Sabtu, 12 Oktober 2013

Keadilan dan Kepastian

Keadilan dan Kepastian
Justitia Triputwasani  Sedang mengikuti Program Doktor Ilmu Hukum UGM
KORAN JAKARTA, 11 Oktober 2013


Masih adakah keadilan di negara ini? Pertanyaan tersebut secara implisit memperlihatkan sikap apatis. Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar kembali mencoreng lembaga peradilan. Banyak vonis mengecewakan. Masih ingat vonis hakim yang menyatakan Angelina Sondakh terbukti secara sah dan meyakinkan korupsi secara berlanjut dengan menerima suap 2,5 miliar dan 1,2 juta dollar AS dari Grup Permai. 

Dia dihukum 4 tahun enam bulan dan denda 250 juta rupiah. Putusan sangat jauh dari tuntutan jaksa 12 tahun dan denda 500 juta. Angelina diminta mengganti 12,58 miliar dan 2,35 juta dolar AS. Apabila tidak sanggup membayar maka diganti dengan pidana penjara dua tahun.

Ada juga kasus Prita Mulyasari, dari Tangerang. Ibu dua anak ini mantan pasien RS Omni Internasional. Dia mengeluh di jejaring sosial dan diadili. Prita dihukum 6 bulan penjara dengan percobaan satu tahun. Saat ini kasusnya dalam proses peninjauan kembali.

Kemudian, pada awal 2012 Mahkamah Agung (MA) menuai kritik tajam karena menghukum Rasminah 130 hari penjara akibat mencuri 6 piring majikannya. Jaksa menuntut 5 bulan penjara namun dibebaskan hakim PN Tangerang. Dia sempat ditahan 130 hari hingga penangguhan penahanannya dikabulkan. PN Tangerang memutus bebas Rasminah. Ternyata, jaksa kasasi ke MA.

Pro kontra putusan pengadilan biasa terjadi. Aneka pendapat justru memperkaya sebuah putusan serupa di masa datang. Dengan catatan, putusan tersebut dilaksanakan dalam proses peradilan yang adil dan jauh dari praktik mafia hukum.

Aristoteles menyampaikan, "Hukum ditentukan berdasar kesadaran etis mengenai keadilan dan ketidakadilan." Sedangkan Van Kan berpendapat, "Hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya tidak diganggu." Di samping itu, terdapat beberapa aliran yang coba merumuskan pemahaman tujuan hukum.

Aliran etis menganggap tujuan hukum pada dasarnya, semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Sementara aliran utilistis, menganggap tujuan hukum untuk mewujudkan kemanfaatan dan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi mayoritas umat manusia. 

Kemudian, aliran Yuridis Dogmatik menganggap, tujuan hukum untuk mewujudkan kepastian hukum. Aliran ini menilai, hukum yang telah tertuang dalam rumusan peraturan perundang-undangan sebagai kepastian untuk diwujudkan. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan dan tidak boleh menyimpang. Dengan demikian, ada kepastian hukum demi menciptakan tertib masyarakat sebagaimana diungkapkan Prof Sudikno Mertokusumo. 

Menurut Satjipto Rahardjo, pandangan hukum demikian, menjadi bersifat optik perskriptif. Ini memandang hukum hanya sebagai sistem kaidah yang penganalisisnya terlepas dari landasan kemasyarakatan. Aliran ini memandang ilmu hukum hanya sebagai sebuah normologi untuk menghasilkan pola "problem solving." Pandangan demikian, hanya menciptakan kemahiran sebagai tukang. Ahli yuridis hanya mahir menafsirkan dan menerapkan hukum positif.

Peran Hakim

Pandangan positivisme melahirkan legisme hukum pada hakim. Di sini, peran hakim hanyalah subsumtie automat penerap pasal undang-undang, sehingga penegakan hukum oleh hakim dalam proses peradilan tidak sama dengan penegakan keadilan. Sebab hakim hanya mengedepankan kepastian hukum melalui pendekatan legalistik formal pada ketentuan undang-undang. 

Akibatnya, dalam penegakan hukum jika hakim hanya memperhatikan kepastian, maka unsur keadilan akan terabaikan. Sebab dalam putusannya, hakim hanya menerapkan undang-undang dan hasilnya adalah kebenaran formal.

Implikasi lain dari pandangan ini, peran hakim akan mengalami simplifikasi, hanya menegakkan UU, bukan lagi keadilan. Cuplikan-cuplikan contoh kasus tadi menunjukkan besarnya pengaruh pandangan positivisme di mana kepastian hukum lebih mengedepan proses pengambilan putusan atas kasus-kasus. Hakim telah mengesampingkan rasa keadilan.

Berdasarkan paparan tersebut, tampak bahwa menegakkan hukum tidak sama dengan menegakkan keadilan. Putusan berkualitas tidak cukup mengandalkan kemahiran hakim dalam menafsirkan dan menerapkan UU. Sebab dalam realita kehidupan sehari-hari, hukum tidak selalu identik dengan keadilan. 

Sementara, bagi para pencari keadilan, putusan hakim yang berkualitas sama maknanya dengan putusan berkeadilan. Pada waktu memutus perkara, selaku penegak hukum, dalam proses peradilan, hakim menerapkan hukum demi ketertiban masyarakat dan kepastian. Jika hukum dalam UU yang akan diterapkan (ditegakkan) tidak ditemui, hakim mencari (menemukan) atau menciptakan hukum, dan memberi solusi dalam sengketa atau perkara yang ditangani. 

UU Kekuasaan Kehakiman mewajibkan hakim menggali nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Hakim bisa menciptakan hukum (rechtsfinding). Kemerdekaan kekuasaan kehakiman berada di tangan hakim. Sebagai penyelenggara negara di bidang yudikatif, hakim adalah penerap, penegak, dan penemu hukum. 

Kemerdekaan kekuasaan kehakiman di tangan hakim harus dimaknai dan diimplementasikan untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Hakim harus dapat mendekatkan (menjembatani) legal justice dengan moral justice, sehingga dalam proses peradilan yuridis keadilan dapat diwujudkan. Arahnya harus sesuai dengan tujuan utamanya dalam proses peradilan mengadili sengketa atau perkara. 

Dalam memaknai dua pandangan tersebut, Hakim Agung Syamsul Maarif berpendapat, putusan pengadilan harus didasarkan pada bukti sah dan kuat. Bila bukti tidak cukup, terdakwa harus dibebaskan. Keadilan adalah segala-galanya. Kepastian hukum bisa dinomorduakan, bila dihadapkan pada keadilan.

Putusan hakim dijatuhkan guna memberi keadilan. Penegakan hukum di samping untuk mewujudkan perlindungan terhadap masyarakat agar ada ketertiban, juga harus dapat mewujudkan keadilan. Sensitivitas hakim terhadap rasa keadilan harus tinggi agar dapat menjembatani antara kepastian hukum dan rasa keadilan tersebut. Tidak mudah memang menjalankannya karena mafia hukum tengah meraja lela. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar