|
RUMUSAN ideologis dan politis dari inti budaya Nusantara
tecermin secara sangat baik dalam Pancasila dan UUD 1945. Perdebatan panjang
para founding fathers ketika
merumuskan dua dokumen penting tersebut merefleksikan keharus an diadopsinya
nilai-nilai substansial budaya Nusantara itu, yakni nilai-nilai kekeluargaan,
gotong royong, kesediaan untuk menempatkan kepentingan publik atas individu,
tidak berorientasi pada individualisme, dan lain-lainnya. Adapun keterkaitannya
dengan nilai-nilai universal, seperti hak asasi manusia, persamaan, keadilan,
dan sebagainya, diambil dari sumber lain.
Maka,
sistem demokrasi yang paling cocok bagi Indonesia; demokrasi yang berakar pada
budaya Nusantara. Bung Hatta, salah seorang founding fathers, negarawan
paripurna dan demokrat tulen yang notabene berpendidikan Barat modern,
berpandangan bahwa demokrasi kita ‘haruslah suatu perkembangan dari demokrasi
asli. Demokrasi Barat apriori ditolak’ (lihat
Mohamad Hatta, Demokrasi Kita, Penerbit Negara Kesatuan Republik Indonesia, 2004,
hlm 28-29).
Memang
tidak mudah menerjemahkan hal-hal itu dalam kebijakan-kebijakan yang lebih
konkret dan praktis. Dalam pandangan yang positif sebenarnya para pemimpin
Indonesia sejak kemerdekaan telah berusaha menerjemahkan dan menerapkan
demokrasi yang semacam itu; demokrasi asli yang berakar pada nilai-nilai budaya
Nusantara. Dikatakan tidak mudah karena terbukti seringnya terjadi
diskoordinasi di dalam sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia. Perdebatan-perdebatan
dalam konstituante (1950-an) menggambarkan hal itu. Pilihan Presiden Soekarno
untuk mengeluarkan Dekrit 1959 sampai tingkat tertentu sebenarnya dimaksudkan
juga untuk mengembalikan sifat ‘kekeluargaan’ dalam politik (dan ekonomi).
Politik
kaki tiga (Nasakom) pada sejatinya dimaksudkan untuk itu. Akan tetapi, beliau
kurang sukses mengelola keanekaragaman paham politik itu-–sesuatu yang memang
tidak mudah, malah mungkin juga mustahil. Niat baik Bung Karno tidak tercapai
mungkin karena gaya kepemimpinan revolusioner (ciri kepemimpinan solidarity maker) dan mercusuar yang
tidak disertai kemampuan administratif dan managerial para aparatur dan
operatornya pada lapisan kedua di bawahnya.
Kemudian
Presiden Soeharto berusaha keras menampung politik yang juga bercorak budaya
Nusantara. Politik korporatisme yang diterapkannya, digambarkan dalam akomodasi
berbagai kelompok masyarakat di MPR RI, termasuk partai politik, jadi bukti
nyata pemikiran dan praksis itu. Dengan sistem politik yang didesain tidak
kompetitif (baca: menghindari kompetisi politik apalagi secara terbuka),
diharapkan agar stabilitas politik bisa ditegakkan sebagai prasyarat
berjalannya pembangunan di segala bidang, utamanya ekonomi, untuk mewujudkan
kesejahteraan.
Memasuki
reformasi tampaknya usaha menerjemahkan budaya Nusantara kurang dilakukan.
Mungkin saja mereka memikirkannya, tetapi kenyataannya tidak tampak dimensi
kegigihan di antara mereka. Mungkin krisis multidimensional yang sangat parah
telah menyita hampir seluruh energi kepemimpinan nasional sehingga ijtihad
untuk memikirkannya agak terabaikan.
Mengapa demokrasi asli?
Mengapa
demokrasi asli menjadi sangat penting da lam pembangunan demokrasi? Atau dengan
kalimat lain, mengapa demokrasi yang kita kembangkan--meskipun mengadopsi
nilai-nilai demokrasi universal--haruslah merupakan perkembangan dari demokrasi
asli sebagai jalan menuju peradaban Nusantara? Menurut Samuel Huntington,
setidaknya ada 27 variabel yang menentukan keberhasilan transisi dan
konsolidasi demokrasi. Antara lain, pendapatan per kapita yang cukup tinggi,
kelas borjuis yang kuat, kelas menengah yang kuat dalam jumlah yang memadai,
tingkat pendidikan, pluralisme sosial, komitmen para pemimpin terhadap
demokrasi, tradisi toleransi dan kompromi, serta tradisi menghormati hukum dan
hak individu.
Oleh
karena demokrasi juga harus dipandang sebagai way of life maka faktor budaya
juga sangat menentukan keberhasilan suatu bangsa melakukan transisi menuju
konsolidasi demokrasi. Bangsa-bangsa yang mempunyai kecenderungan toleran bisa
berbeda pendapat secara beradab (civilized),
antikekerasan, rasional, dan lain-lain, biasanya berhasil membangun demokrasi.
Bung
Hatta telah menegaskan bahwa demokrasi Barat tidak sesuai dengan cita-cita
perjuangan Indonesia. Ia menyatakan bahwa Indonesia memiliki tiga sumber yang
menghidupkan cita-cita demokrasi sosial di dalam kalbu pemimpin-pemimpin
Indonesia waktu itu. Pertama, paham sosialis Barat, yang menarik perhatian
mereka karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya.
Kedua, ajaran Islam, yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam
masyarakat serta persaudaraan di antara manusia sebagai makhluk Tuhan, dan
ketiga, pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme (lihat
Mohamad Hatta, Demokrasi Kita, Penerbit Negara Kesatuan republik Indonesia,
2004, hlm 28-29).
Tidak lumrah
Afan
Gaffar mengajukan proposal yang agak terdengar aneh di telinga, yaitu apa yang
disebut dengan `demokrasi yang tidak lumrah' (uncommon democracy). Dinamakan demokrasi yang tidak lumrah karena
tidak memenuhi syarat sebagaimana demokrasi yang dipahami orang, baik secara
normatif maupun empirik, yang dipraktikkan di beberapa negara seperti AS,
Kanada, Inggris, dan lain-lain. Demokrasi ini dijalankan juga di sejumlah
negara di jazirah Skandinavia, seperti Denmark, Swedia, Israel, dan Jepang.
Meski begitu, negara-negara itu tetap sahdan tidak ada yang menolak-disebut
negara demokrasi.
Dalam
demokrasi seperti ini, menurut Afan yang juga penulis buku Javanese Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic Party
System (1992) yang lumayan bagus itu, ada satu partai yang dominan yang
mampu mengungguli partai-partai lainnya, yang oleh Giovanni Sartori disebutnya
sebagai outdistances all others. Dominan
di sini ditunjukkan dalam empat karakteristik; dominan dalam angka, dalam
posisi tawar-menawar, menguasai pemerintahan dalam beberapa dekade, dan
mendominasi pemerintahan (hlm 355).
Meski
ada kelemahan, yakni tidak terjadinya rotasi kekuasaan dari satu partai ke
partai lain, model ini tidak dapat dikatakan tidak demokratis karena
dimensi-dimensi lain bagi demokrasi tetap dapat diwujudkan, misalnya pemilihan
umum yang dilakukan secara berkala dan kompetitif, rekrutmen politik yang
terbuka, kebijakan publik yang melibatkan masyarakat, akuntabilitas para
pemegang jabatan, tegaknya hak-hak asasi manusia, serta kehadiran pers yang
bebas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar