Minggu, 13 Oktober 2013

Berantas Korupsi dengan Pendidikan

Berantas Korupsi dengan Pendidikan
Miftahol Arifin  Anggota Advokasi dan Penelitian Fishum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA KARYA, 12 Oktober 2013


Korupsi di Indonesia sudah masuk ke tingkat akut. Dari tahun ke tahun jumlahnya tidak juga berkurang, justru meningkat dan semakin merajalela di kalangan elite bangsa. Praktiknya pun semakin rapi dan licin sehingga sulit sekali terjamah oleh hukum. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, korupsi sekarang dipraktikkan secara berkelompok (berjamaah) demi memperoleh hasil yang banyak dan sulit dilacak.
Itu bisa dilihat dari berbagai kasus dugaan korupsi yang melibatkan partai politik, pengusaha, hingga pejabat tinggi dan pejabat negara, sampai para profesional. Semua seperti sudah melekat pada kata, koruptor.

Hasil survei mutakhir Transparency International (TI) menunjukkan, indeks korupsi Indonesia pada tahun 2012 bercokol di urutan 118 dari 176 negara. Sementara itu, pada tingkat regional ASEAN, peringkat korupsi Indonesia jauh di bawah Singapura (peringkat 5), Brunei Darussalam (46), Malaysia (54) dan Thailand (88). Indonesia hanya lebih baik bila dibandingkan dengan Vietnam (123), Laos (160) dan Myanmar (172).

Hal itu menandakan bahwa indeks korupsi Indonesia masih belum banyak mengalami perubahan. Indonesia selalu saja menduduki peringkat terburuk. Makin bertambah tahun, korupsi tidak juga hilang sebaliknya malah bertambah. Tampaknya korupsi di Indonesia sudah berkembang secara sistemik. Korupsi sudah melekat ke sistem sehari-hari sehingga sudah dianggap lazim serta tidak melanggar hukum.

Namun, dalam upaya pemberantasan, segala perangkat untuk meredam praktik korupsi sebenarnya sudah tersedia, baik dari landasan hukum hingga personel di kepolisian, kejaksaan maupun kehakiman. Hanya saja, aparatur di tiga lembaga penegak hukum tersebut kerap pula terlibat korupsi. Munculnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cukup memberikan hasil. Namun, upaya untuk mematikan lembaga independen itu justru terus berlangsung, termasuk oleh orang-orang yang mengklaim dirinya mewakili rakyat di DPR.

Tragisnya lagi, mereka yang sudah dicap koruptor justru tidak pernah memperlihatkan rasa malu. Mereka masih percaya diri, mengumbar senyum dan tawa ketika diadili dan di hadapan kamera televisi. Meski sudah dijebloskan ke penjara mereka masih bisa mendapat perlakuan istimewa. Tak heran ada asumsi bahwa koruptor adalah warga kelas satu di negara ini.
Lantas, apa sebenarnya yang menyebabkan korupsi di Indonesia tidak pernah bisa habis?

Ketidakmampuan Pendidikan

Beberapa hari yang lalu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengeluarkan pernyataan yang cukup menyentak dunia pendidikan (khususnya perguruan tinggi). Dia menegaskan, korupsi di Indonesia sebenarnya tak lepas dari ketidakmampuan pendidikan menjadi fondasi moral dan alat kontrol. Menurutnya, lebih dari 80 persen pelaku korupsi adalah lulusan perguruan tinggi.

Pernyataan Mahfud yang sebelumnya pernah berada di lingkaran kekuasaan baik kabinet maupun DPR itu seakan membenarkan anggapan banyak kalangan bahwa di negara ini bertebaran orang pandai yang hatinya tumpul dan kusam. Selain itu, pernyataan Mahfud juga kian memperlihatkan sistem pendidikan tinggi di negara ini gagal mencetak sarjana-sarjana yang berakhlak baik.

Pendidikan sejatinya adalah penuntun ke jalan yang benar. Namun, jika salah orientasi dan tidak maksimal dalam penerapannya pendidikan pada akhirnya hanya akan menjadi candu. Pendidikan yang candu kemudian akan mencetak generasi-generasi yang tidak bermoral dan korup seperti yang dikatakan Mahfud MD.

Pendidikan sangat memengaruhi perilaku individu. Pendidikan, sebagai pembentuk perilaku, adalah langkah awal yang dapat mengubah seseorang menjadi koruptor atau tidak. Pendidikan yang tidak mampu menanamkan nilai-nilai etika dan moral itulah yang dapat mencetak generasi koruptor.

Karena itu, sudah sepantasnya pendidikan mempunyai andil dalam pencegahan korupsi. Salah satunya adalah dengan memperkuat pendidikan terutama penerapan pendidikan karakter untuk mencetak generasi-generasi yang berwatak dan berakhlak mulia dan tentunya tidak bermental korup.

Adanya pendidikan karakter mutlak dibutuhkan dalam sebuah sistem pendidikan. Pendidikan karakter akan menjadi dasar etis dan moral. Jika hal ini dijalankan secara baik maka institusi pendidikan akan melahirkan cendikiawan, yang tidak hanya pandai, namun juga memiliki akhlak. Tidak sekadar cerdas dalam intelektualitas, tetapi juga cerdas dalam spiritualitas.

Bahkan, seorang pakar pendidikan Fahd Pahdepie (2004) pernah menegaskan, pendidikan (karakter) adalah solusi sosial yang mampu mengubah ketidakberaturan ke arah keteraturan, kebobrokan moral ke arah kemuliaan akhlak, kekeringan spiritual ke arah kekuatan spiritual. Pendidikan, menurutnya, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hidup dan kehidupan manusia.

Memang harus diakui, pemberantasan korupsi tidak akan efektif tanpa diikuti dengan upaya pencegahan (preventif) tersebut. Harus ada keberanian untuk memutus generasi korup dengan memperkuat bidang pendidikan karakter yang merupakan "bengkel" pembentuk watak manusia.

Pemberantasan korupsi, tentu tidak cukup hanya dengan menagkap dan memenjarakan para koruptor. Memberikan pendidikan dengan cara menanamkan sikap dan perilaku bermoral melalui lembaga pendidikan dapat menjadi pintu lahirnya generasi-generasi antikorupsi di negeri ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar