|
Sungguh suatu kejutan yang membuat marah dan
kecewa masyarakat. Betapa tidak, orang yang paling mewakili Tuhan di Indonesia
untuk urusan keadilan ditangkap basah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sedang
menerima uang yang diduga uang sogokan. Orang itu adalah Akil Mochtar, Ketua
Mahkamah Konstitusi, suatu lembaga peradilan yang putusannya tidak terbantahkan
oleh siapa pun.
Masih segar
dalam ingatan ketika Agustus lalu, KPK menangkap basah Kepala Satuan Kerja
Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi
Rubiandini atas tuduhan serupa. Hanya selang dua bulan, dua orang yang selama
ini dihormati publik ternyata melakukan perbuatan tercela.
Sungguh suatu
kenyataan yang mengejutkan karena baik Akil Mochtar maupun Rudi Rubiandini
adalah ’cendekiawan’ yang menamatkan pendidikan formal tertinggi. Bahkan,
Rubiandini adalah seorang mahaguru dari sebuah sekolah tinggi yang tersohor di
negeri ini. Oleh karena itu, keduanya masing-masing dapat dijuluki ”Yang Amat
Terpelajar” dan ”Yang Amat Sangat Terpelajar”.
Chanakya
Saya mengurung
kata cendekiawan di atas oleh dua tanda kutip tunggal karena ketika
menuliskannya saya teringat pada kisah Chanakya. Chanakya adalah seorang
perdana menteri pada pemerintahan Chandragupta yang memimpin Kerajaan Maurya.
Maurya adalah suatu Kerajaan Hindu India pada abad ke-3 sebelum Masehi.
Menurut
berbagai sumber, semasa kepemimpinannya, Chanakya memimpin dengan cerdas dan
bijaksana. Atas dasar itulah chanakya (Sansekerta) menjadi asal kata bagi candakya (Melayu).
Seiring dengan
bergulirnya waktu, kata tersebut diucapkan menjadi cendekia (Indonesia). Kamus
Besar Bahasa Indonesia edisi ke-3 mengartikan cendekia menjadi cerdas, pandai,
tajam pikiran, atau lekas mengerti. Lalu, orang yang memiliki ciri cendekia
disebutlah cendekiawan.
Dalam bukunya, Arthasastra,
Chanakya menyatakan ”Pemimpin seharusnya memikirkan hal yang baik, bukan yang
menyenangkan dirinya, tetapi yang menyenangkan pengikutnya.”
Pemimpin
adalah pelayan yang diangkat untuk bersama-sama dengan rakyatnya menikmati
sumber daya wilayah kekuasaannya. Tentulah pemimpin yang seperti ini tidak gila
hormat atau haus harta.
”Honores mutant mores”
Berkaitan
dengan gila hormat itu, saya teringat pula kepada salah satu pepatah dalam bahasa
Latin yang berbunyi Honores mutant
mores. Secara harfiah, pepatah ini bermakna ”Kehormatan mengubah perilaku atau moral”. Sementara itu, arti
kiasannya adalah ”Saat manusia berkuasa berubahlah perilakunya.”
Sayangnya,
dalam konteks ini perubahan perilaku cenderung ke arah perilaku korup. Kalau
dia sedang berkuasa, kekuasaannya diabdikan ke tabiat korupsi (power corrupts).
Kehormatan −honor (Inggris); dari honoris (Latin)−
adalah suatu konsep abstrak yang memerlukan persepsi mutu akan kelayakan/keberhargaan
yang memengaruhi, baik status sosial maupun nilai-diri seseorang.
Kehormatan
memiliki sejumlah rasa, antara lain, jiwa yang luhur dan kemurahan hati.
Kehormatan berasal dari perilaku saleh dan integritas diri dari orang yang
dianugerahi kehormatan itu.
Kebanggaan
sebagai perempuan yang suci, misalnya, adalah sensasi hormat yang dirasakan
seorang perempuan ketika dia mampu mempertahankan kesuciannya hingga menikah.
Seharusnya
kehormatan adalah buah dari pengakuan orang lain atas perbuatan dan pencapaian
yang baik yang kita lakukan. Akan tetapi, apa lacur, kehormatan sudah dimaknai
atas atribut dangkal atas dasar persepsi sendiri bukan atas patokan universal.
Jabatan,
pangkat, pendidikan, dan kekayaan yang melimpah semata dijadikan alasan untuk
mendapat kehormatan, tanpa memedulikan, apakah status tersebut diperoleh dengan
cara yang tidak terpuji atau status itu menghasilkan pengakuan hormat.
Akibatnya,
segala upaya dilakukan untuk meraih status hormat palsu itu. Parahnya, khalayak
pun mengamininya karena anggapan jabatan, pangkat, tingkat pendidikan, dan
kekayaan sebagai satu-satunya sumber kehormatan sudah merasuki sanubarinya.
Padahal, itu hanya sebagian kecil dari sumber kehormatan. Masih ada kejujuran,
kerendahhatian, kesederhanaan, kesetiaan, kepedulian, keramahan,
ketidaksombongan, dan ke-chanakya-an yang harus diikutkan.
Kehormatan tak
harus dicari atau dikejar. Makin kita jauhkan kehormatan, makin deras dia
menghampiri kita! Mendapat kehormatan bukan dengan cara menganggap diri kita
terhormat, tetapi menempatkan orang lain sebagai orang terhormat.
Caranya,
antara lain, adalah menghargainya, mendengar keluhannya, berlaku adil dan jujur
kepadanya, menghargai haknya, dan memanusiakannya.
Kehormatan
bukan karena gelar yang disandang dan jabatan serta kekayaan yang dimiliki,
tetapi karena pemakaian gelar, jabatan, dan kekayaan itu untuk memuliakan orang
lain.
Yang disebut
terakhir inilah kehormatan yang membahagiakan. Bukankah George Bernard Shaw
pernah berkata, ”Kebahagiaan hidup yang
sesungguhnya adalah ketika kita mengambil bagian dalam tujuan mulia”.
Banyak orang,
seharusnya sudah amat terhormat karena jabatan, pangkat, tingkat pendidikan,
dan kekayaannya.
Akan tetapi,
mereka menyalahgunakannya untuk meraih kehormatan sesat. Hal itu justru membuat
mereka yang sebenarnya sudah terhormat justru tak dihormati karena perubahan
moral dan perilakunya (honores mutant
mores). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar