Kamis, 10 Oktober 2013

“Honores Mutant Mores”

“Honores Mutant Mores”
Albiner Siagian  Guru Besar Tetap USU Medan
KOMPAS, 09 Oktober 2013


Sungguh suatu kejutan yang membuat marah dan kecewa masyarakat. Betapa tidak, orang yang paling mewakili Tuhan di Indonesia untuk urusan keadilan ditangkap basah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sedang menerima uang yang diduga uang sogokan. Orang itu adalah Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi, suatu lembaga peradilan yang putusannya tidak terbantahkan oleh siapa pun.
Masih segar dalam ingatan ketika Agustus lalu, KPK menangkap basah Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini atas tuduhan serupa. Hanya selang dua bulan, dua orang yang selama ini dihormati publik ternyata melakukan perbuatan tercela.
Sungguh suatu kenyataan yang mengejutkan karena baik Akil Mochtar maupun Rudi Rubiandini adalah ’cendekiawan’ yang menamatkan pendidikan formal tertinggi. Bahkan, Rubiandini adalah seorang mahaguru dari sebuah sekolah tinggi yang tersohor di negeri ini. Oleh karena itu, keduanya masing-masing dapat dijuluki ”Yang Amat Terpelajar” dan ”Yang Amat Sangat Terpelajar”.
Chanakya
Saya mengurung kata cendekiawan di atas oleh dua tanda kutip tunggal karena ketika menuliskannya saya teringat pada kisah Chanakya. Chanakya adalah seorang perdana menteri pada pemerintahan Chandragupta yang memimpin Kerajaan Maurya. Maurya adalah suatu Kerajaan Hindu India pada abad ke-3 sebelum Masehi.
Menurut berbagai sumber, semasa kepemimpinannya, Chanakya memimpin dengan cerdas dan bijaksana. Atas dasar itulah chanakya (Sansekerta) menjadi asal kata bagi candakya (Melayu).
Seiring dengan bergulirnya waktu, kata tersebut diucapkan menjadi cendekia (Indonesia). Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-3 mengartikan cendekia menjadi cerdas, pandai, tajam pikiran, atau lekas mengerti. Lalu, orang yang memiliki ciri cendekia disebutlah cendekiawan.
Dalam bukunya, Arthasastra, Chanakya menyatakan ”Pemimpin seharusnya memikirkan hal yang baik, bukan yang menyenangkan dirinya, tetapi yang menyenangkan pengikutnya.”
Pemimpin adalah pelayan yang diangkat untuk bersama-sama dengan rakyatnya menikmati sumber daya wilayah kekuasaannya. Tentulah pemimpin yang seperti ini tidak gila hormat atau haus harta.
”Honores mutant mores”
Berkaitan dengan gila hormat itu, saya teringat pula kepada salah satu pepatah dalam bahasa Latin yang berbunyi Honores mutant mores. Secara harfiah, pepatah ini bermakna ”Kehormatan mengubah perilaku atau moral”. Sementara itu, arti kiasannya adalah ”Saat manusia berkuasa berubahlah perilakunya.”
Sayangnya, dalam konteks ini perubahan perilaku cenderung ke arah perilaku korup. Kalau dia sedang berkuasa, kekuasaannya diabdikan ke tabiat korupsi (power corrupts).
Kehormatan −honor (Inggris); dari honoris (Latin)− adalah suatu konsep abstrak yang memerlukan persepsi mutu akan kelayakan/keberhargaan yang memengaruhi, baik status sosial maupun nilai-diri seseorang.
Kehormatan memiliki sejumlah rasa, antara lain, jiwa yang luhur dan kemurahan hati. Kehormatan berasal dari perilaku saleh dan integritas diri dari orang yang dianugerahi kehormatan itu.
Kebanggaan sebagai perempuan yang suci, misalnya, adalah sensasi hormat yang dirasakan seorang perempuan ketika dia mampu mempertahankan kesuciannya hingga menikah.
Seharusnya kehormatan adalah buah dari pengakuan orang lain atas perbuatan dan pencapaian yang baik yang kita lakukan. Akan tetapi, apa lacur, kehormatan sudah dimaknai atas atribut dangkal atas dasar persepsi sendiri bukan atas patokan universal.
Jabatan, pangkat, pendidikan, dan kekayaan yang melimpah semata dijadikan alasan untuk mendapat kehormatan, tanpa memedulikan, apakah status tersebut diperoleh dengan cara yang tidak terpuji atau status itu menghasilkan pengakuan hormat.
Akibatnya, segala upaya dilakukan untuk meraih status hormat palsu itu. Parahnya, khalayak pun mengamininya karena anggapan jabatan, pangkat, tingkat pendidikan, dan kekayaan sebagai satu-satunya sumber kehormatan sudah merasuki sanubarinya. Padahal, itu hanya sebagian kecil dari sumber kehormatan. Masih ada kejujuran, kerendahhatian, kesederhanaan, kesetiaan, kepedulian, keramahan, ketidaksombongan, dan ke-chanakya-an yang harus diikutkan.
Kehormatan tak harus dicari atau dikejar. Makin kita jauhkan kehormatan, makin deras dia menghampiri kita! Mendapat kehormatan bukan dengan cara menganggap diri kita terhormat, tetapi menempatkan orang lain sebagai orang terhormat.
Caranya, antara lain, adalah menghargainya, mendengar keluhannya, berlaku adil dan jujur kepadanya, menghargai haknya, dan memanusiakannya.
Kehormatan bukan karena gelar yang disandang dan jabatan serta kekayaan yang dimiliki, tetapi karena pemakaian gelar, jabatan, dan kekayaan itu untuk memuliakan orang lain.
Yang disebut terakhir inilah kehormatan yang membahagiakan. Bukankah George Bernard Shaw pernah berkata, ”Kebahagiaan hidup yang sesungguhnya adalah ketika kita mengambil bagian dalam tujuan mulia”.
Banyak orang, seharusnya sudah amat terhormat karena jabatan, pangkat, tingkat pendidikan, dan kekayaannya.
Akan tetapi, mereka menyalahgunakannya untuk meraih kehormatan sesat. Hal itu justru membuat mereka yang sebenarnya sudah terhormat justru tak dihormati karena perubahan moral dan perilakunya (honores mutant mores). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar