Sabtu, 12 Oktober 2013

Bahaya Laten Penyakit Orba

Bahaya Laten Penyakit Orba
Maria M Bhoernomo  Penggiat Kebudayaan di Kudus, Jawa Tengah
JAWA POS, 12 Oktober 2013


REZIM Orde Baru (Orba) melahirkan penyakit, berupa spirit sogok-menyogok atau suap-menyuap dalam segala hal yang berurusan dengan birokrasi pemerintahan, terutama urusan yang terkait dengan hukum dan keadilan. 

Misalnya, pada era Orba, siapa yang salah bisa dianggap benar jika mampu menyogok jajaran aparat hukum. Sebaliknya, yang tidak bersalah bisa masuk penjara karena tidak mampu menyogok penegak hukum, seperti kasus Singkon-Karta.

Di tingkat desa, pada era Orba, rakyat juga selalu dipaksa untuk menyogok aparat desa jika hendak berurusan dengan masalah birokrasi. Misalnya, jika butuh akta kelahiran, rakyat harus menyogok ketua RT, ketua RW, kepala desa, dan petugas di Kantor Dinas Catatan Sipil. Wujud sogokan mulai dari sebungkus rokok hingga sejumlah uang tunai. Yang menolak menyogok dipastikan akan kesal dan capek karena urusannya dipersulit alias tidak beres-beres.

Kini rezim Orba boleh saja telah lama berakhir. Namun, antek-antek Orba masih mengisi instansi-instansi negeri. Mereka terus mengabadikan spirit sogok-menyogok. Bahkan, di era reformasi ini, fenomena sogok-menyogok makin marak. 

Misalnya, di desa-desa sekarang warga yang hendak menikah resmi di KUA terpaksa membayar biaya yang sangat mahal. Jika tidak punya akta kelahiran, dipastikan calon pengantin akan dipaksa untuk mengurusnya dengan biaya yang sangat mahal pula. Dalam hal ini, banyak calon pengantin yang memang tidak punya akta kelahiran karena pada saat lahir (di era Orba) orang tuanya tidak mampu menyogok.

Karena itu, jika tiba-tiba muncul kasus tangkap tangan oleh KPK terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi karena diduga terlibat kasus sogok-menyogok, kita layak menyeru semua pihak agar mewaspadai bahaya laten spirit Orba.

Harus diakui, spirit Orba dalam wujud fenomena sogok-menyogok memang justru makin marak di era reformasi ini. Bahkan, rakyat sekarang juga sering dipaksa untuk menyogok "secara resmi" oleh kepala sekolah agar anaknya bisa terus belajar formal. 

Selain itu, calon kepala daerah juga sering memilih spirit Orba dengan menyogok rakyat atau bagi-bagi uang menjelang pilkada agar rakyat bersedia memilihnya. Lantas, setelah jadi, kepala daerah ganti memaksa semua bawahan untuk menyogoknya agar memperoleh jabatan di lingkungan pemerintah daerah. 

Yang lebih memprihatinkan, sekarang juga makin marak fenomena sogok-menyogok di kalangan calon tenaga kerja baru yang hendak mengikuti rekrutmen di instansi negeri. Misalnya, para lulusan sekolah perawat dan bidan harus membayar mahal untuk bisa mendapatkan pengalaman kerja dengan magang di rumah sakit. Sebab, pengalaman kerja tersebut menjadi syarat utama untuk melamar kerja sebagai perawat atau bidan.

Fenomena sogok-menyogok di banyak institusi negeri memang bersifat rahasia sehingga sulit untuk diberantas. Bahkan, sogok-menyogok makin marak di era reformasi ini karena yang menguasai institusi-institusi negeri memang antek-antek Orba atau mereka yang mewarisi spirit Orba. 

Padahal, pemerintah di era reformasi ini telah memperbanyak peraturan untuk mencegah praktik sogok-menyogok. Faktanya, justru praktik kotor tersebut makin marak. Dalam hal ini, percuma peraturan dibuat makin banyak kalau pihak-pihak yang berkuasa tetap memiliki spirit Orba. 

Pengeruk Uang 

Harus ditegaskan, spirit Orba dalam bentuk fenomena sogok-menyogok menjadi makin marak tentu karena semua pihak yang memiliki kekuasaan selalu ingin memanfaatkan kekuasaannya untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya. 

Dengan kata lain, selama jabatan dijadikan alat pengeruk uang, selama itu fenomena sogok-menyogok akan tetap marak. Pada titik ini, rakyat yang nota bene tidak memiliki jabatan dan kekuasaan dipastikan akan selalu menjadi korban yang paling menderita. Sebab, sogok-menyogok sama dengan praktik pemerasan terhadap rakyat. 

Contoh yang paling mudah dipahami: jika seseorang dipaksa menyogok untuk menjadi kepala sekolah, maka selama menjabat, kepala sekolah pasti akan memaksa wali murid (rakyat) untuk membayar mahal biaya sekolah anak-anaknya. Dalam hal ini, jabatan kepala sekolah ternyata bisa juga menjadi alat pengeruk uang. 

Yang juga layak dicermati adalah sejak ada KPK, semua yang berkuasa dan hendak menggunakan kekuasaannya sebagai alat pengeruk uang lebih suka memilih praktik sogok-menyogok daripada korupsi uang negara. 

Dengan demikian, bahaya laten penyakit spirit Orba perlu lebih diperhatikan oleh KPK. Misalnya, jika makin banyak pihak yang memanfaatkan kekuasaannya sebagai alat pengeruk uang bisa ditangkap KPK, fenomena sogok-menyogok mungkin akan sirna secara perlahan-lahan. Dalam hal ini, KPK harus memiliki payung hukum untuk memberantas fenomena sogok-menyogok sampai ke akar-akarnya, termasuk sogok-menyogok dalam jumlah kecil tapi masal yang bisa memeras banyak rakyat miskin, sebagaimana yang dilakukan kepala sekolah, agar bahaya laten spirit Orba tidak terus-menerus membayangi perjalanan bangsa kita. 

Percuma reformasi jika semua yang berkuasa menggunakan kekuasaannya sebagai alat pengeruk uang atau untuk memeras rakyat, sebagaimana yang pernah berlangsung selama tiga dekade di era Orba. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar