Jumat, 04 Oktober 2013

Bentuk Demokrasi Indonesia

Bentuk Demokrasi Indonesia
Hajriyanto Y Thohari  ;  Wakil Ketua MPR RI
MEDIA INDONESIA, 03 Oktober 2013


RUMUSAN ideologis dan politis dari inti budaya Nusantara tecermin secara sangat baik dalam Pancasila dan UUD 1945. Perdebatan panjang para founding fathers ketika merumuskan dua dokumen penting tersebut merefleksikan keharus an diadopsinya nilai-nilai substansial budaya Nusantara itu, yakni nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong, kesediaan untuk menempatkan kepentingan publik atas individu, tidak berorientasi pada individualisme, dan lain-lainnya. Adapun keterkaitannya dengan nilai-nilai universal, seperti hak asasi manusia, persamaan, keadilan, dan sebagainya, diambil dari sumber lain.

Maka, sistem demokrasi yang paling cocok bagi Indonesia; demokrasi yang berakar pada budaya Nusantara. Bung Hatta, salah seorang founding fathers, negarawan paripurna dan demokrat tulen yang notabene berpendidikan Barat modern, berpandangan bahwa demokrasi kita ‘haruslah suatu perkembangan dari demokrasi asli. Demokrasi Barat apriori ditolak’ (lihat Mohamad Hatta, Demokrasi Kita, Penerbit Negara Kesatuan Republik Indonesia, 2004, hlm 28-29).

Memang tidak mudah menerjemahkan hal-hal itu dalam kebijakan-kebijakan yang lebih konkret dan praktis. Dalam pandangan yang positif sebenarnya para pemimpin Indonesia sejak kemerdekaan telah berusaha menerjemahkan dan menerapkan demokrasi yang semacam itu; demokrasi asli yang berakar pada nilai-nilai budaya Nusantara. Dikatakan tidak mudah karena terbukti seringnya terjadi diskoordinasi di dalam sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia. Perdebatan-perdebatan dalam konstituante (1950-an) menggambarkan hal itu. Pilihan Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit 1959 sampai tingkat tertentu sebenarnya dimaksudkan juga untuk mengembalikan sifat ‘kekeluargaan’ dalam politik (dan ekonomi).

Politik kaki tiga (Nasakom) pada sejatinya dimaksudkan untuk itu. Akan tetapi, beliau kurang sukses mengelola keanekaragaman paham politik itu-–sesuatu yang memang tidak mudah, malah mungkin juga mustahil. Niat baik Bung Karno tidak tercapai mungkin karena gaya kepemimpinan revolusioner (ciri kepemimpinan solidarity maker) dan mercusuar yang tidak disertai kemampuan administratif dan managerial para aparatur dan operatornya pada lapisan kedua di bawahnya.

Kemudian Presiden Soeharto berusaha keras menampung politik yang juga bercorak budaya Nusantara. Politik korporatisme yang diterapkannya, digambarkan dalam akomodasi berbagai kelompok masyarakat di MPR RI, termasuk partai politik, jadi bukti nyata pemikiran dan praksis itu. Dengan sistem politik yang didesain tidak kompetitif (baca: menghindari kompetisi politik apalagi secara terbuka), diharapkan agar stabilitas politik bisa ditegakkan sebagai prasyarat berjalannya pembangunan di segala bidang, utamanya ekonomi, untuk mewujudkan kesejahteraan.

Memasuki reformasi tampaknya usaha menerjemahkan budaya Nusantara kurang dilakukan. Mungkin saja mereka memikirkannya, tetapi kenyataannya tidak tampak dimensi kegigihan di antara mereka. Mungkin krisis multidimensional yang sangat parah telah menyita hampir seluruh energi kepemimpinan nasional sehingga ijtihad untuk memikirkannya agak terabaikan.

Mengapa demokrasi asli?

Mengapa demokrasi asli menjadi sangat penting da lam pembangunan demokrasi? Atau dengan kalimat lain, mengapa demokrasi yang kita kembangkan--meskipun mengadopsi nilai-nilai demokrasi universal--haruslah merupakan perkembangan dari demokrasi asli sebagai jalan menuju peradaban Nusantara? Menurut Samuel Huntington, setidaknya ada 27 variabel yang menentukan keberhasilan transisi dan konsolidasi demokrasi. Antara lain, pendapatan per kapita yang cukup tinggi, kelas borjuis yang kuat, kelas menengah yang kuat dalam jumlah yang memadai, tingkat pendidikan, pluralisme sosial, komitmen para pemimpin terhadap demokrasi, tradisi toleransi dan kompromi, serta tradisi menghormati hukum dan hak individu.

Oleh karena demokrasi juga harus dipandang sebagai way of life maka faktor budaya juga sangat menentukan keberhasilan suatu bangsa melakukan transisi menuju konsolidasi demokrasi. Bangsa-bangsa yang mempunyai kecenderungan toleran bisa berbeda pendapat secara beradab (civilized), antikekerasan, rasional, dan lain-lain, biasanya berhasil membangun demokrasi.

Bung Hatta telah menegaskan bahwa demokrasi Barat tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan Indonesia. Ia menyatakan bahwa Indonesia memiliki tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial di dalam kalbu pemimpin-pemimpin Indonesia waktu itu. Pertama, paham sosialis Barat, yang menarik perhatian mereka karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya. Kedua, ajaran Islam, yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan di antara manusia sebagai makhluk Tuhan, dan ketiga, pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme (lihat Mohamad Hatta, Demokrasi Kita, Penerbit Negara Kesatuan republik Indonesia, 2004, hlm 28-29).

Tidak lumrah

Afan Gaffar mengajukan proposal yang agak terdengar aneh di telinga, yaitu apa yang disebut dengan `demokrasi yang tidak lumrah' (uncommon democracy). Dinamakan demokrasi yang tidak lumrah karena tidak memenuhi syarat sebagaimana demokrasi yang dipahami orang, baik secara normatif maupun empirik, yang dipraktikkan di beberapa negara seperti AS, Kanada, Inggris, dan lain-lain. Demokrasi ini dijalankan juga di sejumlah negara di jazirah Skandinavia, seperti Denmark, Swedia, Israel, dan Jepang. Meski begitu, negara-negara itu tetap sah­dan tidak ada yang menolak-disebut negara demokrasi.

Dalam demokrasi seperti ini, menurut Afan yang juga penulis buku Javanese Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic Party System (1992) yang lumayan bagus itu, ada satu partai yang dominan yang mampu mengungguli partai-partai lainnya, yang oleh Giovanni Sartori disebutnya sebagai outdistances all others. Dominan di sini ditunjukkan dalam empat karakteristik; dominan dalam angka, dalam posisi tawar-menawar, menguasai pemerintahan dalam beberapa dekade, dan mendominasi pemerintahan (hlm 355).


Meski ada kelemahan, yakni tidak terjadinya rotasi kekuasaan dari satu partai ke partai lain, model ini tidak dapat dikatakan tidak demokratis karena dimensi-dimensi lain bagi demokrasi tetap dapat diwujudkan, misalnya pemilihan umum yang dilakukan secara berkala dan kompetitif, rekrutmen politik yang terbuka, kebijakan publik yang melibatkan masyarakat, akuntabilitas para pemegang jabatan, tegaknya hak-hak asasi manusia, serta kehadiran pers yang bebas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar