Kamis, 10 Oktober 2013

Momentum bagi KPK

Momentum bagi KPK
Siti Marwiyah  Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo, Surabaya
KORAN JAKARTA, 10 Oktober 2013


Pascapenangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, dan penetapannya sebagai tersangka, memang ada banyak apresiasi terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini sudah menunjukkan kinerja baik dalam penanggulangan korupsi. 

Ini harus menjadi momentum KPK merampungkan kasus-kasus besar lainnya. KPK tak perlu kehilangan energi ketika harus merampungkan kasus besar. KPK sering seperti kekurangan daya saat menghadapi kasus-kasus "berat" secara politik. Kondisi demikian bisa saja melahirkan pendapat tidak diperlakukan sama para atas berbagai kasus yang ditangani. Contoh kemunculan surat perintah penyidikan (sprindik) palsu atas kasus mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaingrum, dan silang sengketa penetapan Anas sebagai tersangka yang mengakibatkan KPK disorot. Bahkan, dalam kasus ini, KPK dipersepsikan sedang terseret dalam pusaran kepentingan politik besar. 

Saat menjelang hari raya lalu, Ketua KPK, Abraham Samad, berjanji akan menahan Anas maupun Andi Malarangeng. Janji demikian sudah direkam publik. Janji akan terus diingat karena Hambalang tergolong kasus "sakral". Tambah lagi hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan jilid 2 ditengarai menimbulkan heboh dan diduga ada pihak-pihak yang intervensi. Selain itu, kecuriganaan masyarakat juga berangkat dari realitas umum tentang sakitnya proses peradilan. Seringnya praktik peradilan pidana yang bersifat eksklusif dan diskriminatif telah membuat warga kecewa. Publik menilai dunia peradilan masih penuh rekayasa. Kekuatan politik dan pemilik modal yang menentukan proses peradilan. KPK tak boleh mengistimewakan "terduga" korupsi. 

Perlakuan istimewa pada elitis yang bermasalah hukum hanya akan memperluas atau meratakan budaya penyalahgunaan kekuasaan di berbagai lini. Sektor yudisial paling gampang disalahgunakan karena gampang proteksinya. Jagat yuridis sangat buram disebabkan ketidakberdayaan dalam menerapkan prinsip persamaan di depan hukum (egaliter). Elemen peradilan yang mengkhianati prnsip egaliter telah membuat karut-marutnya hukum. Mereka tidak menjalankan penegakan hukum (law enforcement) dan keadilan. Mereka dipercaya negara, seharusnya idealisme yuridis benar-benar diterapkan. Setiap orang berhak memperoleh keadilan yang memang untuk semua (juctice for all). Pakar hukum, Purbacaraka, mengatakan dalam negara hukum tidak bisa dilepaskan esensi demokrasi. Hukum yang adil hanya ada dan bisa ditegakkan di negara demokratis. 

Sedang hukum yang demokratis harus sejiwa dengan kepentingan masyarakat dan memberi manfaat demi dan untuk rakyat. Saat rakyat dieliminasi, sementara oknum penguasa diproteksi privilitas, di sinilah deskripsi riil degradasi negara hukum. Untuk bisa menjadi hukum yang demokratis atau bermanfaat, KPK menjadi salah satu kuncinya. KPK menjadi lembaga yang kurang-lebih dapat membuat hukum berjalan. Publik kian apresiatif karena KPK telah berjasa membongkar korupsi hingga ke MK. Hanya jangan tebang pilih. Jangan sampai sama-sama korupsi, ada tersangka ditahan, lainnya dibiarkan bebas. 

Konsekuensi Pakar hukum lain, Joeniarto, membenarkan negara yang berasaskan rule of law mengandung konsekuensi tindakan penguasa dan masyarakat harus berdasarkan atas hukum, bukan kekuasaan belaka. Ketidakadilan atau diskriminasi bisa saja dilahirkan penegak hukum, yang bukan tidak mungkin ada yang sejatinya “nakal”, namun terproteksi. Kasus terbitnya sprindik palsu dan surat penggeledahan palsu yang menerpa KPK setidaknya dapat menjadi indikasi, KPK pun perlu diawasi. Anggota KPK bisa juga tergelincir dalam pergulatan politik dan ekonomi sehingga memihak pada elite tertentu yang bermasalah atau kepentingan kekuasaan. Jika penyimpangan kode etik profesi dilakukan oknum KPK dengan rekayasa hukum, membuat kesamaan hukum hilang. Kazuo Shimagogai mengategorikan desakraliasi mencapai nihilisme total. 

Apa yang semula sebagai norma untuk fondasi perilaku atau panduan kehidupan masyarakat beradab, akhirnya sekadar dikenal dan dibaca sebagai kompilasi ide-ide atau kumpulan cita-cita bangsa. Itu bisa ditemukan dalam buku, piagam, sketsa, tapi tidak bisa lagi ditemukan dalam kehidupan masyarakat karena terlindas perilaku segelintir penguasa. Bagi masyarakat yang masih berpikir normal dan bernurani, tentulah tidak menginginkan negara mengidap penyakit “tumor” hukum sehingga keadilan hilang. Sayangnya, itulah yang terjadi. Dunia peradilan masih dipenuhi manusia yang sibuk mengemas diri menjadi oportunis. 

Mereka tidak malu berbuat paradoksal dengan norma yang seharusnya ditegakkan. Norma yuridis yang melekat dalam tugas dan kewenangannya dibuat sekadar menjadi hukum di atas kertas dan bukan realitas. Kasus Century, Hambalang, simulator SIM, impor daging sapi, pengadaan Al-Quran, dan suap MK wajib dikembalikan pada koridor peradilan egaliter yang berlaku secara inklusif, tanpa membedakan, mendiskriminasikan, dibentengi sekat-sekat politik, atau memilah. Di sini tidak boleh melihat siapa yang sedang tersangkut perkara hukum. Penangkapan Ketua MK Akil Mochtar harus menjadi momentum bagi KPK menuntaskan kasus-kasus besar yang selama ini tertunda. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar