Kamis, 10 Oktober 2013

Kesehatan Jiwa dan Puskesmas

Kesehatan Jiwa dan Puskesmas
Budi Anna Keliat  Guru Besar Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia; Team Leader Keperawatan Kesehatan Jiwa Masyarakat (Community Mental Health Nursing)
KOMPAS, 10 Oktober 2013


MASALAH kesehatan jiwa di Indonesia sangat besar. Diperkirakan ada 1 juta kasus gangguan jiwa berat. Dari jumlah itu, sekitar 18.000 kasus ”ditangani” dengan dipasung.
Terkait dengan hal itu, pemerintah—khususnya Kementerian Kesehatan—telah mencanangkan Program Indonesia Bebas Pasung dengan berusaha menemukan pasien yang dipasung di masyarakat. Namun, penemuan pasien pasung hanya fokus pada pelayanan kuratif dan rehabilitatif, belum menyelesaikan masalah kesehatan jiwa.
Pelayanan pasif
Pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia masih menyelesaikan masalah di hilir dan bersifat pasif. Fokus pelayanan pun masih di institusi atau rumah sakit jiwa.
Kehadiran rumah sakit jiwa di Indonesia telah ada sejak tahun 1882, dan saat ini hampir semua provinsi mempunyai satu atau lebih rumah sakit jiwa. Namun, pelayanan di rumah sakit terkesan pasif. Artinya, menunggu masyarakat membawa orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) ke rumah sakit jiwa.
Pelayanan yang pasif ini merugikan masyarakat karena (1) masyarakat tidak tahu kapan memutuskan membawa pasien ke rumah sakit jiwa, dan (2) akses ke rumah sakit jiwa jauh karena umumnya berada di ibu kota provinsi sehingga tidak jarang pasien dibawa ke pelayanan kesehatan jiwa sudah dalam kondisi kronis. Hal ini didukung hasil penelitian di Jakarta bahwa 45 persen pasien yang mengalami gangguan jiwa pertama-tama mencari pelayanan ke alternatif, dan setelah kronis (8,5 tahun) baru mencari pelayanan kesehatan jiwa (Keliat, dkk, 2011).
Apakah alasan pemerintah tidak menjadikan pelayanan kesehatan jiwa menjadi pelayanan pokok di puskesmas? Kejadian tsunami di Aceh merupakan momentum kebangkitan kembali pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas, khususnya pelayanan keperawatan kesehatan jiwa masyarakat (community mental health nursing). Apalagi semua puskesmas kecamatan di 23 kabupaten/kota sebetulnya telah dilatih lebih kurang 600 perawat untuk merawat ODMK di masyarakat. Sebenarnya dokter juga telah dilatih, tetapi karena masa kerja mereka yang singkat, pertukaran terjadi dengan cepat.
Hasilnya luar biasa dalam temuan kasus gangguan jiwa. Hal ini didukung dengan pembentukan desa siaga sehat jiwa dengan melatih kader kesehatan jiwa yang sangat membantu dalam deteksi ODMK. Selama tujuh tahun pelayanan kesehatan jiwa di Aceh, hasil pelayanannya sama dengan hasil pelayanan di rumah sakit jiwa (Idaiani, 2013), bahkan biaya pelayanan di rumah sakit jiwa jauh lebih besar dibandingkan pelayanan di puskesmas.
ODMK yang dirawat di rumah sakit jiwa juga banyak yang telah mampu dipulangkan ke rumah. Namun, karena ketidaksiapan puskesmas dalam melanjutkan perawatan di masyarakat, mereka masih tetap berada di rumah sakit jiwa.
Hal ini merugikan ODMK karena makin lama di rumah sakit jiwa akan memundurkan fungsi sosial mereka. Hasil penelitian menunjukkan, 46 persen pasien yang dirawat di lima rumah sakit jiwa di Pulau Jawa mempunyai kemampuan tinggal di masyarakat (Keliat, dkk 2011), tetapi mereka tidak pulang karena tidak tersedianya pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat.
Sejak tahun 2001, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan pelayanan kesehatan jiwa seharusnya dilakukan di masyarakat. Namun, ironisnya, program pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas belum menjadi program pelayanan pokok di Indonesia.
Beberapa dinas kesehatan atau pemerintah provinsi (hampir 18 provinsi) telah berinisiatif menjadikannya pelayanan kesehatan jiwa sebagai program pengembangan di beberapa puskesmas. Namun, keberlanjutan program ini perlu kebijakan pemerintah pusat untuk menetapkannya sebagai program pokok.
Berbasis masyarakat
Dengan demikian, pelayanan primer kesehatan jiwa di puskesmas dapat dilaksanakan secara komprehensif dari hulu ke hilir. Pelayanan itu meliputi: (1) program promosi kesehatan jiwa bagi kelompok masyarakat yang sehat jiwa sejak usia dini sampai lansia; (2) program pencegahan masalah kesehatan jiwa bagi kelompok masyarakat yang memiliki faktor risiko, seperti penyakit kronis, serta (3) program pemulihan dan rehabilitasi bagi kelompok masyarakat yang mengalami masalah kesehatan jiwa agar mereka dapat mandiri dan produktif kembali.
Menyelesaikan masalah kesehatan jiwa bukan melalui pembangunan rumah sakit jiwa yang baru, melainkan mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat. Dengan cara ini, seluruh komponen bangsa ikut berpartisipasi dalam mewujudkan Indonesia sehat jiwa.
Pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat sudah tidak dapat ditunda lagi. Program kesehatan jiwa wajib menjadi program pokok puskesmas. Hal ini penting agar pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas yang telah berkembang di sejumlah provinsi sebagai program pengembangan mendapat dukungan pasti untuk keberlanjutannya. Hal ini membantu masyarakat mengakses dengan cepat pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat.
Di dunia, khususnya negara berkembang, pelayanan kesehatan jiwa telah mencakup seluruh masyarakat dari kelompok usia ataupun kebutuhan pelayanan. Pada Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tahun ini, yang jatuh pada 10 Oktober 2013, telah ditetapkan tema terkait kesehatan jiwa lansia: ”Mental Health and Older Adults”. Pelayanan kesehatan jiwa pada lansia di Indonesia masih memerlukan penanganan yang komprehensif dan holistik
Mari kita tunggu respons pemerintah dalam mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa yang dapat diakses dengan cepat oleh seluruh warga Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar