|
PERHELATAN besar pertemuan tingkat tinggi perekonomian
anggota Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bali berlangsung sangat
meriah dan sukses. Bagaimana substansinya dan apa agenda pasca-pertemuan APEC
Bali?
Tak lama lagi, di tempat yang sama, akan berlangsung
pertemuan kesembilan tingkat menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yakni
3-6 Desember 2013. Adakah agenda yang disiapkan dalam pertemuan yang tak kalah
prestisius ini? Jika forum APEC tak bersifat mengikat, pertemuan WTO lebih
strategis karena keputusannya harus dipatuhi negara-negara anggotanya. Karena
itu, sangat penting untuk mengerucutkan beberapa isu yang dibahas dalam forum
APEC untuk ditindaklanjuti pada pertemuan WTO nanti.
Dalam pertemuan APEC, disepakati tujuh butir agenda, mulai
dari mempercepat Bogor Goals, kerja
sama pembangunan infrastruktur, mendorong konektivitas, pembangunan inklusif,
ketahanan pangan, dan beberapa agenda lain. Daftar agenda tersebut tampak
bervariasi dan penuh warna. Namun, jangan sampai rumusan yang indah ini hanya
berhenti sebagai deklarasi tanpa aksi.
Situasi
global
Pertemuan tingkat tinggi APEC di Bali bertepatan dengan
terjadinya perubahan konstelasi perekonomian global. Pasca-krisis tahun 2008,
pertumbuhan ekonomi global bertumpu pada perekonomian negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia. Kini situasinya berbalik; pertumbuhan ekonomi negara-negara
berkembang mulai menyusut, sementara pemulihan ekonomi negara-negara maju belum
solid. Akibatnya, proyeksi pertumbuhan ekonomi global terkoreksi.
Dana Moneter Internasional (IMF) baru saja merilis
pemangkasan proyeksi pertumbuhan global tahun 2013, dari 3,2 persen menjadi 2,9
persen. Tahun depan, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan sebesar 3,6
persen.
Dengan catatan, pemulihan ekonomi negara-negara maju terjadi
dengan baik. Penurunan proyeksi ekonomi global tahun 2013 disokong oleh
terkoreksinya kinerja perekonomian negara- negara berkembang, terutama Brasil,
Rusia, India, dan China (BRIC). Pertumbuhan ekonomi global tak lagi bergantung
pada negara-negara berkembang, tetapi negara-negara maju.
Mengapa kinerja perekonomian negara-negara berkembang begitu
cepat meredup? Pertanyaan ini lebih penting kita ajukan karena sebenarnya
merosotnya kinerja perekonomian kita juga lebih cepat daripada yang dibayangkan
serta lebih dalam dari perkiraan.
Tahun ini perekonomian kita diproyeksikan tumbuh sebesar 5,5
persen-5,8 persen. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan tahun 2013 sebesar 5,6
persen dan tahun 2014 sebesar 5,3 persen. Proyeksi pertumbuhan tahun 2013 agak
meragukan karena terlalu rendah. Namun, tetap harus disadari terjadinya
penurunan pertumbuhan lebih cepat dan lebih dalam dari konsensus selama ini.
Terutama sebelum terjadi gejolak mulai Juni 2013.
Negara berkembang menghadapi dua tantangan pokok, yakni
menyusutnya pertumbuhan ekonomi domestik serta mengetatnya likuiditas global.
Selama ini pertumbuhan ekonomi domestik negara-negara berkembang banyak
ditopang oleh likuiditas global yang begitu longgar. Lebih jauh lagi, Dana
Moneter Internasional menyoroti ketidakmampuan negara-negara berkembang
melakukan transformasi perekonomian melalui pembangunan infrastruktur, sistem
ketenagakerjaan yang produktif dan efisien, serta investasi yang meningkatkan
kesejahteraan.
Kemalasan negara-negara berkembang melakukan transformasi
direspons oleh investor global dengan mereposisi portofolio investasi mereka.
Ada kelompok lima negara yang paling banyak ditinggalkan oleh investor, yakni
Brasil, Turki, India, Afrika Selatan, dan Indonesia. Morgan Stanley menyebutnya
sebagai kelompok Fragile Five atau
kelompok lima negara yang paling besar mengalami depresiasi nilai tukar. Agak
ironis bagi kelompok negara ini karena belum lama ini mereka dikelompokkan
sebagai negara yang paling prospektif di dunia.
Situasi ini mengingatkan kita pada masa sebelum krisis Asia
tahun 1998. Waktu itu, negara Asia, termasuk Indonesia, dijuluki sebagai ”Asian
Miracle”. Namun, begitu terjadi gejolak, semuanya tampak berlalu begitu cepat.
Dan, penilaian banyak lembaga pun bisa segera berubah drastis.
Dalam konteks dinamika perekonomian yang belakangan ini
terjadi, ada dua faktor utama; kondisi fundamental di tiap negara berkembang
dan situasi di negara maju. Semestinya, pada level global ada koordinasi
kebijakan yang semakin baik antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang
guna mengomunikasikan beberapa hal pokok yang akan menentukan arah perekonomian
global.
Setelah beberapa kali mengalami gejolak, terlihat ada pola
yang bisa diantisipasi terkait situasi asimetris antarkedua kelompok negara.
Pertemuan APEC menjadi forum yang sangat baik membahas hal tersebut secara
lebih konkret karena kelompok negara maju dan berkembang saling bertemu. Baru
setelah itu ditindaklanjuti melalui Dana Moneter Internasional dalam bentuk
perangkat- perangkat teknis yang lebih operasional, baik bagi kelompok negara
maju maupun berkembang.
Faktor fundamental
Terkait tantangan fundamental di negara-negara berkembang,
isu konektivitas yang mengemuka dalam forum APEC menjadi sangat strategis. Bagi
kita, agenda ini memiliki irisan besar dengan agenda regional dan domestik.
Pada level regional, konektivitas juga menjadi salah satu agenda pokok dalam
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MAE) yang akan mulai berlaku tahun 2015. Pada level
domestik, isu tersebut beririsan dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Benarkah persoalan infrastruktur di Indonesia terkait dengan
absennya strategi dan pendanaan?
Persoalan kita dengan pembangunan
infrastruktur sesungguhnya tak terlalu terkait isu pendanaan. Bank-bank lokal
saja setiap tahun memiliki pinjaman yang tak tersalurkan lebih dari Rp 600
triliun. Umumnya, dana ini terdiri dari komitmen pinjaman proyek-proyek
infrastruktur yang mundur atau batal dilaksanakan.
Persoalan infrastruktur bukan juga pada kurangnya investor,
melainkan pada dukungan kelembagaan internal kita, mulai dari perizinan,
koordinasi, hingga eksekusi keputusan. Soal pembangunan infrastruktur, kita
benar-benar berputar-putar tanpa arah jelas. Dan itu terkait dengan
ketidakmampuan birokrasi mengelola persoalan terkait penyediaan pasokan
infrastruktur.
Persoalan infrastruktur terkait erat dengan daya saing produk
ekspor kita serta struktur industri yang menyedot bahan baku impor tinggi.
Meskipun neraca perdagangan Agustus mencatat surplus 132 juta dollar AS setelah
defisit lebar 2,3 miliar dollar AS pada Juli, persoalan daya saing produk
ekspor masih sangat relevan.
Berbagai upaya memitigasi besarnya defisit neraca transaksi
berjalan yang pada kuartal kedua 2013 mencapai rekor terbesar dalam sejarah
(9,8 miliar dollar AS) dilakukan dengan menimbulkan efek samping melemahnya
investasi dan pertumbuhan ekonomi. Sebetulnya langkah ini tak perlu dilakukan
jika dari dulu kita rajin mengerjakan pekerjaan rumah kita, baik memperbaiki
infrastruktur maupun melakukan transformasi industrial.
Kerja sama internasional, baik bilateral maupun multilateral,
hanya mempunyai makna jika kita sendiri tau dan mau melakukan apa yang
seharusnya dilakukan. Jika tidak, baik forum APEC maupun pertemuan tingkat
menteri WTO hanya sebatas perhelatan megah tanpa makna. Bukan berarti tidak
penting melaksanakan event dengan
baik, tetapi kita bukanlah sekadar penyedia jasa event organizer belaka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar