Jumat, 11 Oktober 2013

Robohnya Wibawa Hakim Konstitusi

Robohnya Wibawa Hakim Konstitusi
Marwan Mas  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45 Makassar
MEDIA INDONESIA, 10 Oktober 2013


PENANGKAPAN Akil Mochtar, Ketua Mah kamah Konstitusi (MK), oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan konfirmasi atas cerita lama bahwa ada hakim konstitusi yang memainkan sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada). Ini pernah disampaikan Refly Harun dalam tulisannya di Kompas (25/10/2010), bahwa ia mencurigai adanya transaksional dalam penanganan sejumlah perkara sengketa pemilihan kepala daerah (pemilu kada).

Indonesia memang punya reputasi tersendiri dalam kasus korupsi, banyak elite politik, elite kekuasaan, dan penegak hukum meringkuk dalam penjara karena korupsi. Namun reputasi yang paling spektakuler adalah karena hanya di Indonesia ketua peradilan konstitusinya tertangkap basah menerima suap atas perkara yang ditanganinya. Ini pencapaian paling memalukan dari sejumlah kasus korupsi yang dilakukan pejabat negara. MK dirobohkan oleh ketuanya sendiri. Putusan yang final, mengikat, dan tidak bisa diganggu gugat pada akhirnya menimbulkan tanda tanya. Jangan-jangan putusan sengketa pemilu kada selama ini diwarnai transaksi politik. Banyak yang mencurigai Akil tidak bekerja sendiri, sebab kasus korupsi biasanya tidak berdiri sendiri, selalu ada orang lain yang terlibat.

Fenomena tersebut harus menjadi perhatian serius KPK untuk menelusuri siapa pun yang terlibat. Jangan dijadikan kebiasaan, hanya mahir mengungkap kasus, tetapi tidak dituntaskan sampai ke akarnya. Menangkap tangan pemberi dan penerima suap bisa dilakukan lantaran teleponnya sudah disadap, tinggal menunggu waktu kapan uang suap diserahkan. Namun tidak ahli mencari dan menemukan alat bukti lain di luar bukti yang ada dalam sadapan. Sejumlah kasus tangkap tangan sampai kini tidak terurai siapa pelaku lain yang terlibat. Misalnya, kasus Rudi Rubiandini, mantan Kepala SKK Migas, yang tertangkap tangan menerima suap, tetapi belum ada tersangka lain di luar yang disebut namanya dalam sadapan telepon.

Sengketa pemilu kada

Ulah Akil merupakan pukulan telak di tengah kekaguman rakyat atas putusan hakim konstitusi yang selama ini dikenal antiintervensi. Sengketa pemilu kada telah merobohkan wibawa hakim konstitusi yang sering dibanggakan lantaran putusannya mampu menepis keraguan masyarakat bahwa peradilan di negeri ini tidak ada yang steril dari korupsi dan intervensi. Akil yang sudah ditetapkan tersangka karena diduga menerima suap atas penanganan dua sengketa pemilu kada, yaitu pemilu kada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan pemilihan bupati Lebak, Banten.

Kepastian Akil terlibat dugaan suap pemilu kada Lebak karena salah satu tim sukses yang juga adik Gubernur Banten ditangkap KPK pada Kamis malam (3/10/2013). Sengketa pemilu kada Lebak sudah diputus pada 1 Oktober 2013, sementara sengketa pemilu kada Gunung Mas diputus dalam waktu dekat. MK membatalkan keputusan KPU Lebak yang menyatakan pasangan Iti Oktavia Jayabaya-Ade Sumardi sebagai pemenang pemilu kada pada 31 Agustus 2013. MK juga minta agar pemilu kada Lebak diulang, yang tentu saja menguntungkan pasangan yang menggugat (Media Indonesia, 4/10/2013).

Pada pemilu kada Kabupaten Gunung Mas, calon incumbent Hambit Bintih yang ditangkap bersama Akil, sebetulnya ditetapkan pemenang, tetapi kenapa melakukan tindakan konyol. Sebab biasanya pemenang tidak perlu terlalu risau karena penggugat berhadapan dengan KPUD yang selalu dimenangkan. Namun boleh jadi sudah mendapat sinyal dari kasus pemilu kada Lebak bahwa permainan uang dapat mengalahkan fakta sidang.

Semua sengketa pemilu kada yang ditangani dan terjadi saat Akil Ketua MK perlu ditelusuri meski tidak akan berpengaruh pada putusan yang sudah dikeluarkan. Sebab putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga tidak akan menganulir akibat yang ditimbulkan dari putusan itu. Jika ditemukan suap, harus dibawa ke ranah pidana untuk dijatuhi hukuman yang jauh lebih berat. Ini adalah momentum bagi MK untuk melakukan pembersihan. Citra MK selaku pengawal dan penegak konstitusi harus dipulihkan, setidaknya di mulai dari penangkapan Akil.

KPK tidak boleh ragu, apalagi gentar membongkar siapa pun yang terlibat, baik di kalangan hakim maupun pegawai MK. Jika pemulihan citra dan wibawa MK tidak secepatnya dilakukan, dipastikan akan sama nasibnya dengan peradilan dan lembaga negara lain yang selalu dicemooh publik. Wajar jika ada yang bertanya, peradilan mana lagi yang bisa dipercaya di negeri ini? MK yang selama ini dibanggakan dengan putusan-putusan yang antiintervensi, tetapi peristiwa itu menghapus kebanggaan rakyat.

Pengawasan

Seperti sudah banyak diungkap berbagai kalangan dan sumber, proses hakim konstitusi perlu ditinjau ulang, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat 3 UUD bahwa sembilan hakim konstitusi diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, DPR, dan presiden. Pola ini sebaiknya diatur ulang, terutama pada proses rekrutmen yang harus transparan dan partisipatif. Hakim konstitusi bukan sekadar memiliki kompetensi dan integritas, melainkan yang amat penting harus memiliki jiwa negarawan.

Lebih penting lagi adalah pengawasan bagi hakim konstitusi. Sejak ada putusan MK sebelum Mahfud MD memimpin MK, hakim konstitusi melepaskan diri dari pengawasan Komisi Yudisial (KY). Padahal, saat uji materi UU KY yang diajukan sejumlah hakim agung, tidak memasukkan gugatan peniadaan pengawasan hakim konstitusi.

Akan tetapi, majelis hakim konstitusi dalam putusannya justru melakukan ultra petita atau memutus sesuatu yang tidak diminta pemohon. Malah menguntungkan dirinya selaku pengadil dan pemutus perkara yang seharusnya tidak mengadili dan memutus suatu perkara yang menyangkut kepentingannya. Dalam hukum acara, hal seperti ini melanggar asas peradilan yang jujur dan tidak memihak.

Pengawasan terhadap hakim MK merupakan masalah mendasar sehingga harus dikembalikan pada KY seperti dimaksud dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, bahwa KY menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Hakim dimaksud bukan hanya hakim pengadilan umum dan pengadilan lainnya, melainkan juga hakim konstitusi.

Pentingnya pengawasan eksternal hakim konstitusi karena setiap peradilan selalu ada oknum yang menggunakan segala cara untuk mencari keuntungan dengan menawarkan jasa kepada pihak yang beperkara dengan imbalan uang. Jual beli perkara terjadi lantaran ada supply and demand yang diciptakan menjadi potensi korupsi. Boleh jadi transaksi yang dilakukan Akil yang baru terungkap sekarang, setelah yakin betul siapa pemenangnya. Kemudian mengontak pihak pemenang untuk meminta balas jasa, seolah-olah sebagai bukti kewenangan sang Ketua MK menentukan arah putusan. Ini sesuatu yang naif, sebab secara teori agak sulit memengaruhi lima hakim lain jika fakta persidangan berkata lain, apalagi diawasi begitu banyak mata dan sorotan kamera.

Akhirnya, perlu menyadari bahwa penangkapan Akil merupakan indikasi kuat atas bisik-bisik yang selama ini terdengar bahwa putusan MK bisa dibeli. Banyaknya kasus pemilu kada yang memiliki dana besar tentu berpotensi menggoda iman hakim konstitusi. Makanya, ada ungkapan sinis, “Tidak apa kalah di penghitungan KPUD, yang penting menang di MK.” Ini sebuah ironi mengingat harapan rakyat sangat besar pada MK sehingga hakim, panitera, dan karyawannya harus betul-betul tahan godaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar