|
Haji sebagai sebuah filsafat tindakan dan filsafat
masyarakat yang terbungkus simbol. Seperti digambarkan dalam kebersamaannya
ketika thawaf, melepaskan
pakaian-pakaian birokratis, berusaha yang terus menerus ketika sa'i, tindakan yang sama dengan disertai
kesucian dari asesoris dan pada puncaknya diusahakan mencapai kesadaran diri
ketika wuquf di Arafah (Arafah: sadar
dan tahu). Semua akan menghasilkan kerangka hampa dan hanya sebagai perenungan
abstrak manakala tidak ada tindakan empirik dan tidak memproyeksikan keinsafan
apapun mengenai struktur masyarakat dan gejala sosial yang ada.
Matra perorangan tidak dapat dipahami dan absurd tanpa matra
kemasyarakatannya. Haji sebagai senjata spiritual akan menemukan senjata
materialnya dalam melakukan pembebasan yang revolusioner pada kaum lemah. Tanpa
usaha itu, haji yang semula bersifat emansipatoris akan merosot pada
kontemplasi dan dogma mati.
Max Horkheimer, pendiri Mazhab Frankfurt, berpendapat bahwa
walaupun ilmu-ilmu nampaknya rasional (moral)
namun dalam kenyataan irrasional (immoral)
ketika mendukung suatu sistem yang irasional. Sistem itu irasional karena tidak
membahagiakan manusia dan tidak sanggup untuk menciptakan hubungan sosial yang
benar, yang sungguh-sungguh manusiawi, (Franz
Magnis S, 1981).
Predikat haji pada masa penjajahan memiliki daya pikat,
wibawa, dan kharisma untuk menggerakkan massa menentang penjajah. HOS
Tjokroaminoto, Ahmad Dahlan, Abdul Karim Amrullah, Hasyim Asy'ari, Agus Salim,
Samanhoedi, dan haji-haji dari Nusantara lain meliputi para pemimpin yang mampu
memompakan semangat perjuangan, kemerdekaan, kebangkitan, dan usaha melepaskan
diri dari segala penindasan.
Mereka di Mekah tidak hanya melakukan ritus haji, namun
mencari sentuhan pendidikan yang diajarkan oleh para pembaharu muslim, bertukar
pikiran dan kemudian setelah pulang ke tanah air mengajarkan paham pembaharuan
yang mereka peroleh kepada warga muslim di Indonesia. Dalam kaitannya dengan
teori kritik masyarakat atau Horkheimer, usaha-usaha mereka adalah usaha yang
rasional atau bermoral.
Predikat haji masa sekarang ini tentu sangat berbeda dengan
masa penjajahan. Kharisma dan wibawa yang dikandung predikat haji semakin
meredup. Di samping karena melonjaknya jumlah haji, fenomena ini juga
disebabkan karena haji bukan lagi digunakan sebagai wahana menyadarkan diri
akan berbagai fungsinya sebagai seorang individu dan makhluk sosial.
Hampir-hampir tidak ada pengaruh apapun yang dibawa oleh para hujjaj Indonesia
akhir-akhir ini setelah kembali ke Tanah Air. Mereka tetap saja seperti sebelum
'menunaikan' ibadah haji. Bahkan, ada yang memaknakan haji tidak lagi sebagai
sarana pendidikan jiwa, namun untuk menjadi 'turis' sesaat di tanah suci.
Patut disyukuri memang, masih ada semangat untuk
melestarikan ritual agama. Namun, sangat disesalkan fungsi asli dari ajaran
Islam yang sangat teologis itu sayup-sayup hilang. Lebih tragis lagi, sisa-sisa
kharisma dan wibawa predikat haji bukan digunakan untuk usaha yang rasional
tapi untuk memanipulasi politik, mencari massa untuk kemenangan diri dan
golongannya. Fungsi ibadah haji sebagai institusi pendidikan untuk membentuk tindakan
rasional pada ujungnya hanya memiliki efek pemberian gelar 'H' saja. Inilah
yang kemudian saya istilahkan dengan 'haji politik', yakni karena banyak diduga
untuk tidak mengatakan semata-mata ia lebih bersifat politis dan mengisi
kejengahan spiritual pribadi.
Ketika Tuhan memerintahkan ibadah haji, tujuannya adalah
sangat rasional yang membentuk kesadaran manusia akan eksistensi dirinya (to be sensitive to reality) bahwa dia
bukan hanya makhluk pribadi yang hidup sendiri, tapi ia juga makhluk sosial
yang bertanggungjawab atas kondisi masyarakat. Maksud ini terbungkus dalam
sabda Rasul Al-Hajju 'Arafah, inti dan puncak ibadah haji itu wuquf di Arafah.
Arafah berarti mengenal, mengetahui, dan sadar, sementara makna wukuf adalah
berhenti atau konsisten.
Karena itu, makna wuquf di Arafah adalah konsisten dalam
kesadaran mewujudkan tindakan rasional sebagai makhluk multi dimensi.
Harapannya, agar para hujjaj dapat menjadi pioner perubahan masyarakat ke arah
positif, menampung keresahan-keresahan sosial, wadah perjuangan dalam
meningkatkan budaya rakyat, ekonomi masyarakat, kebebasan, dan berbagai segi
kehidupan yang menjadi hajat hidup. Bila haji tak menghasilkan fungsi tersebut
tentu saja ia menjadi sistem dan teori irrasional.
Ada tiga persyaratan, seperti diungkap Horkheimer, agar
suatu teori dan tindakan menjadi emansipatoris. Pertama, ia harus curiga dan
kritis terhadapa masyarakat. Kedua, ia harus berpikir secara 'historis'.
Ketiga, ia harus tidak memisahkan teori dan praksis (Sindhunata, 1983: 93). Haji bukanlah sesuatu yang netral
(membiarkan apa adanya) dan agama tidaklah menurunkan sesuatu dalam bentuk
netral.
Dalam perspektif filosofis dalam penerjemahannya, haji
sangat memerlukan tekanan perspektif sosiologis sejauh kondisi sosial menuntut
perwujudan yang pas dengan kebutuhannya. Artinya, dalam perenungan haji perlu
terus curiga dan kritis atas kondisi masyarakat. Dalam kaitan ini, seluruh
pengandaian haji sebagai ritus yang berusaha mempertahankan perspektif historis
yang memiliki daya gugah, motivator, dan mobilisator massa, renungan filosofis,
kemampuan emosional, mekanisme psikis, dan implementasi sosial dan politik
tidak boleh menyimpang dari tujuan universal agama sebagai penyelamat manusia,
bukan sekadar ritualitas yang tanpa makna.
Ada usaha yang sangat menarik dari Ali Syari'ati, pemikir
kontemporer Iran, bahwa haji adalah wahana perkumpulan umat Islam untuk
memusyawarahkan, memecahkan, dan memutuskan suatu tindakan tertentu yang akan
diambil bersama demi kesejahteraan umat manusia. Namun, sampai sekarang wahana
itu memiliki fungsi yang sangat minim. Ini sangat berbeda dengan ketika dunia
memasuki abad XX, haji menjadi pusat pendidikan, semangat, dan penggemblengan
iman. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar