Jumat, 11 Oktober 2013

Kejahatan Peradilan

Kejahatan Peradilan
Saharuddin Daming  Dosen Fakultas Hukum Ibn Khaldun Bogor,
Mantan Komisioner Komnas HAM
MEDIA INDONESIA, 10 Oktober 2013


SEJAK hukum tercipta sebagai pilar penataan kesinambungan eksistensi para makhluk, setiap perbenturan dan segala yang mengganggu harmoni keberadaan selalu diselesaikan melalui lembaga yang disebut pengadilan. Dalam mitologi hukum, badan peradilan adalah istana dewi keadilan untuk menjalankan takhta penegakan hukum dan keadilan. Di kala itu, istana keadilan bertabur kehormatan dan martabat tinggi sebagai sumber utama keadilan bagi semua orang. Di sinilah awal mula pengadilan memperoleh kedudukan sebagai litis dominium (dominasi penyelesaian hukum).

Sungguh amat disayangkan karena pamor kecemerlangan dari singgasana dewi keadilan dengan derajat yang amat mulia sebagaimana deskripsi di atas dari waktu ke waktu tampaknya mengalami pergeseran dan meredup hingga pada tingkat nadir. Betapa tidak karena Mahkamah Konstitusi (MK) sejak berdiri pada 2004 hingga 2 Oktober 2013 merupakan satu-satunya badan peradilan yang masih steril dari terjangan mafia. Namun mitos tersebut kini sudah runtuh oleh skandal suap. Ironisnya karena penjebolan benteng terakhir keadilan konstitusi negara tersebut tidak tanggung-tanggung, langsung dilakukan ketua MK sendiri: Dr Akil Mochtar, SH MH.

Peristiwa ini bukan saja semakin mencoreng wajah penegakan hukum kita yang memang sudah bopeng, tetapi juga menciptakan keputusasaan publik karena tak ada lagi badan peradilan yang steril dari mafia. Sistem peradilan kita saat ini dalam keadaan mengidap penyakit kronis, bahkan akut lantaran para fungsionarisnya pada semua tingkatan terlibat kejahatan peradilan (judicial crime). Dari performa institusi dan personalia hingga output dan outcome yang dihasilkannya. Kesemuanya mengalami degradasi dan dekadensi moral. Tidak mengherankan jika citra buruk peradilan kita saat ini telah tersungkur jatuh pada kerak yang paling bawah dalam apresiasi publik (worse trust level).

Fenomena judicial crime yang mendera badan peradilan kita saat ini pernah menimpa sistem peradilan di Inggris pada abad ke-18. Jeremy Bentham, ahli hukum dan filsuf abad itu, merasa sangat gusar dan terpukul menyaksikan sistem dan praktik mafia hukum di negerinya. “Di negeri ini hukum lahir dari kolusi, serta dibesarkan dan dipraktikkan dengan korupsi,” tulisnya. Berdasarkan hal itu, Bentham mencela apa yang dalam teori disebut judicial crime, yakni kejahatan yang dilakukan oleh para penegak hukum melalui berbagai modus dengan tujuan utama untuk memperoleh keuntungan.

Jaringan kerja para mafia peradilan selalu melibatkan oknum penegak hukum ataupun staf peradilan pada semua tingkatan. Umumnya menggunakan pola konspirasi dengan deal tertentu yang berimbas pada pendiktean putusan pengadilan berdasarkan orderan. Mereka paham betul segala lika-liku dan kelemahan peraturan hukum untuk dimanfaatkan dengan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Soal benar atau salah dari putusan yang dijatuhkan, bukanlah hal yang penting, bahkan hal yang disebut terakhir, harus disingkirkan. Karena yang urgen bagi mereka adalah bagaimana mengeruk keuntungan dari putusan yang dibuat dan persetan soal keadilan.

Jika diamati dengan optic patologi sosial, judicial crime di Indonesia sebenarnya sudah terjadi sejak lama terutama di masa Orde Baru yang nyaris merupakan fenomena umum. Namun pada masa reformasi, praktik judicial crime justru semakin tumbuh subur laksana cendawan di musim penghujan. Jika judicial crime di masa Orde Baru cenderung dilakukan secara laten, judicial crime pada masa reformasi terjadi secara manifest. Tidak salah jika Bentham menulis, “Justice shall be denied to no man, justice shall be sold to no man.” Dalam judicial crime keadilan justru ditolak dan sekaligus dijual.

Fenomena tersebut bertolak belakang dengan pepatah Latin kuno: “nec curia defi ceret in justitia exhibenda” (pengadilan adalah istana tempat dewi keadilan bersemayam untuk menyemburkan aroma keadilan tiada henti). Sayangnya karena dewi keadilan dalam mitologi yudisial belum pernah bertakhta secara penuh di singgasana yudikatif kita. Keengganan sang dewi bertakhta di lembaga peradilan Indonesia karena seruan keadilan yang menjadi titah harian sang dewi tampaknya tidak diindahkan sebagian besar petinggi dan hulubalang istana yudikatif.

Semua itu dilakukan akibat fungsionaris peradilan tidak lagi menjadi pengemban amanah sang dewi, tetapi menjadi hamba dewa kezaliman yang tega menjungkirbalikkan kebenaran dan keadilan berdasarkan kepentingan. Alhasil, takhta singgasana dan warisan sang dewi pun semakin kehilangan martabat dan resisten terhadap nilai keadilan publik akibat maraknya judicial crime.

Tengoklah konfigurasi moral aktor peradilan kita selama ini dalam menangani perkara, terutama pada kasus korupsi atau karena user peradilan yang bertabur gizi, maka mafia hukum akan senantiasa dominan dan berjaya. Akibatnya, landmark desecion yang sangat dirindukan lahir dari aktor peradilan sebagaimana pranata, “the binding force of preseden“ dalam sistem peradilan Anglo-Saxon ternyata hanyalah mimpi buruk kalau bukan bualan di Indonesia.
Tak ayal lagi kisah kelam yang selama ini membalut luka pencari keadilan kini seakan terkuak seraya menampilkan wajah buram dewi keadilan yang terbenam dalam the dark of justice.

Ironisnya karena meski dikecam berbagai pihak, tetapi fungsionaris peradilan bergeming sedikit pun untuk terus berlayar di atas bahtera judicial crime. Tanpa koreksi dan interospeksi. Mereka sedikit pun tak merasa malu atau risau dengan kritikan publik dan terus saja memperturutkan syahwat kebiadaban peradilan tanpa peduli jika tindakan mereka telah memasuki wilayah abuse of power and arrogance of authority.

Penulis menilai bahwa robohnya benteng terakhir keadilan tersebut adalah bencana besar (Bharata Yudha) dalam law enforcement di negeri yang telah mendudukkan diri sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945). Hal tersebut terjadi akibat melembaganya kriminogen secara meluas dan sistematis pada hampir semua jajaran peradilan hingga mereka pun tidak sungkan lagi melakukan makar kepada titah sang dewi.

Sejak sang dewi mewasiatkan istananya sebagai simbol penegakan hukum dan keadilan, para fungsionaris hukum melakukan pengkhianatan dengan melepas selubung penutup matanya, sebagaimana yang dicontohkan sang dewi. Akibatnya mereka dapat bermain mata dengan para pihak.

Tak hanya itu, timbangan yang tergenggam di tangan kiri tak pernah lagi ditera sehingga tidak dapat membedakan antara berat dan ringannya kesalahan para pihak. Tragisnya lagi karena pedang yang diacungkan tangan kanan sang dewi tak pernah lagi di asah secara betul, kecuali hanya pada sisi bawah dan depannya saja. Tidak mengherankan jika wajah penegakan hukum tampak seperti pisau, yang hanya tajam ke bawah dan ke depan, tetapi tumpul ke samping ke belakang apalagi ke atas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar