Senin, 07 Oktober 2013

Mewariskan Utang

Mewariskan Utang
Ivan A Hadar ;  Direktur Eksekutif IDE Indonesia (Institute for Democracy Education); Ketua Dewan Pengurus Indonesia for Global Justice
KOMPAS, 07 Oktober 2013


Pengurangan utang secara signifikan adalah sebuah kebutuhan riil, tak hanya bagi negara kurang berkembang, tetapi juga bagi negara berkembang berpenghasilan menengah.”

Pernyataan Presiden SBY di atas disampaikan dalam pertemuan Financing for Development di New York (September 2005), satu tahun masa awal pemerintahannya. Dalam periode pertama kepemimpinannya, pemerintahan SBY juga berjanji konsisten menerapkan kebijakan hanya akan membuat utang baru bila diperlukan, dengan jangka waktu panjang dan dengan bunga utang lunak, serta terus menurunkan porsi kredit ekspor.

Sayangnya, sejumlah pernyataan tentang pentingnya penghapusan utang dan rekomendasi terkait debt sustainability masih sebatas wacana. Selama pemerintahan SBY telah terjadi peningkatan jumlah utang yang fantastis: Rp 724,22 triliun! Juni 2013, total utang Indonesia Rp 2.156 triliun, belum ditambah utang baru yang belum cair.

Secara teoretis, Daseking dan Kozack (Avoiding Another Debt Trap, 2003) memprediksi, negara seperti Indonesia akan gagal mencapai salah satu tujuan utama MDG (Tujuan Pembangunan Milenium) berupa pengurangan tingkat kemiskinan menjadi separuh pada 2015, kecuali punya pertumbuhan ekonomi tinggi, berhasil memperkuat institusi, melaksanakan kebijakan prorakyat kecil, dan tak terperangkap dalam utang.

Sejumlah persyaratan tersebut masih jauh dari terpenuhi. Bahkan cukup santer suara yang mencemaskan ekonomi Indonesia terancam bangkrut. Berbagai krisis berikut ini adalah penyebab sekaligus dampak kondisi keterpurukan yang ada.

Pertama, beberapa kali krisis ekonomi yang belum sepenuhnya pulih berujung pada krisis kemanusiaan ketika nyaris separuh rakyat Indonesia masih tergolong miskin dan hampir miskin. Sementara para elite seakan tak berdaya atau membiarkan banyak kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang. Kedua, krisis moral. Ketiga, krisis demokrasi saat lebih dari 28 juta jiwa sangat miskin harus bergulat mencari nafkah guna menyambung hidup. Mereka terpinggirkan dari tiap proses pengambilan keputusan publik.

Generasi yang hilang

Kenyataan menunjukkan, struktur demokrasi saja belum cukup menjamin munculnya elite yang sadar dan bertanggung jawab. Kondisi ini bisa memunculkan persepsi, demokrasi adalah hambatan bagi terciptanya good governance dan kesejahteraan. Boleh jadi kita terlalu mudah puas saat asas demokrasi telah ditanamkan dalam konstitusi, tanpa menyadari bahwa demokrasi hanya akan berfungsi bila kian banyak masyarakat yang punya akses pada pendidikan dan sumber daya material.

Untuk menciptakan sebuah demokrasi yang membawa kesejahteraan bagi sebanyak mungkin warga, diperlukan terobosan berupa program yang jelas dalam upaya memerangi kemiskinan. Oscar Arias Sanchez, mantan Presiden Kosta Rika yang juga peraih Nobel Perdamaian 1987, mengusulkan perlunya konsentrasi pada upaya pengurangan beban utang, peningkatan dana bantuan pembangunan, dan pemotongan anggaran militer.

Tiap rupiah untuk membeli senjata canggih yang sebenarnya tak dibutuhkan untuk mengatur keamanan. Hal ini disebabkan ia berperan memperburuk kehidupan rakyat yang selama ini tak punya akses pemenuhan kebutuhan akan makanan, rumah, pendidikan, dan kesehatan. Kian banyak yang sepakat, dana militer adalah penyimpangan prioritas kemanusiaan terbesar. Secara global, setiap tahun 800 miliar dollar AS dihabiskan untuk biaya tentara dan perlengkapannya.

Padahal, hanya dengan 40 miliar dollar AS, semua penduduk bumi dijamin memiliki akses pada layanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, makanan, sanitasi, dan air minum selama 10 tahun. Sementara dengan jumlah sama, semua penduduk dunia bisa terangkat di atas garis kemiskinan. Hal yang seharusnya menggetarkan hati siapa pun.

Di banyak negara berkembang, beban utang luar negeri menjadi hambatan bagi penegakan demokrasi. Krisis ekonomi yang masih berlangsung juga menimbulkan dampak sosial amat serius. Unicef, misalnya, pernah berkesimpulan, tanpa pengurangan beban utang luar yang amat berat, Indonesia akan ”kehilangan satu generasi” karena lemah dan bodoh akibat gizi buruk dan kurang pendidikan.

Perlu terobosan

Sebenarnya, dengan alasan tersebut, bila tidak ada langkah nyata pengurangan utang dari kreditor, Pemerintah Indonesia bisa mengusulkan arbitrage insolvency dengan mengajukan fakta dan argumen di depan hakim independen internasional (Kunibert, 2006). Pada saat yang sama, negara-negara industri dituntut memperkuat demokrasi dan menunjang good governance di negara-negara berkembang lewat peningkatan dana bantuan pembangunannya.

Berikut ini beberapa usulan strategis sebagai terobosan untuk keluar dari ”jebakan” utang sebagai pertimbangan. Pertama, pemberlakuan batas maksimum bagi pembayaran utang publik, terutama utang luar negeri. Hal ini akan memperbesar ketersediaan sumber dana bagi perekonomian domestik. 

Penetapan batas maksimum ini perlu didasarkan pada (sebuah) UU sehingga pemerintah bisa menggunakannya sebagai dasar hukum dan sekaligus alat negosiasi. Selanjutnya, diperlukan pengaturan mengenai pembatasan jumlah utang baru yang mengarah kepada zero new debt.


Kedua, pengurangan pokok utang. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain: (a) penghapusan utang melalui kombinasi rekayasa keuangan dan renegosiasi komersial dengan kreditor; (b) pengurangan debt stock lewat arbitrase internasional; (c) negosiasi utang luar negeri publik ada level geopolitik dan strategis; dan (d) renegosiasi bilateral, terutama dengan Jepang sebagai kreditor terbesar. 

Tanpa terobosan, SBY hanya akan mewariskan utang kepada pemerintahan penerusnya. Bukan hanya berjumlah terbesar dalam sejarah republik, melainkan juga berdampak paling menakutkan karena menghilangkan kesempatan bagi puluhan juta rakyat Indonesia memperoleh kehidupan, pendidikan, dan kesehatan yang layak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar