|
SEMUA
orang terkejut ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan Ketua
Mahkamah Konstitusi, pekan lalu. Kebanyakan orang marah dan prihatin melihat
buruknya kondisi negeri ini, sebagaimana tecermin dari perilaku korup para
pemimpinnya. Mereka frustrasi, kehilangan harapan, bahkan malu menjadi bagian
dari bangsa ini.
Mengapa
kita terkejut? Bukankah kita telah sama-sama tahu betapa korupnya perilaku
pejabat Indonesia? Bukankah kita sudah sama-sama mengetahui betapa rentannya
lembaga-lembaga publik terhadap praktik nepotisme, kolusi, dan suap?
Segala
rupa keburukan tentang korupsi adalah menu sehari-hari perbincangan publik di
media massa, seminar-seminar, warung kopi, dan media sosial. Kita tidak dapat
berbuat banyak, tidak punya bukti-bukti, dan berharap suatu saat datang
kekuatan yang mampu menyingkap segala keburukan itu. Maka, kita terkejut −dan
sekaligus bersyukur −ketika sekarang ada kekuatan yang benar-benar hadir
melawan semua keburukan dan menangkap tangan terduga pelakunya. Bukankah itu
yang kita harapkan selama ini?
Merasuki
sendi-sendi
Kita
frustrasi karena korupsi telah merasuki tubuh negeri ini sampai ke
sendi-sendinya. Kita malu karena seharusnya seorang Ketua Mahkamah Konstitusi
(MK) memberikan contoh yang baik tentang kredibilitas dan akuntabilitas. Jika
seorang Ketua MK saja sudah tak kuasa menghadapi suap, apalagi yang lain? Kita
malu karena peristiwa seperti ini hampir pasti diberitakan media nasional dan
asing dan terbaca oleh komunitas internasional.
Di
sisi lain, penangkapan Ketua MK merupakan kisah yang membanggakan tentang
pemberantasan korupsi di negeri ini. Peristiwa Rabu malam di kompleks perumahan
menteri itu menunjukkan, hukum belum tumpul menghadapi kasus korupsi. Bukan
hanya pencuri sandal jepit di masjid atau pencuri 3 liter getah karet di
perkebunan karet saja yang terjamah oleh penegak hukum, tetapi juga terduga
pencuri keadilan yang sekaligus figur kunci sebuah lembaga negara ternama.
Peristiwa
itu sekaligus menunjukkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih dapat
diandalkan di tengah-tengah keraguan berbagai pihak terhadap keberaniannya
mengungkap kasus korupsi yang melibatkan ”nama-nama besar”.
Dalam
hal buruknya masalah korupsi di lembaga-lembaga publik, kondisi kita lebih
kurang sama dengan negara-negara tetangga. Namun, dalam hal kemungkinan atau peluang
untuk memberantas korupsi, bisa jadi kita masih lebih baik. Kita masih
mempunyai KPK.
Kita
memiliki pers yang bebas dan sangat independen terhadap kekuasaan eksekutif dan
yudikatif. Pers yang gencar memberitakan skandal korupsi dan memberikan daya dorong
signifikan terhadap upaya pemberantasan korupsi dan perwujudan good governance.
Yang
patut dicermati dari kedudukan pers ini adalah penegakan kode etik jurnalistik
dan independensi terhadap pemilik media yang barangkali secara langsung ataupun
tidak langsung mempunyai keterkaitan dengan masalah korupsi. Kita juga memiliki
kelompok masyarakat sipil yang cukup kuat dan mampu memobilisasi diri melalui
jejaring sosial.
Dengan
demikian, semestinya kita tidak dilanda frustrasi dan perasaan malu yang berlebihan
melihat drama penangkapan Ketua MK itu. Peristiwa ini, bagaimanapun, tetap
menunjukkan harapan atas tindakan-tindakan hukum yang tegas dan tanpa kompromi
terhadap para public figure yang terlibat masalah korupsi. Kita
merasa malu bahwa negeri kita masih centang-perenang oleh masalah korupsi.
Namun, kita perlu berbangga hati bahwa kita masih mempunyai jalan untuk
mengatasinya.
Reaksi
para koruptor
Yang
perlu diantisipasi adalah bagaimana reaksi para koruptor terhadap penangkapan
Ketua MK ini? Tentu kita berharap penangkapan ini memberikan efek jera kepada
para koruptor atau mereka yang sedang berpikir untuk melakukan korupsi.
Penangkapan itu diharapkan juga memberikan keyakinan lebih kepada KPK untuk
lebih konkret dalam menangani kasus lain yang sedang ditunggu-tunggu
masyarakat, misalnya saja kasus Hambalang.
Bisa
jadi reaksi para koruptor justru sebaliknya, melakukan serangan balik untuk
memperlemah posisi KPK. Kontroversi ”cicak versus buaya” atau ”kriminalisasi
Bibit-Chandra” sekian tahun lalu bisa terjadi lagi. Hal inilah yang perlu
diantisipasi.
KPK
tidak bekerja di tataran yang stabil dan mapan. KPK dikelilingi oleh
tarikan-tarikan politik yang bermula dari kenyataan bahwa para koruptor atau
terduga koruptor adalah bagian dari jaringan ekonomi-politik yang berusaha
menancapkan pengaruh dalam semua cabang kekuasaan: eksekutif, yudikatif, dan
legislatif.
Peran
media massa dan kelompok masyarakat sipil sangat diharapkan di sini untuk
mengimbangi tarikan-tarikan politik ke arah KPK. Kontroversi ”cicak dan buaya”
menunjukkan, eksistensi KPK dapat dipertahankan berkat solidaritas masyarakat
sipil dan pers.
Namun,
yang perlu digarisbawahi pimpinan KPK adalah bahwa masyarakat sipil dan pers
juga mempunyai tuntutan terhadap KPK. Mereka menuntut KPK tidak tebang pilih,
tidak bermain-main dengan pencitraan diri, dan tidak menyia-nyiakan momentum
dalam menangani kasus-kasus korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar