konsentrasi pada
upaya pengurangan beban utang, peningkatan dana bantuan pembangunan, dan
pemotongan anggaran militer.
Tiap rupiah untuk membeli senjata canggih yang sebenarnya tak
dibutuhkan untuk mengatur keamanan. Hal ini disebabkan ia berperan memperburuk
kehidupan rakyat yang selama ini tak punya akses pemenuhan kebutuhan akan
makanan, rumah, pendidikan, dan kesehatan. Kian banyak yang sepakat, dana
militer adalah penyimpangan prioritas kemanusiaan terbesar. Secara global,
setiap tahun 800 miliar dollar AS dihabiskan untuk biaya tentara dan
perlengkapannya.
Padahal, hanya dengan 40 miliar dollar AS, semua penduduk
bumi dijamin memiliki akses pada layanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan,
makanan, sanitasi, dan air minum selama 10 tahun. Sementara dengan jumlah sama,
semua penduduk dunia bisa terangkat di atas garis kemiskinan. Hal yang
seharusnya menggetarkan hati siapa pun.
Di banyak negara berkembang, beban utang luar negeri menjadi
hambatan bagi penegakan demokrasi. Krisis ekonomi yang masih berlangsung juga
menimbulkan dampak sosial amat serius. Unicef, misalnya, pernah berkesimpulan,
tanpa pengurangan beban utang luar yang amat berat, Indonesia akan ”kehilangan
satu generasi” karena lemah dan bodoh akibat gizi buruk dan kurang pendidikan.
Perlu
terobosan
Sebenarnya, dengan alasan tersebut, bila tidak ada langkah
nyata pengurangan utang dari kreditor, Pemerintah Indonesia bisa mengusulkan arbitrage insolvency dengan
mengajukan fakta dan argumen di depan hakim independen internasional (Kunibert, 2006). Pada saat yang sama,
negara-negara industri dituntut memperkuat demokrasi dan menunjang good governance di negara-negara
berkembang lewat peningkatan dana bantuan pembangunannya.
Berikut ini beberapa usulan strategis sebagai terobosan untuk
keluar dari ”jebakan” utang sebagai pertimbangan. Pertama, pemberlakuan batas
maksimum bagi pembayaran utang publik, terutama utang luar negeri. Hal ini akan
memperbesar ketersediaan sumber dana bagi perekonomian domestik.
Penetapan
batas maksimum ini perlu didasarkan pada (sebuah) UU sehingga pemerintah bisa
menggunakannya sebagai dasar hukum dan sekaligus alat negosiasi. Selanjutnya,
diperlukan pengaturan mengenai pembatasan jumlah utang baru yang mengarah
kepada zero new debt.
Kedua, pengurangan pokok utang. Beberapa langkah yang bisa
dilakukan antara lain: (a) penghapusan utang melalui kombinasi rekayasa
keuangan dan renegosiasi komersial dengan kreditor; (b) pengurangan debt stock lewat arbitrase
internasional; (c) negosiasi utang luar negeri publik ada level geopolitik dan
strategis; dan (d) renegosiasi bilateral, terutama dengan Jepang sebagai
kreditor terbesar.
Tanpa terobosan, SBY hanya akan mewariskan utang kepada
pemerintahan penerusnya. Bukan hanya berjumlah terbesar dalam sejarah republik,
melainkan juga berdampak paling menakutkan karena menghilangkan kesempatan bagi
puluhan juta rakyat Indonesia memperoleh kehidupan, pendidikan, dan kesehatan
yang layak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar