|
BEBERAPA hari yang lalu, ramai
diberitakan Ketua Mahkamah Konstitusi ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ketua MK Akil
Mochtar diduga menerima suap Rp 3 miliar untuk penyelesaian kasus pilkada. Jika
hal itu benar dan terbukti di pengadilan, angka Rp 3 miliar untuk sekaliber
Ketua MK berarti tidak mahal. Murah. Ya, Rp 3 miliar jumlah yang sangat kecil
bagi pembeli keadilan yang akan meraup keuntungan puluhan, bahkan ratusan
miliar rupiah jika mampu menjadi kepala daerah.
Kasus ini
hanyalah contoh sangat remeh dan tidak bermartabatnya ”pendekar hukum” di negeri
ini. Siapa berani menjamin Akil satu-satunya penegak hukum paling kotor?
Di republik
ini, persoalan korupsi lebih dipahami secara teknis, bukan etis. Karena itu,
jika ada penyelenggara negara yang korupsi dan tertangkap, ia bisa disebut
sedang ”apes”.
Betapa parah
peradaban bangsa ini jika pemberantasan korupsi lebih berurusan dengan soal
teknis dan bukan etis. Problem teknis dikaitkan dengan malang- mujurnya ”nasib”
koruptor.
Korupsi pun
bisa tereduksi jadi problem kejahatan mistis. Apes dan mujur menjadi idiom
semiotiknya. Hal ini persis dengan pemahaman klasik jagat permalingan dalam
masyarakat tradisional yang relatif tidak mengenal sistem pemberantasan
pencurian. Jika ada maling ditangkap, ucapan yang muncul biasanya berupa
permakluman, ”Ya, maling itu sedang apes saja. Bayangkan jika tidak apes, semua
harta orang bisa digaruk!”
Analoginya,
jika kenyataan buram itu yang terjadi, kita bisa menyimpulkan betapa sangat
tidak amannya negeri ini dari ancaman koruptor. Juga, betapa minimnya kekuatan
lembaga penegak hukum kita. KPK cenderung bermain sendirian. Ketika jumlah
koruptor mengalami ledakan yang spektakuler di lembaga legislatif, eksekutif,
dan yudikatif, KPK pun akan terkucil, menggigil kesepian.
Ditangkapnya
Akil Mochtar menunjukkan virus korupsi telah bersarang di kepala, jantung,
hati, paru-paru, dan sel-sel darah bangsa ini. Virus atau bakteri yang menyebar
dan meruyak di organ-organ penting negara ini sangat berpotensi mempercepat
pembusukan tubuh bangsa.
Hancurnya kebanggaan
Mantan Ketua MK
Mahfud MD bilang, gaji Akil Mohtar sekitar Rp 100 juta. Take home pay itu
dihitung dari gaji pokok hingga berbagai uang tunjangannya. Menjadi sangat
mengherankan jika dengan gaji sebesar itu, Akil Mochtar masih ngompreng.
Fenomena Akil
Mochtar menunjukkan: korupsi bukan hanya soal uang, melainkan juga mental
”selalu kurang dan tidak pernah puas”. Pengidap kemiskinan mental-spiritual
seperti itu bukan hanya tidak memiliki rasa syukur, melainkan juga mengalami
sindroma ”bisa menelan dunia”. Orang macam ini merasa perutnya seluas alam
raya. Ia tidak punya konsep berpikir bahwa dalam dunia ini juga perlu ruang
hidup bagi orang lain atau liyan (the others). Maka ketika mendapat posisi dan
jabatan, orang macam itu tidak berpikir untuk mendistribusikan kesejahteraan
dan keadilan.
Egoisme yang
besar, keras, dan keji telah meluluhlantakkan martabatnya. Kedudukan, jabatan,
atau peran sosial tidak dipahami dan dihayati sebagai pencapaian nilai yang
membanggakan dirinya. Orang dengan ambisi kekuasaan yang nggegirisi macam
ini tidak lagi memiliki obsesi menjadi orang baik (minimal) dan orang besar
(maksimal). Ukuran orang baik bisa sangat sederhana: keberadaannya bermakna
bagi publik. Ukuran orang besar pun bisa dirumuskan secara bersahaja, yakni
peran sosial dan kultural yang dilandasi etik/ etos dan memberi kontribusi
penting bagi peradaban bangsa.
Para penegak
hukum, para politisi, dan para penyelenggara pemerintahan yang sering mengaku
sebagai negarawan itu mestinya punya obsesi jadi orang besar. Jika tidak mampu
mencapainya, minimal menjadi orang baik.
Namun, sangat
sulit menjadi (dan mencari) orang baik di lembaga legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Kebaikan hanya berhenti pada jagat simbol, seperti tampak pada
jargon-jargon yang menggelikan: bersih, peduli dan santun (tapi ya tetap nyolong). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar