|
PENANGKAPAN Akil Mochtar, Ketua Mah kamah Konstitusi (MK),
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan konfirmasi atas cerita lama
bahwa ada hakim konstitusi yang memainkan sengketa hasil pemilihan umum kepala
daerah (pemilu kada). Ini pernah disampaikan Refly Harun dalam tulisannya di
Kompas (25/10/2010), bahwa ia mencurigai adanya transaksional dalam penanganan
sejumlah perkara sengketa pemilihan kepala daerah (pemilu kada).
Indonesia memang punya reputasi tersendiri dalam kasus
korupsi, banyak elite politik, elite kekuasaan, dan penegak hukum meringkuk
dalam penjara karena korupsi. Namun reputasi yang paling spektakuler adalah
karena hanya di Indonesia ketua peradilan konstitusinya tertangkap basah
menerima suap atas perkara yang ditanganinya. Ini pencapaian paling memalukan
dari sejumlah kasus korupsi yang dilakukan pejabat negara. MK dirobohkan oleh
ketuanya sendiri. Putusan yang final, mengikat, dan tidak bisa diganggu gugat
pada akhirnya menimbulkan tanda tanya. Jangan-jangan putusan sengketa pemilu
kada selama ini diwarnai transaksi politik. Banyak yang mencurigai Akil tidak
bekerja sendiri, sebab kasus korupsi biasanya tidak berdiri sendiri, selalu ada
orang lain yang terlibat.
Fenomena tersebut harus menjadi perhatian serius KPK untuk
menelusuri siapa pun yang terlibat. Jangan dijadikan kebiasaan, hanya mahir
mengungkap kasus, tetapi tidak dituntaskan sampai ke akarnya. Menangkap tangan
pemberi dan penerima suap bisa dilakukan lantaran teleponnya sudah disadap,
tinggal menunggu waktu kapan uang suap diserahkan. Namun tidak ahli mencari dan
menemukan alat bukti lain di luar bukti yang ada dalam sadapan. Sejumlah kasus
tangkap tangan sampai kini tidak terurai siapa pelaku lain yang terlibat.
Misalnya, kasus Rudi Rubiandini, mantan Kepala SKK Migas, yang tertangkap
tangan menerima suap, tetapi belum ada tersangka lain di luar yang disebut
namanya dalam sadapan telepon.
Sengketa pemilu
kada
Ulah Akil merupakan pukulan telak di tengah kekaguman
rakyat atas putusan hakim konstitusi yang selama ini dikenal antiintervensi.
Sengketa pemilu kada telah merobohkan wibawa hakim konstitusi yang sering
dibanggakan lantaran putusannya mampu menepis keraguan masyarakat bahwa
peradilan di negeri ini tidak ada yang steril dari korupsi dan intervensi. Akil
yang sudah ditetapkan tersangka karena diduga menerima suap atas penanganan dua
sengketa pemilu kada, yaitu pemilu kada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan
Tengah, dan pemilihan bupati Lebak, Banten.
Kepastian Akil terlibat dugaan suap pemilu kada Lebak
karena salah satu tim sukses yang juga adik Gubernur Banten ditangkap KPK pada
Kamis malam (3/10/2013). Sengketa pemilu kada Lebak sudah diputus pada 1
Oktober 2013, sementara sengketa pemilu kada Gunung Mas diputus dalam waktu
dekat. MK membatalkan keputusan KPU Lebak yang menyatakan pasangan Iti Oktavia
Jayabaya-Ade Sumardi sebagai pemenang pemilu kada pada 31 Agustus 2013. MK juga
minta agar pemilu kada Lebak diulang, yang tentu saja menguntungkan pasangan
yang menggugat (Media Indonesia,
4/10/2013).
Pada pemilu kada Kabupaten Gunung Mas, calon incumbent Hambit Bintih yang ditangkap
bersama Akil, sebetulnya ditetapkan pemenang, tetapi kenapa melakukan tindakan
konyol. Sebab biasanya pemenang tidak perlu terlalu risau karena penggugat
berhadapan dengan KPUD yang selalu dimenangkan. Namun boleh jadi sudah mendapat
sinyal dari kasus pemilu kada Lebak bahwa permainan uang dapat mengalahkan
fakta sidang.
Semua sengketa pemilu kada yang ditangani dan terjadi saat
Akil Ketua MK perlu ditelusuri meski tidak akan berpengaruh pada putusan yang
sudah dikeluarkan. Sebab putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga tidak
akan menganulir akibat yang ditimbulkan dari putusan itu. Jika ditemukan suap,
harus dibawa ke ranah pidana untuk dijatuhi hukuman yang jauh lebih berat. Ini
adalah momentum bagi MK untuk melakukan pembersihan. Citra MK selaku pengawal
dan penegak konstitusi harus dipulihkan, setidaknya di mulai dari penangkapan
Akil.
KPK tidak boleh ragu, apalagi gentar membongkar siapa pun
yang terlibat, baik di kalangan hakim maupun pegawai MK. Jika
pemulihan citra dan wibawa MK tidak secepatnya dilakukan, dipastikan akan sama
nasibnya dengan peradilan dan lembaga negara lain yang selalu dicemooh publik. Wajar
jika ada yang bertanya, peradilan mana lagi yang bisa dipercaya di negeri ini?
MK yang selama ini dibanggakan dengan putusan-putusan yang antiintervensi,
tetapi peristiwa itu menghapus kebanggaan rakyat.
Pengawasan
Seperti sudah banyak diungkap berbagai kalangan dan sumber,
proses hakim konstitusi perlu ditinjau ulang, sebagaimana diatur dalam Pasal
24C ayat 3 UUD bahwa sembilan hakim konstitusi diajukan masing-masing tiga
orang oleh MA, DPR, dan presiden. Pola ini sebaiknya diatur ulang, terutama
pada proses rekrutmen yang harus transparan dan partisipatif. Hakim konstitusi
bukan sekadar memiliki kompetensi dan integritas, melainkan yang amat penting
harus memiliki jiwa negarawan.
Lebih penting lagi adalah pengawasan bagi hakim konstitusi.
Sejak ada putusan MK sebelum Mahfud MD memimpin MK, hakim konstitusi melepaskan
diri dari pengawasan Komisi Yudisial (KY). Padahal, saat uji materi UU KY yang
diajukan sejumlah hakim agung, tidak memasukkan gugatan peniadaan pengawasan
hakim konstitusi.
Akan tetapi, majelis hakim konstitusi dalam putusannya
justru melakukan ultra petita atau memutus sesuatu yang tidak diminta pemohon.
Malah menguntungkan dirinya selaku pengadil dan pemutus perkara yang seharusnya
tidak mengadili dan memutus suatu perkara yang menyangkut kepentingannya. Dalam
hukum acara, hal seperti ini melanggar asas peradilan yang jujur dan tidak
memihak.
Pengawasan terhadap hakim MK merupakan masalah mendasar
sehingga harus dikembalikan pada KY seperti dimaksud dalam Pasal 24B ayat (1)
UUD 1945, bahwa KY menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim. Hakim dimaksud bukan hanya hakim pengadilan umum dan pengadilan
lainnya, melainkan juga hakim konstitusi.
Pentingnya pengawasan eksternal hakim konstitusi karena
setiap peradilan selalu ada oknum yang menggunakan segala cara untuk mencari
keuntungan dengan menawarkan jasa kepada pihak yang beperkara dengan imbalan
uang. Jual beli perkara terjadi lantaran ada supply and demand yang diciptakan menjadi potensi korupsi. Boleh
jadi transaksi yang dilakukan Akil yang baru terungkap sekarang, setelah yakin
betul siapa pemenangnya. Kemudian mengontak pihak pemenang untuk meminta balas
jasa, seolah-olah sebagai bukti kewenangan sang Ketua MK menentukan arah
putusan. Ini sesuatu yang naif, sebab secara teori agak sulit memengaruhi lima
hakim lain jika fakta persidangan berkata lain, apalagi diawasi begitu banyak
mata dan sorotan kamera.
Akhirnya, perlu menyadari bahwa penangkapan Akil merupakan
indikasi kuat atas bisik-bisik yang selama ini terdengar bahwa putusan MK bisa
dibeli. Banyaknya kasus pemilu kada yang memiliki dana besar tentu berpotensi
menggoda iman hakim konstitusi. Makanya, ada ungkapan sinis, “Tidak apa kalah di penghitungan KPUD, yang
penting menang di MK.” Ini sebuah ironi mengingat harapan rakyat sangat
besar pada MK sehingga hakim, panitera, dan karyawannya harus betul-betul tahan
godaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar