Sabtu, 12 Oktober 2013

Malu atau Bangga?

Malu atau Bangga?
Agus Sudibyo  Pegiat UU Keterbukaan Informasi Publik;
Direktur Indonesia Research Centre Jakarta
KOMPAS, 11 Oktober 2013


SEMUA orang terkejut ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi, pekan lalu. Kebanyakan orang marah dan prihatin melihat buruknya kondisi negeri ini, sebagaimana tecermin dari perilaku korup para pemimpinnya. Mereka frustrasi, kehilangan harapan, bahkan malu menjadi bagian dari bangsa ini.

Mengapa kita terkejut? Bukankah kita telah sama-sama tahu betapa korupnya perilaku pejabat Indonesia? Bukankah kita sudah sama-sama mengetahui betapa rentannya lembaga-lembaga publik terhadap praktik nepotisme, kolusi, dan suap?

Segala rupa keburukan tentang korupsi adalah menu sehari-hari perbincangan publik di media massa, seminar-seminar, warung kopi, dan media sosial. Kita tidak dapat berbuat banyak, tidak punya bukti-bukti, dan berharap suatu saat datang kekuatan yang mampu menyingkap segala keburukan itu. Maka, kita terkejut −dan sekaligus bersyukur −ketika sekarang ada kekuatan yang benar-benar hadir melawan semua keburukan dan menangkap tangan terduga pelakunya. Bukankah itu yang kita harapkan selama ini?

Merasuki sendi-sendi

Kita frustrasi karena korupsi telah merasuki tubuh negeri ini sampai ke sendi-sendinya. Kita malu karena seharusnya seorang Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan contoh yang baik tentang kredibilitas dan akuntabilitas. Jika seorang Ketua MK saja sudah tak kuasa menghadapi suap, apalagi yang lain? Kita malu karena peristiwa seperti ini hampir pasti diberitakan media nasional dan asing dan terbaca oleh komunitas internasional.

Di sisi lain, penangkapan Ketua MK merupakan kisah yang membanggakan tentang pemberantasan korupsi di negeri ini. Peristiwa Rabu malam di kompleks perumahan menteri itu menunjukkan, hukum belum tumpul menghadapi kasus korupsi. Bukan hanya pencuri sandal jepit di masjid atau pencuri 3 liter getah karet di perkebunan karet saja yang terjamah oleh penegak hukum, tetapi juga terduga pencuri keadilan yang sekaligus figur kunci sebuah lembaga negara ternama.

Peristiwa itu sekaligus menunjukkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih dapat diandalkan di tengah-tengah keraguan berbagai pihak terhadap keberaniannya mengungkap kasus korupsi yang melibatkan ”nama-nama besar”.

Dalam hal buruknya masalah korupsi di lembaga-lembaga publik, kondisi kita lebih kurang sama dengan negara-negara tetangga. Namun, dalam hal kemungkinan atau peluang untuk memberantas korupsi, bisa jadi kita masih lebih baik. Kita masih mempunyai KPK.

Kita memiliki pers yang bebas dan sangat independen terhadap kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Pers yang gencar memberitakan skandal korupsi dan memberikan daya dorong signifikan terhadap upaya pemberantasan korupsi dan perwujudan good governance.

Yang patut dicermati dari kedudukan pers ini adalah penegakan kode etik jurnalistik dan independensi terhadap pemilik media yang barangkali secara langsung ataupun tidak langsung mempunyai keterkaitan dengan masalah korupsi. Kita juga memiliki kelompok masyarakat sipil yang cukup kuat dan mampu memobilisasi diri melalui jejaring sosial.

Dengan demikian, semestinya kita tidak dilanda frustrasi dan perasaan malu yang berlebihan melihat drama penangkapan Ketua MK itu. Peristiwa ini, bagaimanapun, tetap menunjukkan harapan atas tindakan-tindakan hukum yang tegas dan tanpa kompromi terhadap para public figure yang terlibat masalah korupsi. Kita merasa malu bahwa negeri kita masih centang-perenang oleh masalah korupsi. 
Namun, kita perlu berbangga hati bahwa kita masih mempunyai jalan untuk mengatasinya.

Reaksi para koruptor

Yang perlu diantisipasi adalah bagaimana reaksi para koruptor terhadap penangkapan Ketua MK ini? Tentu kita berharap penangkapan ini memberikan efek jera kepada para koruptor atau mereka yang sedang berpikir untuk melakukan korupsi. Penangkapan itu diharapkan juga memberikan keyakinan lebih kepada KPK untuk lebih konkret dalam menangani kasus lain yang sedang ditunggu-tunggu masyarakat, misalnya saja kasus Hambalang.

Bisa jadi reaksi para koruptor justru sebaliknya, melakukan serangan balik untuk memperlemah posisi KPK. Kontroversi ”cicak versus buaya” atau ”kriminalisasi Bibit-Chandra” sekian tahun lalu bisa terjadi lagi. Hal inilah yang perlu diantisipasi.

KPK tidak bekerja di tataran yang stabil dan mapan. KPK dikelilingi oleh tarikan-tarikan politik yang bermula dari kenyataan bahwa para koruptor atau terduga koruptor adalah bagian dari jaringan ekonomi-politik yang berusaha menancapkan pengaruh dalam semua cabang kekuasaan: eksekutif, yudikatif, dan legislatif.

Peran media massa dan kelompok masyarakat sipil sangat diharapkan di sini untuk mengimbangi tarikan-tarikan politik ke arah KPK. Kontroversi ”cicak dan buaya” menunjukkan, eksistensi KPK dapat dipertahankan berkat solidaritas masyarakat sipil dan pers.

Namun, yang perlu digarisbawahi pimpinan KPK adalah bahwa masyarakat sipil dan pers juga mempunyai tuntutan terhadap KPK. Mereka menuntut KPK tidak tebang pilih, tidak bermain-main dengan pencitraan diri, dan tidak menyia-nyiakan momentum dalam menangani kasus-kasus korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar