Jumat, 11 Oktober 2013

Apa Setelah APEC Bali?

Apa Setelah APEC Bali?
A Prasetyantoko  Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta
KOMPAS, 11 Oktober 2013


PERHELATAN besar pertemuan tingkat tinggi perekonomian anggota Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bali berlangsung sangat meriah dan sukses. Bagaimana substansinya dan apa agenda pasca-pertemuan APEC Bali?

Tak lama lagi, di tempat yang sama, akan berlangsung pertemuan kesembilan tingkat menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yakni 3-6 Desember 2013. Adakah agenda yang disiapkan dalam pertemuan yang tak kalah prestisius ini? Jika forum APEC tak bersifat mengikat, pertemuan WTO lebih strategis karena keputusannya harus dipatuhi negara-negara anggotanya. Karena itu, sangat penting untuk mengerucutkan beberapa isu yang dibahas dalam forum APEC untuk ditindaklanjuti pada pertemuan WTO nanti.

Dalam pertemuan APEC, disepakati tujuh butir agenda, mulai dari mempercepat Bogor Goals, kerja sama pembangunan infrastruktur, mendorong konektivitas, pembangunan inklusif, ketahanan pangan, dan beberapa agenda lain. Daftar agenda tersebut tampak bervariasi dan penuh warna. Namun, jangan sampai rumusan yang indah ini hanya berhenti sebagai deklarasi tanpa aksi.

Situasi global

Pertemuan tingkat tinggi APEC di Bali bertepatan dengan terjadinya perubahan konstelasi perekonomian global. Pasca-krisis tahun 2008, pertumbuhan ekonomi global bertumpu pada perekonomian negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kini situasinya berbalik; pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang mulai menyusut, sementara pemulihan ekonomi negara-negara maju belum solid. Akibatnya, proyeksi pertumbuhan ekonomi global terkoreksi.

Dana Moneter Internasional (IMF) baru saja merilis pemangkasan proyeksi pertumbuhan global tahun 2013, dari 3,2 persen menjadi 2,9 persen. Tahun depan, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan sebesar 3,6 persen.

Dengan catatan, pemulihan ekonomi negara-negara maju terjadi dengan baik. Penurunan proyeksi ekonomi global tahun 2013 disokong oleh terkoreksinya kinerja perekonomian negara- negara berkembang, terutama Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC). Pertumbuhan ekonomi global tak lagi bergantung pada negara-negara berkembang, tetapi negara-negara maju.

Mengapa kinerja perekonomian negara-negara berkembang begitu cepat meredup? Pertanyaan ini lebih penting kita ajukan karena sebenarnya merosotnya kinerja perekonomian kita juga lebih cepat daripada yang dibayangkan serta lebih dalam dari perkiraan.

Tahun ini perekonomian kita diproyeksikan tumbuh sebesar 5,5 persen-5,8 persen. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan tahun 2013 sebesar 5,6 persen dan tahun 2014 sebesar 5,3 persen. Proyeksi pertumbuhan tahun 2013 agak meragukan karena terlalu rendah. Namun, tetap harus disadari terjadinya penurunan pertumbuhan lebih cepat dan lebih dalam dari konsensus selama ini. Terutama sebelum terjadi gejolak mulai Juni 2013.

Negara berkembang menghadapi dua tantangan pokok, yakni menyusutnya pertumbuhan ekonomi domestik serta mengetatnya likuiditas global. Selama ini pertumbuhan ekonomi domestik negara-negara berkembang banyak ditopang oleh likuiditas global yang begitu longgar. Lebih jauh lagi, Dana Moneter Internasional menyoroti ketidakmampuan negara-negara berkembang melakukan transformasi perekonomian melalui pembangunan infrastruktur, sistem ketenagakerjaan yang produktif dan efisien, serta investasi yang meningkatkan kesejahteraan.

Kemalasan negara-negara berkembang melakukan transformasi direspons oleh investor global dengan mereposisi portofolio investasi mereka. Ada kelompok lima negara yang paling banyak ditinggalkan oleh investor, yakni Brasil, Turki, India, Afrika Selatan, dan Indonesia. Morgan Stanley menyebutnya sebagai kelompok Fragile Five atau kelompok lima negara yang paling besar mengalami depresiasi nilai tukar. Agak ironis bagi kelompok negara ini karena belum lama ini mereka dikelompokkan sebagai negara yang paling prospektif di dunia.

Situasi ini mengingatkan kita pada masa sebelum krisis Asia tahun 1998. Waktu itu, negara Asia, termasuk Indonesia, dijuluki sebagai ”Asian Miracle”. Namun, begitu terjadi gejolak, semuanya tampak berlalu begitu cepat. Dan, penilaian banyak lembaga pun bisa segera berubah drastis.

Dalam konteks dinamika perekonomian yang belakangan ini terjadi, ada dua faktor utama; kondisi fundamental di tiap negara berkembang dan situasi di negara maju. Semestinya, pada level global ada koordinasi kebijakan yang semakin baik antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang guna mengomunikasikan beberapa hal pokok yang akan menentukan arah perekonomian global.

Setelah beberapa kali mengalami gejolak, terlihat ada pola yang bisa diantisipasi terkait situasi asimetris antarkedua kelompok negara. Pertemuan APEC menjadi forum yang sangat baik membahas hal tersebut secara lebih konkret karena kelompok negara maju dan berkembang saling bertemu. Baru setelah itu ditindaklanjuti melalui Dana Moneter Internasional dalam bentuk perangkat- perangkat teknis yang lebih operasional, baik bagi kelompok negara maju maupun berkembang.

Faktor fundamental

Terkait tantangan fundamental di negara-negara berkembang, isu konektivitas yang mengemuka dalam forum APEC menjadi sangat strategis. Bagi kita, agenda ini memiliki irisan besar dengan agenda regional dan domestik. Pada level regional, konektivitas juga menjadi salah satu agenda pokok dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MAE) yang akan mulai berlaku tahun 2015. Pada level domestik, isu tersebut beririsan dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Benarkah persoalan infrastruktur di Indonesia terkait dengan absennya strategi dan pendanaan? 

Persoalan kita dengan pembangunan infrastruktur sesungguhnya tak terlalu terkait isu pendanaan. Bank-bank lokal saja setiap tahun memiliki pinjaman yang tak tersalurkan lebih dari Rp 600 triliun. Umumnya, dana ini terdiri dari komitmen pinjaman proyek-proyek infrastruktur yang mundur atau batal dilaksanakan.

Persoalan infrastruktur bukan juga pada kurangnya investor, melainkan pada dukungan kelembagaan internal kita, mulai dari perizinan, koordinasi, hingga eksekusi keputusan. Soal pembangunan infrastruktur, kita benar-benar berputar-putar tanpa arah jelas. Dan itu terkait dengan ketidakmampuan birokrasi mengelola persoalan terkait penyediaan pasokan infrastruktur.

Persoalan infrastruktur terkait erat dengan daya saing produk ekspor kita serta struktur industri yang menyedot bahan baku impor tinggi. Meskipun neraca perdagangan Agustus mencatat surplus 132 juta dollar AS setelah defisit lebar 2,3 miliar dollar AS pada Juli, persoalan daya saing produk ekspor masih sangat relevan.

Berbagai upaya memitigasi besarnya defisit neraca transaksi berjalan yang pada kuartal kedua 2013 mencapai rekor terbesar dalam sejarah (9,8 miliar dollar AS) dilakukan dengan menimbulkan efek samping melemahnya investasi dan pertumbuhan ekonomi. Sebetulnya langkah ini tak perlu dilakukan jika dari dulu kita rajin mengerjakan pekerjaan rumah kita, baik memperbaiki infrastruktur maupun melakukan transformasi industrial.

Kerja sama internasional, baik bilateral maupun multilateral, hanya mempunyai makna jika kita sendiri tau dan mau melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Jika tidak, baik forum APEC maupun pertemuan tingkat menteri WTO hanya sebatas perhelatan megah tanpa makna. Bukan berarti tidak penting melaksanakan event dengan baik, tetapi kita bukanlah sekadar penyedia jasa event organizer belaka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar