Minggu, 13 Oktober 2013

Konstruksi Sosial Haji

Konstruksi Sosial Haji
Sutrisno  Mahasiswa Pascasarjana (S2) Universitas Muhammadiyah Surakarta
SUARA KARYA, 12 Oktober 2013


Haji sebagai sebuah filsafat tindakan dan filsafat masyarakat yang terbungkus simbol. Seperti digambarkan dalam kebersamaannya ketika thawaf, melepaskan pakaian-pakaian birokratis, berusaha yang terus menerus ketika sa'i, tindakan yang sama dengan disertai kesucian dari asesoris dan pada puncaknya diusahakan mencapai kesadaran diri ketika wuquf di Arafah (Arafah: sadar dan tahu). Semua akan menghasilkan kerangka hampa dan hanya sebagai perenungan abstrak manakala tidak ada tindakan empirik dan tidak memproyeksikan keinsafan apapun mengenai struktur masyarakat dan gejala sosial yang ada.

Matra perorangan tidak dapat dipahami dan absurd tanpa matra kemasyarakatannya. Haji sebagai senjata spiritual akan menemukan senjata materialnya dalam melakukan pembebasan yang revolusioner pada kaum lemah. Tanpa usaha itu, haji yang semula bersifat emansipatoris akan merosot pada kontemplasi dan dogma mati.

Max Horkheimer, pendiri Mazhab Frankfurt, berpendapat bahwa walaupun ilmu-ilmu nampaknya rasional (moral) namun dalam kenyataan irrasional (immoral) ketika mendukung suatu sistem yang irasional. Sistem itu irasional karena tidak membahagiakan manusia dan tidak sanggup untuk menciptakan hubungan sosial yang benar, yang sungguh-sungguh manusiawi, (Franz Magnis S, 1981).
Predikat haji pada masa penjajahan memiliki daya pikat, wibawa, dan kharisma untuk menggerakkan massa menentang penjajah. HOS Tjokroaminoto, Ahmad Dahlan, Abdul Karim Amrullah, Hasyim Asy'ari, Agus Salim, Samanhoedi, dan haji-haji dari Nusantara lain meliputi para pemimpin yang mampu memompakan semangat perjuangan, kemerdekaan, kebangkitan, dan usaha melepaskan diri dari segala penindasan.

Mereka di Mekah tidak hanya melakukan ritus haji, namun mencari sentuhan pendidikan yang diajarkan oleh para pembaharu muslim, bertukar pikiran dan kemudian setelah pulang ke tanah air mengajarkan paham pembaharuan yang mereka peroleh kepada warga muslim di Indonesia. Dalam kaitannya dengan teori kritik masyarakat atau Horkheimer, usaha-usaha mereka adalah usaha yang rasional atau bermoral.
Predikat haji masa sekarang ini tentu sangat berbeda dengan masa penjajahan. Kharisma dan wibawa yang dikandung predikat haji semakin meredup. Di samping karena melonjaknya jumlah haji, fenomena ini juga disebabkan karena haji bukan lagi digunakan sebagai wahana menyadarkan diri akan berbagai fungsinya sebagai seorang individu dan makhluk sosial. Hampir-hampir tidak ada pengaruh apapun yang dibawa oleh para hujjaj Indonesia akhir-akhir ini setelah kembali ke Tanah Air. Mereka tetap saja seperti sebelum 'menunaikan' ibadah haji. Bahkan, ada yang memaknakan haji tidak lagi sebagai sarana pendidikan jiwa, namun untuk menjadi 'turis' sesaat di tanah suci.

Patut disyukuri memang, masih ada semangat untuk melestarikan ritual agama. Namun, sangat disesalkan fungsi asli dari ajaran Islam yang sangat teologis itu sayup-sayup hilang. Lebih tragis lagi, sisa-sisa kharisma dan wibawa predikat haji bukan digunakan untuk usaha yang rasional tapi untuk memanipulasi politik, mencari massa untuk kemenangan diri dan golongannya. Fungsi ibadah haji sebagai institusi pendidikan untuk membentuk tindakan rasional pada ujungnya hanya memiliki efek pemberian gelar 'H' saja. Inilah yang kemudian saya istilahkan dengan 'haji politik', yakni karena banyak diduga untuk tidak mengatakan semata-mata ia lebih bersifat politis dan mengisi kejengahan spiritual pribadi.

Ketika Tuhan memerintahkan ibadah haji, tujuannya adalah sangat rasional yang membentuk kesadaran manusia akan eksistensi dirinya (to be sensitive to reality) bahwa dia bukan hanya makhluk pribadi yang hidup sendiri, tapi ia juga makhluk sosial yang bertanggungjawab atas kondisi masyarakat. Maksud ini terbungkus dalam sabda Rasul Al-Hajju 'Arafah, inti dan puncak ibadah haji itu wuquf di Arafah. Arafah berarti mengenal, mengetahui, dan sadar, sementara makna wukuf adalah berhenti atau konsisten.

Karena itu, makna wuquf di Arafah adalah konsisten dalam kesadaran mewujudkan tindakan rasional sebagai makhluk multi dimensi. Harapannya, agar para hujjaj dapat menjadi pioner perubahan masyarakat ke arah positif, menampung keresahan-keresahan sosial, wadah perjuangan dalam meningkatkan budaya rakyat, ekonomi masyarakat, kebebasan, dan berbagai segi kehidupan yang menjadi hajat hidup. Bila haji tak menghasilkan fungsi tersebut tentu saja ia menjadi sistem dan teori irrasional.

Ada tiga persyaratan, seperti diungkap Horkheimer, agar suatu teori dan tindakan menjadi emansipatoris. Pertama, ia harus curiga dan kritis terhadapa masyarakat. Kedua, ia harus berpikir secara 'historis'. Ketiga, ia harus tidak memisahkan teori dan praksis (Sindhunata, 1983: 93). Haji bukanlah sesuatu yang netral (membiarkan apa adanya) dan agama tidaklah menurunkan sesuatu dalam bentuk netral.

Dalam perspektif filosofis dalam penerjemahannya, haji sangat memerlukan tekanan perspektif sosiologis sejauh kondisi sosial menuntut perwujudan yang pas dengan kebutuhannya. Artinya, dalam perenungan haji perlu terus curiga dan kritis atas kondisi masyarakat. Dalam kaitan ini, seluruh pengandaian haji sebagai ritus yang berusaha mempertahankan perspektif historis yang memiliki daya gugah, motivator, dan mobilisator massa, renungan filosofis, kemampuan emosional, mekanisme psikis, dan implementasi sosial dan politik tidak boleh menyimpang dari tujuan universal agama sebagai penyelamat manusia, bukan sekadar ritualitas yang tanpa makna.

Ada usaha yang sangat menarik dari Ali Syari'ati, pemikir kontemporer Iran, bahwa haji adalah wahana perkumpulan umat Islam untuk memusyawarahkan, memecahkan, dan memutuskan suatu tindakan tertentu yang akan diambil bersama demi kesejahteraan umat manusia. Namun, sampai sekarang wahana itu memiliki fungsi yang sangat minim. Ini sangat berbeda dengan ketika dunia memasuki abad XX, haji menjadi pusat pendidikan, semangat, dan penggemblengan iman. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar