|
MASALAH
kesehatan jiwa di Indonesia sangat besar. Diperkirakan ada 1 juta kasus
gangguan jiwa berat. Dari jumlah itu, sekitar 18.000 kasus ”ditangani” dengan
dipasung.
Terkait dengan
hal itu, pemerintah—khususnya Kementerian Kesehatan—telah mencanangkan Program
Indonesia Bebas Pasung dengan berusaha menemukan pasien yang dipasung di
masyarakat. Namun, penemuan pasien pasung hanya fokus pada pelayanan kuratif
dan rehabilitatif, belum menyelesaikan masalah kesehatan jiwa.
Pelayanan pasif
Pelayanan
kesehatan jiwa di Indonesia masih menyelesaikan masalah di hilir dan bersifat
pasif. Fokus pelayanan pun masih di institusi atau rumah sakit jiwa.
Kehadiran rumah
sakit jiwa di Indonesia telah ada sejak tahun 1882, dan saat ini hampir semua
provinsi mempunyai satu atau lebih rumah sakit jiwa. Namun, pelayanan di rumah
sakit terkesan pasif. Artinya, menunggu masyarakat membawa orang dengan masalah
kejiwaan (ODMK) ke rumah sakit jiwa.
Pelayanan yang
pasif ini merugikan masyarakat karena (1) masyarakat tidak tahu kapan
memutuskan membawa pasien ke rumah sakit jiwa, dan (2) akses ke rumah sakit
jiwa jauh karena umumnya berada di ibu kota provinsi sehingga tidak jarang
pasien dibawa ke pelayanan kesehatan jiwa sudah dalam kondisi kronis. Hal ini
didukung hasil penelitian di Jakarta bahwa 45 persen pasien yang mengalami
gangguan jiwa pertama-tama mencari pelayanan ke alternatif, dan setelah kronis
(8,5 tahun) baru mencari pelayanan kesehatan jiwa (Keliat, dkk, 2011).
Apakah alasan
pemerintah tidak menjadikan pelayanan kesehatan jiwa menjadi pelayanan pokok di
puskesmas? Kejadian tsunami di Aceh merupakan momentum kebangkitan kembali
pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas, khususnya pelayanan keperawatan
kesehatan jiwa masyarakat (community mental health nursing). Apalagi semua
puskesmas kecamatan di 23 kabupaten/kota sebetulnya telah dilatih lebih kurang
600 perawat untuk merawat ODMK di masyarakat. Sebenarnya dokter juga telah
dilatih, tetapi karena masa kerja mereka yang singkat, pertukaran terjadi
dengan cepat.
Hasilnya luar
biasa dalam temuan kasus gangguan jiwa. Hal ini didukung dengan pembentukan
desa siaga sehat jiwa dengan melatih kader kesehatan jiwa yang sangat membantu
dalam deteksi ODMK. Selama tujuh tahun pelayanan kesehatan jiwa di Aceh, hasil
pelayanannya sama dengan hasil pelayanan di rumah sakit jiwa (Idaiani, 2013),
bahkan biaya pelayanan di rumah sakit jiwa jauh lebih besar dibandingkan
pelayanan di puskesmas.
ODMK yang dirawat
di rumah sakit jiwa juga banyak yang telah mampu dipulangkan ke rumah. Namun,
karena ketidaksiapan puskesmas dalam melanjutkan perawatan di masyarakat,
mereka masih tetap berada di rumah sakit jiwa.
Hal ini
merugikan ODMK karena makin lama di rumah sakit jiwa akan memundurkan fungsi
sosial mereka. Hasil penelitian menunjukkan, 46 persen pasien yang dirawat di
lima rumah sakit jiwa di Pulau Jawa mempunyai kemampuan tinggal di masyarakat
(Keliat, dkk 2011), tetapi mereka tidak pulang karena tidak tersedianya
pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat.
Sejak tahun
2001, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan pelayanan
kesehatan jiwa seharusnya dilakukan di masyarakat. Namun, ironisnya, program
pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas belum menjadi program pelayanan pokok di
Indonesia.
Beberapa dinas
kesehatan atau pemerintah provinsi (hampir 18 provinsi) telah berinisiatif
menjadikannya pelayanan kesehatan jiwa sebagai program pengembangan di beberapa
puskesmas. Namun, keberlanjutan program ini perlu kebijakan pemerintah pusat
untuk menetapkannya sebagai program pokok.
Berbasis masyarakat
Dengan
demikian, pelayanan primer kesehatan jiwa di puskesmas dapat dilaksanakan
secara komprehensif dari hulu ke hilir. Pelayanan itu meliputi: (1) program
promosi kesehatan jiwa bagi kelompok masyarakat yang sehat jiwa sejak usia dini
sampai lansia; (2) program pencegahan masalah kesehatan jiwa bagi kelompok
masyarakat yang memiliki faktor risiko, seperti penyakit kronis, serta (3)
program pemulihan dan rehabilitasi bagi kelompok masyarakat yang mengalami
masalah kesehatan jiwa agar mereka dapat mandiri dan produktif kembali.
Menyelesaikan
masalah kesehatan jiwa bukan melalui pembangunan rumah sakit jiwa yang baru,
melainkan mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat. Dengan
cara ini, seluruh komponen bangsa ikut berpartisipasi dalam mewujudkan
Indonesia sehat jiwa.
Pelayanan
kesehatan jiwa di masyarakat sudah tidak dapat ditunda lagi. Program kesehatan
jiwa wajib menjadi program pokok puskesmas. Hal ini penting agar pelayanan
kesehatan jiwa di puskesmas yang telah berkembang di sejumlah provinsi sebagai
program pengembangan mendapat dukungan pasti untuk keberlanjutannya. Hal ini
membantu masyarakat mengakses dengan cepat pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat.
Di dunia,
khususnya negara berkembang, pelayanan kesehatan jiwa telah mencakup seluruh
masyarakat dari kelompok usia ataupun kebutuhan pelayanan. Pada Hari Kesehatan
Jiwa Sedunia tahun ini, yang jatuh pada 10 Oktober 2013, telah ditetapkan tema
terkait kesehatan jiwa lansia: ”Mental Health and Older Adults”. Pelayanan
kesehatan jiwa pada lansia di Indonesia masih memerlukan penanganan yang
komprehensif dan holistik
Mari kita
tunggu respons pemerintah dalam mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa yang
dapat diakses dengan cepat oleh seluruh warga Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar