|
Transaksi
perdagangan luar negeri pada Agustus 2013 kembali surplus walau tipis sebesar
132 juta dollar AS. Surplus perdagangan sebelumnya terjadi hanya pada bulan
Maret, selebihnya selama enam bulan mengalami defisit. Selama Januari-Agustus
2013 transaksi perdagangan masih defisit 5,5 miliar dollar AS, melonjak tajam
dari hanya 1,6 miliar dollar AS sepanjang tahun lalu.
Perbaikan
transaksi perdagangan bulan Agustus lalu bukan disebabkan peningkatan ekspor,
melainkan penurunan impor yang lebih cepat daripada penurunan ekspor,
masing-masing 25,2 persen dan 12,8 persen. Penurunan impor dialami oleh 10
golongan barang utama nonmigas tanpa kecuali. Impor kesepuluh golongan barang
itu merosot tajam, yaitu 30 persen terhadap bulan Juli. Padahal, hampir semua
golongan barang tersebut adalah bahan baku/penolong dan barang modal. Pada
bulan Agustus, impor bahan baku/penolong turun 23,3 persen terhadap bulan Juli,
sedangkan impor barang modal turun 29,8 persen.
Pada
Januari-Agustus, impor barang modal turun 18,6 persen, sedangkan impor bahan
baku/penolong hanya naik 3,5 persen.
Penurunan
impor yang terjadi selama 8 bulan terakhir tahun ini lebih mencerminkan
pelambatan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Tak heran jika banyak lembaga di
dalam negeri dan luar negeri terus menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi
Indonesia tahun 2013.
Akhir
pekan lalu, Bank Dunia menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun
2013 dari 5,9 persen menjadi 5,6 persen. Bank Indonesia juga mengerek turun
prediksi pertumbuhan ekonomi dari kisaran 5,8 persen-6,4 persen menjadi 5,4
persen-5,9 persen. Sebelumnya Dana Moneter Internasional (IMF) mengoreksi tajam
dari 6,3 persen menjadi 5,25 persen. Lebih tajam lagi yang dilakukan majalah Economist,
dari 5,8 persen menjadi 5,1 persen.
Dengan
demikian, transaksi perdagangan yang kembali surplus pada bulan Agustus
bukanlah berita baik, justru sebaliknya membuat mendung yang menaungi
perekonomian Indonesia kian pekat.
Penurunan
impor bulan Agustus juga dialami minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM),
masing-masing 15,9 persen dan 11,4 persen. Penurunan ini disebabkan bulan Juli
pemerintah menggenjot impor BBM untuk mengantisipasi lonjakan permintaan
menjelang Lebaran. Impor BBM dan minyak mentah bulan Agustus tetap naik jika
dibandingkan dengan bulan Juni. Volume impor BBM pada bulan Juni sebesar 2,3
juta ton, sedangkan pada bulan Agustus 2,5 juta ton. Nilainya pun naik dari 2,2
miliar dollar AS pada bulan Juni menjadi 2,4 miliar dollar AS pada bulan
Agustus.
Boleh
jadi dampak penurunan konsumsi BBM akibat kenaikan harga BBM bersubsidi bakal
sirna karena kenaikan penjualan kendaraan bermotor yang tetap kencang walaupun
pertumbuhan ekonomi menurun. Tahun ini diperkirakan penjualan otomotif naik 10
persen. Hanya dalam enam tahun (tahun 2006-2012), penjualan otomotif naik 3,5
kali lipat dan produksi otomotif naik empat kali lipat. Lonjakan ini belum
dihitung kehadiran ”mobil murah ramah lingkungan” (LCGC).
Mengingat
industri otomotif sangat boros devisa, tak heran jika peningkatan penjualan dan
produksi otomotif serta-merta menggelembungkan impor kendaraan bermotor dan
bagiannya sehingga turut menekan transaksi perdagangan. Impor kendaraan
bermotor dan bagiannya tahun 2009 tercatat baru 3,1 miliar dollar AS. Tiga
tahun kemudian melonjak tiga kali lipat lebih menjadi 9,8 miliar dollar AS.
Kehadiran LCGC nyata-nyata berpotensi besar memperburuk tekanan terhadap
transaksi perdagangan.
Tak
ada yang salah dengan industri otomotif. Yang keliru adalah pemerintah memilih
instrumen pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang lebih
menekankan perluasan pasar dalam negeri semata. Jika pemerintah menggunakan
instrumen untuk lebih menggenjot ekspor otomotif lewat peningkatan investasi
baru seperti yang diterapkan Pemerintah Thailand, ceritanya bakal berbeda.
Setidaknya kemajuan industri otomotif tidak memperparah tekanan terhadap
keseimbangan eksternal.
Pemburukan
transaksi perdagangan luar negeri sebetulnya bukan fenomena jangka pendek dalam
hitungan bulanan, melainkan sudah menjelma sebagai masalah struktural.
Peningkatan impor yang lebih pesat ketimbang ekspor disebabkan pola pertumbuhan
ekonomi yang jomplang antara sektor tradable dan sektor nontradable.
Sejak
tahun 2004, sektor nontradable (sektor
jasa) rata-rata tumbuh dua kali lebih tinggi ketimbang sektor tradable (sektor penghasil barang:
pertanian, pertambangan, dan industri manufaktur), masing-masing sekitar 8
persen dan 4 persen. Sektor tradable inilah merupakan tulang punggung
ekspor.
Karena tumbuh loyo, tak heran jika semua sektor tradable sudah mengalami defisit
perdagangan luar negeri. Defisit manufaktur terjadi sejak tahun 2008, defisit
pangan sejak tahun 2007, sedangkan defisit migas sudah sejak awal tahun 2008.
Jadi, Indonesia telah mengalami triple
deficits sejak tahun 2008.
Investasi
naik tajam sejak tahun 2007. Namun, baik investasi domestik maupun asing
langsung didominasi oleh yang berorientasi pasar domestik sehingga peningkatan
kapasitas perekonomian untuk mengekspor kalah jauh dengan impor. Tak pelak
lagi, akhirnya sejak tahun 2012, Indonesia mengalami defisit perdagangan luar
negeri.
Tak
ada pilihan untuk mengatasi kondisi keseimbangan eksternal yang memburuk,
kecuali dengan melakukan penyesuaian struktural yang konsisten. Ego sektoral,
seperti kebijakan otomotif yang sesat, harus dicampakkan.
Kuncinya
adalah meluruskan kebijakan industrialisasi dan pembangunan pertanian. Kondisi
dan struktur perdagangan luar negeri yang sudah cukup lama memburuk merupakan
cerminan dari kebijakan industrial, kebijakan investasi, dan kebijakan
pertanian yang tak terarah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar