|
Terdapat
tiga perkembangan positif dalam politik luar negeri Iran pasca kepemimpinan
Mahmoud Ahmadinejad. Pertama, sejak Hassan Rowhani terpilih menjadi
presiden Iran pada 14 Juni 2013, ia berjanji bahwa politik luar negeri Iran
akan difokuskan pada upaya meredakan ketegangan yang menyelimuti masalah
program nuklir Iran dengan negara-negara Barat.
Kedua, janji itu ditepati Rowhani ketika menghadiri pertemuan dengan negara-negara P5+1 (yang terdiri dari China, AS, Jerman, Inggris, Perancis, dan Rusia), pada Kamis (26/9) lalu. Pertemuan yang dilakukan di sela-sela Sidang Umum (SU) PBB di New York itu difokuskan untuk menyelesaikan masalah program nuklir Iran, yang sampai saat ini masih terkatung-katung. Pertemuan yang dihadiri Presiden Iran Hassan Rowhani, itu berjalan tidak begitu lama karena semua pihak yang hadir langsung bersepakat untuk segera menuntaskan masalah tersebut dalam tempo yang singkat. Rowhani sendiri menargetkan selesai dalam tempo satu tahun. Untuk menunjukkan keseriusan diplomasi Iran, Rowhani rencananya akan membawa proposal tentang nuklir Iran di pertemuan berikutnya pada 15-16 Oktober 2013 di Jenewa.
Ketiga, dapat dilihat ketika Presiden AS Barack Obama dan Presiden Iran Hassan Rowhani melakukan pembicaraan bersejarah melalui telepon, Jumat (27/9) waktu Amerika. Ini adalah pembicaraan pertama di antara kedua pemimpin negara sejak revolusi Islam 1979. Dalam percakapan telepon itu, Obama mengatakan dia dan Rowhani menyadari tantangan yang membentang di hadapan kedua negara dan akan terus membahasnya sampai tercapai kesepakatan atas program nuklir Iran. Rowhani juga mengonfirmasi pembicaraan telepon itu melalui akun Twitter kantor kepresidenan, "di pembicaraan telepon, Presiden Rowhani dan Presiden Barack Obama menyatakan keinginan politik bersama mereka untuk bisa memecahkan masalah nuklir sesegera mungkin."
Berdasarkan ketiga hal tadi, banyak analis dan praktisi hubungan internasional, khsusunya di AS, yang kemudian menaruh harapan positif pada diri Rowhani. Mereka umumnya meyakini bahwa motif politik luar negeri Iran di era Rowhani akan jauh lebih moderat jika dibandingkan dengan presiden Iran sebelumnya, Ahmadinejad. Benarkah demikian?
Nada dan Gaya
President of International American Council, Majid Rafizadeh, dalam kolomnya di Al-Arabiya (27/9) yang berjudul Why Obama and Rowhani didn’t bump into each other, menyinggung dua hal yang membuat banyak pihak terkesima dengan karakter kepemimpinan Rowhani, yaitu nada (tone) dan gaya (style). Dalam konteks itu, Rowhani telah berhasil membuat suatu pembedaan penting dirinya dari pendahulunya, Ahmadinejad. Dan itu Rowhani tunjukkan ketika berpidato di hadapan MU PBB pada 24 September 2013.
Ahmadinejad, kata Raizadeh, memiliki gaya dan sikap yang konfrontatif serta nada pidato yang berapi-api. Ahmadinejad sering memanfaatkan ajang pertemuan di MU PBB untuk menunjukkan permusuhannya dengan Barat. Sebagai contoh, Ahmadinejad menyinggung tentang keraguannya atas peristiwa Holocaust, menyebut peristiwa 9/11 sebagai skenario CIA, dan penentangan kerasnya atas Israel. Akibatnya, tiap kali Ahmadinejad berpidato di depan MU PBB, selalu diwarnai aksi walk out dari para diplomat Barat.
Rowhani justru melakukan hal yang sebaliknya. Ia lebih tertarik meniru sikap, gaya, dan nada mantan presiden Iran lainnya seperti Mohammad Khatami dan Rafsanjani yang dikenal moderat serta suka menyerukan dialog internasional kepada dunia Barat. Rowhani ketika berpidato cenderung menggunakan nada yang ringan, bahasanya pun tidak membakar amarah dan sikap serta gayanya juga tidak konfrontatif. Rowhani bahkan membuat pernyataan mengejutkan mengenai Holocaust dengan menyebut tragedi pembantaian kaum Yahudi oleh Nazi menjelang Perang Dunia II di Eropa itu, sebagai peristiwa yang tercela dan terkutuk. Rowhani juga tidak menyindir Barat, khususnya AS, sebagai imperialis dan kolonialis, hal yang selalu disinggung oleh Ahmadinejad.
Meski begitu, yang perlu diingat adalah bahwa dalam melakukan analisis politik luar negeri kita tidak bisa membandingkan Rowhani dengan Ahmadinejad, secara demikian. Pembandingan seperti itu, hanya akan menjawab perbedaan spektrum politik saja: Rowhani yang moderat, dan Ahmadinejad yang konservatif. Untuk menjawab lebih jauh, analisis politik luar negeri juga perlu mengetahui apa substansi dari kebijakan dan siapa aktor yang paling berpengaruh dalam merumuskan politik luar negeri Iran.
Substansi
Melalui gayanya yang luwes dan nada bahasanya yang halus, Rowhani memang berhasil menunjukkan gaya kepemimpinan yang berbeda dari Ahmadinejad. Ia berhasil meyakinkan AS untuk menempuh langkah diplomasi dalam penyelesaian nuklir Iran.
Namun secara substansi, sebetulnya Rowhani tidak berbeda dengan Ahmadinejad. Apa yang disampaikan Rowhani dalam penampilan pertamanya di MU PBB, memiliki substansi yang sama dengan Ahmadinejad. Artinya, Rowhani tidak menawarkan perubahan mendasar dalam kebijakan luar negeri Iran, khususnya mengenai program nuklirnya.
Ketika Rowhani mengatakan bahwa ia terbuka untuk dialog mengenai pengayaan nuklir Iran, hal ini bukanlah sebuah terobosan kebijakan. Semua mantan presiden Iran - termasuk Ahmadinejad - telah mempertahankan kebijakan yang sama. Rowhani, seperti setiap presiden Iran lainnya, tetap berpendirian bahwa Iran memiliki hak absolut yang tidak dapat dicabut dalam mengembangkan program nuklirnya untuk kepentingan damai. Sebuah pernyataan yang tidak akan pernah bisa dipercaya Barat, khususnya AS.
Dalam konteks itu, motif politik luar negeri Rowhani merupakan pengejawantahan dari kebijakan pemimpin spiritual Iran Ayatollah Ali Khamenei. Hal itu tentu tidak mengherankan, karena sistem velayat-e faqih memang menghendaki Rowhani tunduk sepenuhnya pada Khamenei sebagai pengatur kebijakan luar negeri dan keamanan Iran.
Ketertundukan Rowhani terhadap Khamenei dapat dibaca sebelum pertemuan SU PBB berlangsung. Pada 19 September, Khamenei menyatakan dukungan terhadap "keluwesan dan keberanian" Rowhani. Dukungan itu merupakan kosakata politik luar negeri Khamenei yang memang memerintahkan Rowhani melakukan cara-cara yang demikian. Khamenei mengatakan kebijakan luwes Rowhani adalah sikap yang sangat diperlukan dan tidak melampaui garis merah (cri.cn, 19/9).
Pada intinya, tidak ada yang berubah dalam substansi politik luar negeri Iran. Motif politik luar negeri Rowhani justru mundur ke kebijakan yang sama dari pendahulunya, Ahmadinejad, serta tetap patuh terhadap perintah Khamenei. Yang membedakan hanyalah, Rowhani menyampaikan kebijakannya itu kepada lawan diplomasinya melalui bahasa yang ringan dan dengan intonasi nada yang ringan pula.
Untuk itu, mengharapkan Iran terbuka soal program nuklirnya tanpa adanya perubahan sistem politik dan patuh terhadap Barat itu mirip seperti harapan kaum idealisme-utopian yang mendambakan terbentuknya pemerintahan dunia. Kata seorang realis politik Edward Hallet Carr (1939), hal itu ibarat ingin merubah “timah” menjadi “emas,” meskipun tidak mungkin terjadi. Bukankah ini suatu upaya yang sia-sia? ●
Kedua, janji itu ditepati Rowhani ketika menghadiri pertemuan dengan negara-negara P5+1 (yang terdiri dari China, AS, Jerman, Inggris, Perancis, dan Rusia), pada Kamis (26/9) lalu. Pertemuan yang dilakukan di sela-sela Sidang Umum (SU) PBB di New York itu difokuskan untuk menyelesaikan masalah program nuklir Iran, yang sampai saat ini masih terkatung-katung. Pertemuan yang dihadiri Presiden Iran Hassan Rowhani, itu berjalan tidak begitu lama karena semua pihak yang hadir langsung bersepakat untuk segera menuntaskan masalah tersebut dalam tempo yang singkat. Rowhani sendiri menargetkan selesai dalam tempo satu tahun. Untuk menunjukkan keseriusan diplomasi Iran, Rowhani rencananya akan membawa proposal tentang nuklir Iran di pertemuan berikutnya pada 15-16 Oktober 2013 di Jenewa.
Ketiga, dapat dilihat ketika Presiden AS Barack Obama dan Presiden Iran Hassan Rowhani melakukan pembicaraan bersejarah melalui telepon, Jumat (27/9) waktu Amerika. Ini adalah pembicaraan pertama di antara kedua pemimpin negara sejak revolusi Islam 1979. Dalam percakapan telepon itu, Obama mengatakan dia dan Rowhani menyadari tantangan yang membentang di hadapan kedua negara dan akan terus membahasnya sampai tercapai kesepakatan atas program nuklir Iran. Rowhani juga mengonfirmasi pembicaraan telepon itu melalui akun Twitter kantor kepresidenan, "di pembicaraan telepon, Presiden Rowhani dan Presiden Barack Obama menyatakan keinginan politik bersama mereka untuk bisa memecahkan masalah nuklir sesegera mungkin."
Berdasarkan ketiga hal tadi, banyak analis dan praktisi hubungan internasional, khsusunya di AS, yang kemudian menaruh harapan positif pada diri Rowhani. Mereka umumnya meyakini bahwa motif politik luar negeri Iran di era Rowhani akan jauh lebih moderat jika dibandingkan dengan presiden Iran sebelumnya, Ahmadinejad. Benarkah demikian?
Nada dan Gaya
President of International American Council, Majid Rafizadeh, dalam kolomnya di Al-Arabiya (27/9) yang berjudul Why Obama and Rowhani didn’t bump into each other, menyinggung dua hal yang membuat banyak pihak terkesima dengan karakter kepemimpinan Rowhani, yaitu nada (tone) dan gaya (style). Dalam konteks itu, Rowhani telah berhasil membuat suatu pembedaan penting dirinya dari pendahulunya, Ahmadinejad. Dan itu Rowhani tunjukkan ketika berpidato di hadapan MU PBB pada 24 September 2013.
Ahmadinejad, kata Raizadeh, memiliki gaya dan sikap yang konfrontatif serta nada pidato yang berapi-api. Ahmadinejad sering memanfaatkan ajang pertemuan di MU PBB untuk menunjukkan permusuhannya dengan Barat. Sebagai contoh, Ahmadinejad menyinggung tentang keraguannya atas peristiwa Holocaust, menyebut peristiwa 9/11 sebagai skenario CIA, dan penentangan kerasnya atas Israel. Akibatnya, tiap kali Ahmadinejad berpidato di depan MU PBB, selalu diwarnai aksi walk out dari para diplomat Barat.
Rowhani justru melakukan hal yang sebaliknya. Ia lebih tertarik meniru sikap, gaya, dan nada mantan presiden Iran lainnya seperti Mohammad Khatami dan Rafsanjani yang dikenal moderat serta suka menyerukan dialog internasional kepada dunia Barat. Rowhani ketika berpidato cenderung menggunakan nada yang ringan, bahasanya pun tidak membakar amarah dan sikap serta gayanya juga tidak konfrontatif. Rowhani bahkan membuat pernyataan mengejutkan mengenai Holocaust dengan menyebut tragedi pembantaian kaum Yahudi oleh Nazi menjelang Perang Dunia II di Eropa itu, sebagai peristiwa yang tercela dan terkutuk. Rowhani juga tidak menyindir Barat, khususnya AS, sebagai imperialis dan kolonialis, hal yang selalu disinggung oleh Ahmadinejad.
Meski begitu, yang perlu diingat adalah bahwa dalam melakukan analisis politik luar negeri kita tidak bisa membandingkan Rowhani dengan Ahmadinejad, secara demikian. Pembandingan seperti itu, hanya akan menjawab perbedaan spektrum politik saja: Rowhani yang moderat, dan Ahmadinejad yang konservatif. Untuk menjawab lebih jauh, analisis politik luar negeri juga perlu mengetahui apa substansi dari kebijakan dan siapa aktor yang paling berpengaruh dalam merumuskan politik luar negeri Iran.
Substansi
Melalui gayanya yang luwes dan nada bahasanya yang halus, Rowhani memang berhasil menunjukkan gaya kepemimpinan yang berbeda dari Ahmadinejad. Ia berhasil meyakinkan AS untuk menempuh langkah diplomasi dalam penyelesaian nuklir Iran.
Namun secara substansi, sebetulnya Rowhani tidak berbeda dengan Ahmadinejad. Apa yang disampaikan Rowhani dalam penampilan pertamanya di MU PBB, memiliki substansi yang sama dengan Ahmadinejad. Artinya, Rowhani tidak menawarkan perubahan mendasar dalam kebijakan luar negeri Iran, khususnya mengenai program nuklirnya.
Ketika Rowhani mengatakan bahwa ia terbuka untuk dialog mengenai pengayaan nuklir Iran, hal ini bukanlah sebuah terobosan kebijakan. Semua mantan presiden Iran - termasuk Ahmadinejad - telah mempertahankan kebijakan yang sama. Rowhani, seperti setiap presiden Iran lainnya, tetap berpendirian bahwa Iran memiliki hak absolut yang tidak dapat dicabut dalam mengembangkan program nuklirnya untuk kepentingan damai. Sebuah pernyataan yang tidak akan pernah bisa dipercaya Barat, khususnya AS.
Dalam konteks itu, motif politik luar negeri Rowhani merupakan pengejawantahan dari kebijakan pemimpin spiritual Iran Ayatollah Ali Khamenei. Hal itu tentu tidak mengherankan, karena sistem velayat-e faqih memang menghendaki Rowhani tunduk sepenuhnya pada Khamenei sebagai pengatur kebijakan luar negeri dan keamanan Iran.
Ketertundukan Rowhani terhadap Khamenei dapat dibaca sebelum pertemuan SU PBB berlangsung. Pada 19 September, Khamenei menyatakan dukungan terhadap "keluwesan dan keberanian" Rowhani. Dukungan itu merupakan kosakata politik luar negeri Khamenei yang memang memerintahkan Rowhani melakukan cara-cara yang demikian. Khamenei mengatakan kebijakan luwes Rowhani adalah sikap yang sangat diperlukan dan tidak melampaui garis merah (cri.cn, 19/9).
Pada intinya, tidak ada yang berubah dalam substansi politik luar negeri Iran. Motif politik luar negeri Rowhani justru mundur ke kebijakan yang sama dari pendahulunya, Ahmadinejad, serta tetap patuh terhadap perintah Khamenei. Yang membedakan hanyalah, Rowhani menyampaikan kebijakannya itu kepada lawan diplomasinya melalui bahasa yang ringan dan dengan intonasi nada yang ringan pula.
Untuk itu, mengharapkan Iran terbuka soal program nuklirnya tanpa adanya perubahan sistem politik dan patuh terhadap Barat itu mirip seperti harapan kaum idealisme-utopian yang mendambakan terbentuknya pemerintahan dunia. Kata seorang realis politik Edward Hallet Carr (1939), hal itu ibarat ingin merubah “timah” menjadi “emas,” meskipun tidak mungkin terjadi. Bukankah ini suatu upaya yang sia-sia? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar