|
SEJAK hukum tercipta sebagai pilar penataan kesinambungan
eksistensi para makhluk, setiap perbenturan dan segala yang mengganggu harmoni
keberadaan selalu diselesaikan melalui lembaga yang disebut pengadilan. Dalam
mitologi hukum, badan peradilan adalah istana dewi keadilan untuk menjalankan
takhta penegakan hukum dan keadilan. Di kala itu, istana keadilan bertabur
kehormatan dan martabat tinggi sebagai sumber utama keadilan bagi semua orang.
Di sinilah awal mula pengadilan memperoleh kedudukan sebagai litis dominium
(dominasi penyelesaian hukum).
Sungguh
amat disayangkan karena pamor kecemerlangan dari singgasana dewi keadilan
dengan derajat yang amat mulia sebagaimana deskripsi di atas dari waktu ke
waktu tampaknya mengalami pergeseran dan meredup hingga pada tingkat nadir.
Betapa tidak karena Mahkamah Konstitusi (MK) sejak berdiri pada 2004 hingga 2
Oktober 2013 merupakan satu-satunya badan peradilan yang masih steril dari
terjangan mafia. Namun mitos tersebut kini sudah runtuh oleh skandal suap.
Ironisnya karena penjebolan benteng terakhir keadilan konstitusi negara
tersebut tidak tanggung-tanggung, langsung dilakukan ketua MK sendiri: Dr Akil
Mochtar, SH MH.
Peristiwa
ini bukan saja semakin mencoreng wajah penegakan hukum kita yang memang sudah
bopeng, tetapi juga menciptakan keputusasaan publik karena tak ada lagi badan
peradilan yang steril dari mafia. Sistem peradilan kita saat ini dalam keadaan
mengidap penyakit kronis, bahkan akut lantaran para fungsionarisnya pada semua
tingkatan terlibat kejahatan peradilan (judicial
crime). Dari performa institusi dan personalia hingga output dan outcome yang
dihasilkannya. Kesemuanya mengalami degradasi dan dekadensi moral. Tidak
mengherankan jika citra buruk peradilan kita saat ini telah tersungkur jatuh
pada kerak yang paling bawah dalam apresiasi publik (worse trust level).
Fenomena
judicial crime yang mendera badan
peradilan kita saat ini pernah menimpa sistem peradilan di Inggris pada abad
ke-18. Jeremy Bentham, ahli hukum dan filsuf abad itu, merasa sangat gusar dan
terpukul menyaksikan sistem dan praktik mafia hukum di negerinya. “Di negeri
ini hukum lahir dari kolusi, serta dibesarkan dan dipraktikkan dengan korupsi,”
tulisnya. Berdasarkan hal itu, Bentham mencela apa yang dalam teori disebut judicial crime, yakni kejahatan yang
dilakukan oleh para penegak hukum melalui berbagai modus dengan tujuan utama
untuk memperoleh keuntungan.
Jaringan
kerja para mafia peradilan selalu melibatkan oknum penegak hukum ataupun staf
peradilan pada semua tingkatan. Umumnya menggunakan pola konspirasi dengan deal
tertentu yang berimbas pada pendiktean putusan pengadilan berdasarkan orderan. Mereka
paham betul segala lika-liku dan kelemahan peraturan hukum untuk dimanfaatkan dengan
menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Soal benar atau salah dari putusan
yang dijatuhkan, bukanlah hal yang penting, bahkan hal yang disebut terakhir,
harus disingkirkan. Karena yang urgen bagi mereka adalah bagaimana mengeruk
keuntungan dari putusan yang dibuat dan persetan soal keadilan.
Jika
diamati dengan optic patologi sosial,
judicial crime di Indonesia
sebenarnya sudah terjadi sejak lama terutama di masa Orde Baru yang nyaris
merupakan fenomena umum. Namun pada masa reformasi, praktik judicial crime justru semakin tumbuh
subur laksana cendawan di musim penghujan. Jika judicial crime di masa Orde
Baru cenderung dilakukan secara laten, judicial
crime pada masa reformasi terjadi secara manifest. Tidak salah jika Bentham
menulis, “Justice shall be denied to no
man, justice shall be sold to no man.” Dalam judicial crime keadilan justru ditolak dan sekaligus dijual.
Fenomena
tersebut bertolak belakang dengan pepatah Latin kuno: “nec curia defi ceret in justitia exhibenda” (pengadilan adalah
istana tempat dewi keadilan bersemayam untuk menyemburkan aroma keadilan tiada
henti). Sayangnya karena dewi keadilan dalam mitologi yudisial belum pernah
bertakhta secara penuh di singgasana yudikatif kita. Keengganan sang dewi
bertakhta di lembaga peradilan Indonesia karena seruan keadilan yang menjadi
titah harian sang dewi tampaknya tidak diindahkan sebagian besar petinggi dan
hulubalang istana yudikatif.
Semua
itu dilakukan akibat fungsionaris peradilan tidak lagi menjadi pengemban amanah
sang dewi, tetapi menjadi hamba dewa kezaliman yang tega menjungkirbalikkan
kebenaran dan keadilan berdasarkan kepentingan. Alhasil, takhta singgasana dan
warisan sang dewi pun semakin kehilangan martabat dan resisten terhadap nilai
keadilan publik akibat maraknya judicial
crime.
Tengoklah
konfigurasi moral aktor peradilan kita selama ini dalam menangani perkara,
terutama pada kasus korupsi atau karena user peradilan yang bertabur gizi, maka
mafia hukum akan senantiasa dominan dan berjaya. Akibatnya, landmark desecion yang sangat dirindukan
lahir dari aktor peradilan sebagaimana pranata, “the binding force of preseden“ dalam sistem peradilan Anglo-Saxon
ternyata hanyalah mimpi buruk kalau bukan bualan di Indonesia.
Tak ayal lagi kisah kelam yang selama ini membalut luka pencari keadilan kini
seakan terkuak seraya menampilkan wajah buram dewi keadilan yang terbenam dalam
the dark of justice.
Ironisnya
karena meski dikecam berbagai pihak, tetapi fungsionaris peradilan bergeming
sedikit pun untuk terus berlayar di atas bahtera judicial crime. Tanpa koreksi dan interospeksi. Mereka sedikit pun
tak merasa malu atau risau dengan kritikan publik dan terus saja memperturutkan
syahwat kebiadaban peradilan tanpa peduli jika tindakan mereka telah memasuki
wilayah abuse of power and arrogance of
authority.
Penulis
menilai bahwa robohnya benteng terakhir keadilan tersebut adalah bencana besar
(Bharata Yudha) dalam law enforcement
di negeri yang telah mendudukkan diri sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD
1945). Hal tersebut terjadi akibat melembaganya kriminogen secara meluas dan
sistematis pada hampir semua jajaran peradilan hingga mereka pun tidak sungkan
lagi melakukan makar kepada titah sang dewi.
Sejak
sang dewi mewasiatkan istananya sebagai simbol penegakan hukum dan keadilan,
para fungsionaris hukum melakukan pengkhianatan dengan melepas selubung penutup
matanya, sebagaimana yang dicontohkan sang dewi. Akibatnya mereka dapat bermain
mata dengan para pihak.
Tak hanya itu, timbangan yang
tergenggam di tangan kiri tak pernah lagi ditera sehingga tidak dapat
membedakan antara berat dan ringannya kesalahan para pihak. Tragisnya lagi
karena pedang yang diacungkan tangan kanan sang dewi tak pernah lagi di asah
secara betul, kecuali hanya pada sisi bawah dan depannya saja. Tidak
mengherankan jika wajah penegakan hukum tampak seperti pisau, yang hanya tajam
ke bawah dan ke depan, tetapi tumpul ke samping ke belakang apalagi ke atas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar