|
Golongan putih
atau yang dikenal dengan istilah golput telah menjadi adagium politik modern
yang banyak diperbincangkan. Istilah ini dilekat pada pilihan politik individu
dan masyarakat yang tidak turut menyumbangkan suara dalam bentuk mencoblos pada
saat pemilu ataupun kegiatan politik lainnya. Para ahli dan teorisasi politik
melihat ini sebagi aksi politik (political
action) yang memiliki ekses penyimpangan dan pertentangan terhadap
eksistensi demokrasi. Sebagain besar sarjana ilmu politik memberikan tesis
bahwa golput berdampak secara negatif atas pertumbuhan demokrasi.
Kamis, 12 September 2013, Okezone.com, memuat tulisan Januri bejudul “Golput Bukan Keinginan Rakyat”. Tulisan itu menarik untuk dicermati. Mengingat golput sudah menggurita dalam ruang demokrasi politik Indonesia sejak Pemilu 1999. Dalam tulisan ini, penulis berupaya memberikan kritik-humanis terkait dengan dialektika golput sebagai antitesa dari muncul ketidakpercayaan (distrust) publik atas kinerja lembaga negara dan istitusi penyokong demokrasi yang dibangun oleh Jainuri.
Pertama, dengan menyitir data Kompas (6/9/2013), Jainuri memberi kesimpulan bahwa korupsi adalah sumber becana politik yang menyuburkan tindakan golput. “Tampaknya masyarakat muak dengan politisi dan birokrasi, baik yang ada di level pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah. Di tingkat pusat, setiap saat masyarakat menyaksikan kasus tindakan korupsi politisi dan birokrasi.”
Fakta ini tidak selalu benar. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara maju lainnya, angka partisipasi politik dalam pemilu tidak lebih dari 40-50 persen. Artinya, golput masih menjadi isu sentral politik di berbagai belahan dunia. Hanya saja faktor-faktor penyebab yang memicu tindakan golput sangat beragam.
Pada Juli 2012 lalu, The Guardian merilis hasil penelitain Democratic Audid yang dilakukan oleh Stuart Wilks-Heeg, yang kemudian laporannya berjudul British democracy in terminal decline, warns report. Dalam laporannya, Wilks menemukan hanya 1 (satu) persen dari total pemilih yang menentukan pilihan partai politik sebelum datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Dan hanya 6 dari 10 pemilih yang memiliki hak pilih mendatangi TPS untuk memilih. selanjutnya kata Wilks, golput didominasi oleh kelompok menengah keatas, bukan oleh kelompok apatisme politik yang muncul dari kelas bawah.
Apa yang disampaikan Wilks menunjukan golput sebagai pilihan politik tidak selalu datang atas alasan rasional politik warga. Rakyat yang tidak sejahtera, miskin dan tertinggal belum tentu akan melakukan pilihan tindakan golput. Justru jika kita perhatikan kelompok inilah yang paling antusias menyambut pemilu dengan berbagai macam seremoninya. Artinya, pilihan untuk golput tiadk berdasarkan argumuntasi ekonomi (baca: perut) oleh warga negera.
Dengan demikian, analisis Januri dengan menempatkan Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai contoh dimana masyarakat yang sulit mendapat akses publik; kesehatan, sanitasi, dan pendidikan cenderung memilih golput tidak dapat dibenarkan. Analisisnya mengada-ngada dan tidak sepadan secara konseptual dengan prilaku golput sebagai tindakan politik. Bandingkan saja, pada pemilukada 2012 lalu DKI Jakarta berada diangka golput sebesar 37,05 persen. Sedangkan NTB pada pemilukada 2013 berada diangka 30, 54 persen. Jelaslah, bukan faktor “perut” yang menentukan golput.
Kedua, hal yang patut diperhatikan dalam analisis Jainuri adalah apakah tindakan golput sebagai pilihan tindakan politik rasional atau sekedear implikasi kebijakan negara yang tidak memadai: korupsi, kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan ekonomi. Jawabannya adalah belum tentu. Misalnya, apakah partisipasi politik yang tinggi pada Orde Baru dapat disamaratakan dengan partisipasi politik pada era reformasi sekarang? Jelas berbeda. Dalam hemat penulis, partisipasi politik dan tindakan golput hampir dapat dipastikan mengikuti rezim yang berkuasa.
Untuk memperjelas, Samuel P. Huntington dan Nelson (1994:11) membuat klasifikasi dua karakter partisipasi politik. (1) partisipasi sukarela, yaitu partisipasi yang demokratis dan otonom. Pada level ini, setiap warga negara berperan secara aktif dalam proses pemilu dan agenda politik secara sukarela, tanpa tekanan, tanpa pemaksaan. (2) partisipasi yang dimobilisasi, yaitu keikutsertaan warga negara dalam pemilu dan politik yang dimanipulasi dan didukung oleh kekuatan otoritatif baik yang dilakukan oleh rezim ataupun oleh kelompok-kelompok tertentu.
Dari kacamata ini, mari kita melihat fenomena golput sebagai tindakan politik warga. Para ahli politik berpendapat, golput dapat mengganggu stabilitas demokrasi karena minimnya partisipasi. Teorinya: demokrasi yang baik adalah apabila diikuti oleh keikutsertaan publik-politik warga secara aktif. Namun perlu diingat, kualitas demokrasi tidak serta merta diukur oleh takaran dan ukuran dalam jumlah yang paling banyak (mayoritas). Jika demokrasi selalu diartikan sebagai “kemenangan mayoritas” maka dalam setiap pemilu pasca reformasi golput adalah pemenangnya. Demokrasi yang selalu mencari bentuk pada jumlah mayoritas inilah yang sebenarnya menjadi ancaman bagi proses demokratisasi. Demokrasi berbicara tentang prosedur dan mekanisme pemerintahan dijalankan. Bukan jumlah. Dan konsep demokrasi liberal yang dianut Indonesia mensyaratkan pada suara mayoritas:suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Persoalannya, rakyat yang mana, dan seperti apa yang memiliki mandatori untuk melegitimasi pemerintahan “dari rakyat,oleh rakyat,untuk rakyat”.
Demokrasi yang model inilah yang ditolak oleh filusuf Plato. Demokrasi Athena seperti yang digambarkan Plato disebut sebagai kemerosotan kota, dan pembusukan moralitas pemimpinnya. Athena yang menjadi jargon demokrasi waktu itu adalah pemerintahan yang dipimpin oleh mayoritas kaum muskin, dimana para pemimpin dapat melakukan tindakan-tindakan imoralitas dan jahat selama didukung oleh mayoritas (Georg sorensen, 1993:3). Demokrasi bukan persolan kuantitas, tetapi kualitas dan akuntabilitas.
Hal mendasar yang ingin saya sampaikan di sini adalah, golput yang terjadi di Indonesia saat ini bukan atas dasar pilihan politik rasional warga sebagai akibat dari berbagai fenomena penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat negara. Tetapi golput adalah sebagai akibat dari tidak berkerjanya prinsip-prinsip demokrasi sedarai awal pada seluruh lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat juga tidak memahami pentingnya partisipasi politik dalam era demokrasi. Oleh karena itu, golput bukanlah tindakan politik yang dilakukan secara sadar berdasarkan pertimbangan-pertimbangan politik oleh warga ngara. Disini, apa yang disampaikan oleh Jainuri tidak menemukan pembenaran secara faktual. Perlu juga untuk melakukan perbandingan-perbandingan tingkat golput negara lain berdasarkan budaya politik masing-masing.
Belum lagi jika kita melihat model partisipasi politik rakyat Indonesia. Sebagaimana yang disebut Huntington dan Nelson (1999:11), model partisipasi politik kita masih harus dimobilisasi oleh berbagai kelompok kepentingan politik. Rakyat tidak secara sukarela datang ke TPS berdasarkan pilihan-pilihan politik yang telah disusun dalam pikiran-ideologi dan prinsip-prinsip demokrasi. Jadi, melihat golput sebagai bentuk perlawanan politik warga, masih harus dikaji kembali.
Dapatkah kita mengatakan bahwa semakin tingginya angka golput merefleksikan semakin rasionalnya pemilih Indonesia? Apakah fenomena ini menunjukan berlakunya hukum reward and funishment dalam politik Indonesia? Memang faktor-faktor sosiologis-psikologi tidak dapat diabaikan sebagai faktor meningkatnya golput. Namun alasan ini tidak cukup relevan untuk menjelaskan perubahan prilaku politik pemilih. Bahkan faktor sosiologis seperti agama, kedaerahan, dan suku tidak cukup mampu menjelaskan perubahan prilaku politik nasional dari hasil pemilu legislatif ataupun pilpres (Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, 2012: 305).
Golput di Indonesia secara signifikan terjadi sejak pemilu pertama pasca reformasi. Pemilu 1999, partisipasi pemilih sekitar 93%, kemudian menurun pada pemilu 2004 menjadi 85%, penurunan drastis terjadi pada pemilu 2009 menjadi 71%. Sedangkan pada pilpres 2004 putaran pertama partisipasinya sebesar 80%, lalu menurun menjadi 77% pada putaran kedua. Angka ini menurun lagi pada pilpres 2009 menjadi 72,5%.
Terakhir, individu-individu dalam politik adalah mahluk rasional. Namun benarkah mereka telah melakukan pilihan politik (golput) secara rasional? Tidak! Rasionalitas politik pemilih tidak berdasarkan ukuran-ukuran kualitatif seberapa besar mereka terlibat dalam proses politik. sebagain besar pemilih golput tidak mengetahui kebijakan-kebijakan pemerintah. Artinya, mereka tidak terlibat secara aktif dalam kehidupan politik. Dan golput adalah reaksi psikologis atas situasi politik yang tidak stabil. ●
Kamis, 12 September 2013, Okezone.com, memuat tulisan Januri bejudul “Golput Bukan Keinginan Rakyat”. Tulisan itu menarik untuk dicermati. Mengingat golput sudah menggurita dalam ruang demokrasi politik Indonesia sejak Pemilu 1999. Dalam tulisan ini, penulis berupaya memberikan kritik-humanis terkait dengan dialektika golput sebagai antitesa dari muncul ketidakpercayaan (distrust) publik atas kinerja lembaga negara dan istitusi penyokong demokrasi yang dibangun oleh Jainuri.
Pertama, dengan menyitir data Kompas (6/9/2013), Jainuri memberi kesimpulan bahwa korupsi adalah sumber becana politik yang menyuburkan tindakan golput. “Tampaknya masyarakat muak dengan politisi dan birokrasi, baik yang ada di level pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah. Di tingkat pusat, setiap saat masyarakat menyaksikan kasus tindakan korupsi politisi dan birokrasi.”
Fakta ini tidak selalu benar. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara maju lainnya, angka partisipasi politik dalam pemilu tidak lebih dari 40-50 persen. Artinya, golput masih menjadi isu sentral politik di berbagai belahan dunia. Hanya saja faktor-faktor penyebab yang memicu tindakan golput sangat beragam.
Pada Juli 2012 lalu, The Guardian merilis hasil penelitain Democratic Audid yang dilakukan oleh Stuart Wilks-Heeg, yang kemudian laporannya berjudul British democracy in terminal decline, warns report. Dalam laporannya, Wilks menemukan hanya 1 (satu) persen dari total pemilih yang menentukan pilihan partai politik sebelum datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Dan hanya 6 dari 10 pemilih yang memiliki hak pilih mendatangi TPS untuk memilih. selanjutnya kata Wilks, golput didominasi oleh kelompok menengah keatas, bukan oleh kelompok apatisme politik yang muncul dari kelas bawah.
Apa yang disampaikan Wilks menunjukan golput sebagai pilihan politik tidak selalu datang atas alasan rasional politik warga. Rakyat yang tidak sejahtera, miskin dan tertinggal belum tentu akan melakukan pilihan tindakan golput. Justru jika kita perhatikan kelompok inilah yang paling antusias menyambut pemilu dengan berbagai macam seremoninya. Artinya, pilihan untuk golput tiadk berdasarkan argumuntasi ekonomi (baca: perut) oleh warga negera.
Dengan demikian, analisis Januri dengan menempatkan Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai contoh dimana masyarakat yang sulit mendapat akses publik; kesehatan, sanitasi, dan pendidikan cenderung memilih golput tidak dapat dibenarkan. Analisisnya mengada-ngada dan tidak sepadan secara konseptual dengan prilaku golput sebagai tindakan politik. Bandingkan saja, pada pemilukada 2012 lalu DKI Jakarta berada diangka golput sebesar 37,05 persen. Sedangkan NTB pada pemilukada 2013 berada diangka 30, 54 persen. Jelaslah, bukan faktor “perut” yang menentukan golput.
Kedua, hal yang patut diperhatikan dalam analisis Jainuri adalah apakah tindakan golput sebagai pilihan tindakan politik rasional atau sekedear implikasi kebijakan negara yang tidak memadai: korupsi, kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan ekonomi. Jawabannya adalah belum tentu. Misalnya, apakah partisipasi politik yang tinggi pada Orde Baru dapat disamaratakan dengan partisipasi politik pada era reformasi sekarang? Jelas berbeda. Dalam hemat penulis, partisipasi politik dan tindakan golput hampir dapat dipastikan mengikuti rezim yang berkuasa.
Untuk memperjelas, Samuel P. Huntington dan Nelson (1994:11) membuat klasifikasi dua karakter partisipasi politik. (1) partisipasi sukarela, yaitu partisipasi yang demokratis dan otonom. Pada level ini, setiap warga negara berperan secara aktif dalam proses pemilu dan agenda politik secara sukarela, tanpa tekanan, tanpa pemaksaan. (2) partisipasi yang dimobilisasi, yaitu keikutsertaan warga negara dalam pemilu dan politik yang dimanipulasi dan didukung oleh kekuatan otoritatif baik yang dilakukan oleh rezim ataupun oleh kelompok-kelompok tertentu.
Dari kacamata ini, mari kita melihat fenomena golput sebagai tindakan politik warga. Para ahli politik berpendapat, golput dapat mengganggu stabilitas demokrasi karena minimnya partisipasi. Teorinya: demokrasi yang baik adalah apabila diikuti oleh keikutsertaan publik-politik warga secara aktif. Namun perlu diingat, kualitas demokrasi tidak serta merta diukur oleh takaran dan ukuran dalam jumlah yang paling banyak (mayoritas). Jika demokrasi selalu diartikan sebagai “kemenangan mayoritas” maka dalam setiap pemilu pasca reformasi golput adalah pemenangnya. Demokrasi yang selalu mencari bentuk pada jumlah mayoritas inilah yang sebenarnya menjadi ancaman bagi proses demokratisasi. Demokrasi berbicara tentang prosedur dan mekanisme pemerintahan dijalankan. Bukan jumlah. Dan konsep demokrasi liberal yang dianut Indonesia mensyaratkan pada suara mayoritas:suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Persoalannya, rakyat yang mana, dan seperti apa yang memiliki mandatori untuk melegitimasi pemerintahan “dari rakyat,oleh rakyat,untuk rakyat”.
Demokrasi yang model inilah yang ditolak oleh filusuf Plato. Demokrasi Athena seperti yang digambarkan Plato disebut sebagai kemerosotan kota, dan pembusukan moralitas pemimpinnya. Athena yang menjadi jargon demokrasi waktu itu adalah pemerintahan yang dipimpin oleh mayoritas kaum muskin, dimana para pemimpin dapat melakukan tindakan-tindakan imoralitas dan jahat selama didukung oleh mayoritas (Georg sorensen, 1993:3). Demokrasi bukan persolan kuantitas, tetapi kualitas dan akuntabilitas.
Hal mendasar yang ingin saya sampaikan di sini adalah, golput yang terjadi di Indonesia saat ini bukan atas dasar pilihan politik rasional warga sebagai akibat dari berbagai fenomena penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat negara. Tetapi golput adalah sebagai akibat dari tidak berkerjanya prinsip-prinsip demokrasi sedarai awal pada seluruh lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat juga tidak memahami pentingnya partisipasi politik dalam era demokrasi. Oleh karena itu, golput bukanlah tindakan politik yang dilakukan secara sadar berdasarkan pertimbangan-pertimbangan politik oleh warga ngara. Disini, apa yang disampaikan oleh Jainuri tidak menemukan pembenaran secara faktual. Perlu juga untuk melakukan perbandingan-perbandingan tingkat golput negara lain berdasarkan budaya politik masing-masing.
Belum lagi jika kita melihat model partisipasi politik rakyat Indonesia. Sebagaimana yang disebut Huntington dan Nelson (1999:11), model partisipasi politik kita masih harus dimobilisasi oleh berbagai kelompok kepentingan politik. Rakyat tidak secara sukarela datang ke TPS berdasarkan pilihan-pilihan politik yang telah disusun dalam pikiran-ideologi dan prinsip-prinsip demokrasi. Jadi, melihat golput sebagai bentuk perlawanan politik warga, masih harus dikaji kembali.
Dapatkah kita mengatakan bahwa semakin tingginya angka golput merefleksikan semakin rasionalnya pemilih Indonesia? Apakah fenomena ini menunjukan berlakunya hukum reward and funishment dalam politik Indonesia? Memang faktor-faktor sosiologis-psikologi tidak dapat diabaikan sebagai faktor meningkatnya golput. Namun alasan ini tidak cukup relevan untuk menjelaskan perubahan prilaku politik pemilih. Bahkan faktor sosiologis seperti agama, kedaerahan, dan suku tidak cukup mampu menjelaskan perubahan prilaku politik nasional dari hasil pemilu legislatif ataupun pilpres (Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, 2012: 305).
Golput di Indonesia secara signifikan terjadi sejak pemilu pertama pasca reformasi. Pemilu 1999, partisipasi pemilih sekitar 93%, kemudian menurun pada pemilu 2004 menjadi 85%, penurunan drastis terjadi pada pemilu 2009 menjadi 71%. Sedangkan pada pilpres 2004 putaran pertama partisipasinya sebesar 80%, lalu menurun menjadi 77% pada putaran kedua. Angka ini menurun lagi pada pilpres 2009 menjadi 72,5%.
Terakhir, individu-individu dalam politik adalah mahluk rasional. Namun benarkah mereka telah melakukan pilihan politik (golput) secara rasional? Tidak! Rasionalitas politik pemilih tidak berdasarkan ukuran-ukuran kualitatif seberapa besar mereka terlibat dalam proses politik. sebagain besar pemilih golput tidak mengetahui kebijakan-kebijakan pemerintah. Artinya, mereka tidak terlibat secara aktif dalam kehidupan politik. Dan golput adalah reaksi psikologis atas situasi politik yang tidak stabil. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar