|
DALAM studi perbandingan
konstitusionalisme, khususnya jurisprudence
of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal
memang selalu mengundang kontroversi.
Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan
merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua
MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga
mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada
peringkat aneh.
Sebagai barang impor, transplantasi MK di
Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang
hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam
kegentingan.
Desain perbaikan itu belum jelas. Namun,
sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian
pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi.
Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan
melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun
sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan
4/9/2006).
Perekrutan
Standar internasional perekrutan hakim,
misalnya Basic Principles on the
Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor
40/146) dan Beijing Statement of
Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997),
menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.
Pertama, calon hakim memiliki integritas dan
kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak. Kedua, sumber perekrutan
bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya
lebih banyak dari karier. Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut
hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak
tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin,
agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran
atau status.
Keempat, jika proses perekrutan melibatkan
eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu
komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan
pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.
Berbeda dari perekrutan hakim agung yang
melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum
melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan
MA ”memajukan” tiga hakim. Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi.
UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara
transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel
tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.
Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara
terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR,
MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga
menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah
prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan
yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif
terlibat dalam proses tersebut.
Namun, MA tak pernah transparan, presiden
mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan
tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan
keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim
konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil
akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.
Perekrutan yudikatif mengalami politisasi
dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai
konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan
konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari
kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”.
Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.
Revisi
UU
Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan
UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai
panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim
agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara
ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh
presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.
Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal
oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus
kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim
konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan
profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan
kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.
MK mengulang sikapnya dengan membatalkan
keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011
(Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan
eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.
Tautologi MK itu irasional dan
inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar
fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal,
bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.
Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif,
bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun
hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun,
malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.
Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional
design lain untuk melakukan constitutional
review. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar