|
Dalam sebuah media
massa nasional, saya pernah membuat semacam klaim atau pernyataan sepihak--yang
sampai saat ini belum saya dengar bantahannya--bahwa apa yang kita sebut
sebagai "kebudayaan Indonesia" sesungguhnya tidak (dapat juga disebut
belum) ada. Alasan ringkasnya: kata "Indonesia" adalah sebuah terma
atau sebutan baru sebagai akibat atau konsekuensi dari berdirinya sebuah negara
baru dan modern bernama sama.
Ketika negara modern dan baru itu ternyata masih kesulitan mengartikulasikan dirinya sendiri yang kokoh dan adekuat di semua segi dan dimensinya, kebudayaan yang juga baru itu pun tentu mengalami tingkat kesulitan--yang bahkan jauh lebih tinggi--untuk sekadar melakukan identifikasi atau mengartikulasikan realitas eksistensialnya. Bagaimana sebuah kebudayaan baru dapat disusun sebagai universum dari ratusan budaya suku bangsa yang sudah hidup ratusan bahkan ribuan tahun di seluruh pelosok negeri ini?
Bahkan pendiri bangsa pun tidak mampu sekadar untuk memetakan dasar-dasarnya. "Puncak-puncak kebudayaan lokal" yang pernah terumuskan dalam konstitusi pun sudah sejak lahirnya mendapat sanggahan dan pertentangan. Tujuh pemimpin berganti dengan puluhan kabinet mengikutinya, tidak satu pun yang tergerak untuk mencoba menyelesaikan ini. Bahkan, saya kira, terpikir pun tidak. Apalagi tertuang dalam program atau anggaran. Bahkan cukup lama, setidaknya semasa Orde Baru, kerja-kerja dan pekerja kebudayaan menjadi hal/pihak yang lebih dicurigai, diawasi, dan di-repress hampir sama dengan kekuatan-kekuatan anarkistik, ideologi ekstrem, atau infiltrasi kekuatan asing.
Sementara itu, kita sama mafhum, persoalan kebudayaan, dimulai dari pemahaman, rumusan, hingga fungsi praksisnya, adalah elemen vital dalam hidup bernegara dan berbangsa. Belakangan bahkan banyak pemimpin dan calon pemimpin yang bicara tentang urgensi kebudayaan sebagai faktor utama dalam mengatasi berbagai persoalan di seputar integrasi dan kualitas moral-mental seseorang atau satu bangsa. Tentu saja kita mengerti, semua itu hanya oralisme retoris, gincu yang menyala di bibir kusam mereka.
Betapa tidak letih sebenarnya para pekerja dan pemikir kebudayaan menyuarakan persoalan yang kian emergensial ini, ketika kita semua sepakat bangsa ini telah berjalan tersaruk karena seretan arus global yang terlalu deras. Arus yang seolah berupaya menjadi tatanan nilai (kebudayaan) baru bagi bangsa yang mengalami disorientasi karena absennya kebudayaan nasional di atas. Maka, lihatlah: mereka, kita, hampir semua, berbondong mencangkokkan berbagai nilai dan moralitas baru--hingga produk-produk kebudayaan baru--yang didiseminasi oleh globalisme untuk mengisi kekosongan jiwa, akal, dan spiritualitas kita. Mengisi nilai setiap rezeki atau rupiah yang kita dapatkan dan tidak kita mengerti bagaimana memanfaatkannya, sehingga diri dan hidup kita meningkat harkat atau maqam kemanusiaannya.
Para pekerja budaya, seniman terutama, telah dibuktikan oleh sejarah bagaimana mereka terus berjuang tanpa keluh dan ratap untuk mempertahankan dan memperjuangkan kebudayaan agar tetap mengendap di pori-pori kemanusiaan dan kebangsaan kita. Pada saat ketika obligor utama--secara historis dan konstitusional-lainnya, i.e. pemerintah, justru melakukan tindakan yang berlawanan, yang bahkan berkali-kali saya katakana: jika tidak membunuh, ia telah menghina kebudayaan lewat cara berpikir dan bertindaknya terhadap kerja-kerja kebudayaan.
Kebudayaan adalah alien dalam kerja-kerja pemerintahan bahkan mulai dari perencanaan, bahkan pula mulai dari mindset-nya. Kebudayaan, yang sering dilecehkan sebagai kesenian, lebih sempit lagi "hiburan", hanya diposisikan sebagai dakocan atau topeng monyet yang selalu ditempatkan di belakang untuk jadi bahan tertawaan atau dessert para elite dan pengambil kebijakan. Lihat kejadian itu di berbagai seminar, acara-acara televisi, bahkan acara-acara resmi kenegaraan.
Katakanlah, misalnya, berapa kali pidato pemimpin tertinggi negeri ini setiap tahun di parlemen, pada tiap 16 Agustus, menyinggung atau menyebut kata kebudayaan? Adakah hal-hal strategis yang terpikirkan oleh Bappenas, misal lainnya, memasukkan kebudayaan sebagai item utama? Inilah antara lain yang membuat negara ini termasuk terbelakang--bahkan dibanding tetangga-tetangganya di ASEAN-karena hingga detik ini masih juga belum (bisa) memiliki sebuah strategi yang liat dan kuat untuk kebudayaan.
Pribadi saya, jujur, belum menemukan sebuah visi yang kuat dari pemerintah untuk menempatkan kebudayaan dalam kerja utama kita sebagai bangsa. Termasuk dalam kementerian yang kini mengurus masalah tersebut. Tidak penting bila pejabat-pejabat tertinggi di kementerian itu bukanlah ahli atau pejuang intens dari kebudayaan, namun yang utama adalah bagaimana para pejabat itu memiliki visi yang kuat tentangnya, memiliki tekad dan keberanian untuk membuat terobosan, memiliki kerendahan hati untuk mencari dan meresap masukan dari mereka yang kita tahu hampir sepanjang hidupnya berkeringat untuk itu, tanpa dukungan, tanpa fasilitas yang selaiknya diberikan pemerintah.
Kapasitas para pejabat dan para stafnya itulah yang semestinya mengetahui dengan baik persoalan-persoalan krusial kebudayaan, setidaknya mampu mengidentifikasi detail-detail di dalamnya. Dengan demikian, tidak seperti yang bisa kita baca, katakanlah dalam laman resmi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, di mana pengertian kebudayaan Indonesia pun tidak ada. Kata kebudayaan, misalnya, dielaborasi dalam tujuh bagian, seolah politik dan hukum bukan bagian darinya, seni sastra dan seni rupa juga bukan bagian dari kesenian.
Dan kita akan lebih merasa prihatin ketika, seperti hujan es batu di telinga kita, terkabar berita akan terselenggaranya Kongres Kebudayaan, yang jika kita sama-sama perhatikan sama sekali tidak mengikutsertakan pekerja-pekerja tulen dari para kuncen kebudayaan yang saya maksud di atas. Topik-topiknya mayoritas dikuasai oleh intensi dan pretensi politik (termasuk pemerintahan) yang entah datang dari mana. Terkesan kebudayaan hanyalah subordinat atau pelayan kepentingan politik. Begitu pun para pembicaranya juga diisi oleh nama-nama yang tampaknya datang dari langit yang berbeda, dan tampaknya adalah mereka yang terbiasa menerima gaji negara.
Tentu saja pembicara semacam itu cukup "aman" untuk membahas topik-topik yang saya kira hanya menjadi semacam narasi dari portofolio Kemdikbud, khususnya Ditjen Kebudayaan, karena sebagian besar cocok dengan bidang-bidang (direktorat) yang ada di bawahnya. Acara ini seperti menghidupi tanaman bonsai yang ada di dalam kamar formal kebudayaan, bukan apa yang hidup justru di keluasan dunia luar. Kebudayaan tampaknya tidak bermakna sebagai realitas yang menggiriskan hidup kita saat ini, namun cukup sebagai komoditas yang layak untuk dikongreskan.
Tidak apa. Sungguh tidak apa. Ini bukan yang pertama. Tapi sejak dulu begitu. Seperti rakyat kita seluruhnya, seperti eksistensi bangsa dan negeri ini, kebudayaan, juga kesenian sebagai elemen utama di dalamnya, tetap akan berjalan, maju, dan menjaga kekuatan serta kesatuan kita, ada maupun tiada (dukungan) negara. ●
Ketika negara modern dan baru itu ternyata masih kesulitan mengartikulasikan dirinya sendiri yang kokoh dan adekuat di semua segi dan dimensinya, kebudayaan yang juga baru itu pun tentu mengalami tingkat kesulitan--yang bahkan jauh lebih tinggi--untuk sekadar melakukan identifikasi atau mengartikulasikan realitas eksistensialnya. Bagaimana sebuah kebudayaan baru dapat disusun sebagai universum dari ratusan budaya suku bangsa yang sudah hidup ratusan bahkan ribuan tahun di seluruh pelosok negeri ini?
Bahkan pendiri bangsa pun tidak mampu sekadar untuk memetakan dasar-dasarnya. "Puncak-puncak kebudayaan lokal" yang pernah terumuskan dalam konstitusi pun sudah sejak lahirnya mendapat sanggahan dan pertentangan. Tujuh pemimpin berganti dengan puluhan kabinet mengikutinya, tidak satu pun yang tergerak untuk mencoba menyelesaikan ini. Bahkan, saya kira, terpikir pun tidak. Apalagi tertuang dalam program atau anggaran. Bahkan cukup lama, setidaknya semasa Orde Baru, kerja-kerja dan pekerja kebudayaan menjadi hal/pihak yang lebih dicurigai, diawasi, dan di-repress hampir sama dengan kekuatan-kekuatan anarkistik, ideologi ekstrem, atau infiltrasi kekuatan asing.
Sementara itu, kita sama mafhum, persoalan kebudayaan, dimulai dari pemahaman, rumusan, hingga fungsi praksisnya, adalah elemen vital dalam hidup bernegara dan berbangsa. Belakangan bahkan banyak pemimpin dan calon pemimpin yang bicara tentang urgensi kebudayaan sebagai faktor utama dalam mengatasi berbagai persoalan di seputar integrasi dan kualitas moral-mental seseorang atau satu bangsa. Tentu saja kita mengerti, semua itu hanya oralisme retoris, gincu yang menyala di bibir kusam mereka.
Betapa tidak letih sebenarnya para pekerja dan pemikir kebudayaan menyuarakan persoalan yang kian emergensial ini, ketika kita semua sepakat bangsa ini telah berjalan tersaruk karena seretan arus global yang terlalu deras. Arus yang seolah berupaya menjadi tatanan nilai (kebudayaan) baru bagi bangsa yang mengalami disorientasi karena absennya kebudayaan nasional di atas. Maka, lihatlah: mereka, kita, hampir semua, berbondong mencangkokkan berbagai nilai dan moralitas baru--hingga produk-produk kebudayaan baru--yang didiseminasi oleh globalisme untuk mengisi kekosongan jiwa, akal, dan spiritualitas kita. Mengisi nilai setiap rezeki atau rupiah yang kita dapatkan dan tidak kita mengerti bagaimana memanfaatkannya, sehingga diri dan hidup kita meningkat harkat atau maqam kemanusiaannya.
Para pekerja budaya, seniman terutama, telah dibuktikan oleh sejarah bagaimana mereka terus berjuang tanpa keluh dan ratap untuk mempertahankan dan memperjuangkan kebudayaan agar tetap mengendap di pori-pori kemanusiaan dan kebangsaan kita. Pada saat ketika obligor utama--secara historis dan konstitusional-lainnya, i.e. pemerintah, justru melakukan tindakan yang berlawanan, yang bahkan berkali-kali saya katakana: jika tidak membunuh, ia telah menghina kebudayaan lewat cara berpikir dan bertindaknya terhadap kerja-kerja kebudayaan.
Kebudayaan adalah alien dalam kerja-kerja pemerintahan bahkan mulai dari perencanaan, bahkan pula mulai dari mindset-nya. Kebudayaan, yang sering dilecehkan sebagai kesenian, lebih sempit lagi "hiburan", hanya diposisikan sebagai dakocan atau topeng monyet yang selalu ditempatkan di belakang untuk jadi bahan tertawaan atau dessert para elite dan pengambil kebijakan. Lihat kejadian itu di berbagai seminar, acara-acara televisi, bahkan acara-acara resmi kenegaraan.
Katakanlah, misalnya, berapa kali pidato pemimpin tertinggi negeri ini setiap tahun di parlemen, pada tiap 16 Agustus, menyinggung atau menyebut kata kebudayaan? Adakah hal-hal strategis yang terpikirkan oleh Bappenas, misal lainnya, memasukkan kebudayaan sebagai item utama? Inilah antara lain yang membuat negara ini termasuk terbelakang--bahkan dibanding tetangga-tetangganya di ASEAN-karena hingga detik ini masih juga belum (bisa) memiliki sebuah strategi yang liat dan kuat untuk kebudayaan.
Pribadi saya, jujur, belum menemukan sebuah visi yang kuat dari pemerintah untuk menempatkan kebudayaan dalam kerja utama kita sebagai bangsa. Termasuk dalam kementerian yang kini mengurus masalah tersebut. Tidak penting bila pejabat-pejabat tertinggi di kementerian itu bukanlah ahli atau pejuang intens dari kebudayaan, namun yang utama adalah bagaimana para pejabat itu memiliki visi yang kuat tentangnya, memiliki tekad dan keberanian untuk membuat terobosan, memiliki kerendahan hati untuk mencari dan meresap masukan dari mereka yang kita tahu hampir sepanjang hidupnya berkeringat untuk itu, tanpa dukungan, tanpa fasilitas yang selaiknya diberikan pemerintah.
Kapasitas para pejabat dan para stafnya itulah yang semestinya mengetahui dengan baik persoalan-persoalan krusial kebudayaan, setidaknya mampu mengidentifikasi detail-detail di dalamnya. Dengan demikian, tidak seperti yang bisa kita baca, katakanlah dalam laman resmi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, di mana pengertian kebudayaan Indonesia pun tidak ada. Kata kebudayaan, misalnya, dielaborasi dalam tujuh bagian, seolah politik dan hukum bukan bagian darinya, seni sastra dan seni rupa juga bukan bagian dari kesenian.
Dan kita akan lebih merasa prihatin ketika, seperti hujan es batu di telinga kita, terkabar berita akan terselenggaranya Kongres Kebudayaan, yang jika kita sama-sama perhatikan sama sekali tidak mengikutsertakan pekerja-pekerja tulen dari para kuncen kebudayaan yang saya maksud di atas. Topik-topiknya mayoritas dikuasai oleh intensi dan pretensi politik (termasuk pemerintahan) yang entah datang dari mana. Terkesan kebudayaan hanyalah subordinat atau pelayan kepentingan politik. Begitu pun para pembicaranya juga diisi oleh nama-nama yang tampaknya datang dari langit yang berbeda, dan tampaknya adalah mereka yang terbiasa menerima gaji negara.
Tentu saja pembicara semacam itu cukup "aman" untuk membahas topik-topik yang saya kira hanya menjadi semacam narasi dari portofolio Kemdikbud, khususnya Ditjen Kebudayaan, karena sebagian besar cocok dengan bidang-bidang (direktorat) yang ada di bawahnya. Acara ini seperti menghidupi tanaman bonsai yang ada di dalam kamar formal kebudayaan, bukan apa yang hidup justru di keluasan dunia luar. Kebudayaan tampaknya tidak bermakna sebagai realitas yang menggiriskan hidup kita saat ini, namun cukup sebagai komoditas yang layak untuk dikongreskan.
Tidak apa. Sungguh tidak apa. Ini bukan yang pertama. Tapi sejak dulu begitu. Seperti rakyat kita seluruhnya, seperti eksistensi bangsa dan negeri ini, kebudayaan, juga kesenian sebagai elemen utama di dalamnya, tetap akan berjalan, maju, dan menjaga kekuatan serta kesatuan kita, ada maupun tiada (dukungan) negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar