|
Perserikatan
Bangsa-Bangsa telah menetapkan bahwa peringatan Hari Habitat Sedunia
diselenggarakan pada minggu pertama bulan Oktober setiap tahun. Tahun 2013,
Hari Habitat Sedunia diperingati pada tanggal1 Oktober.
Perhatian PBB
pada habitat atau secara lebih spesifik pada permukiman (human settlement),
khususnya untuk negara-negara sedang berkembang, secara formal telah
dideklarasikan pada Konferensi Habitat Internasional I di Vancouver, Kanada,
tahun 1976.
Konferensi ini
menghasilkan Deklarasi Vancouver tentang habitat yang, antara lain, menekankan
bahwa permukiman harus merupakan instrumen dan obyek pembangunan, pemenuhan
perumahan dan kelengkapannya sebagai salah satu hak mendasar manusia, khususnya
masyarakat miskin, serta pengendalian penggunaan dan kepemilikan lahan.
Sebagai
implementasi dari deklarasi tersebut, banyak negara sedang berkembang
melaksanakan berbagai program pembangunan perumahan, khususnya untuk masyarakat
kurang mampu di perkotaan.
Berlangsung
sejak pertengahan 1970-an hingga kini, program meliputi Site and Services yang
populer hingga pertengahan tahun 1980-an, perbaikan daerah kumuh,perbaikan
kampung (KIP), pembangunan infrastruktur perkotaan, konsolidasi lahan,
pemilikan rumah, dan KPR-BTN di Indonesia.
Lembaga-lembaga
dunia yang terkait dengan pembangunan, seperti Bank Dunia, Program Pembangunan
PBB (UNDP), dan Bank Pembangunan Asia, aktif mendanai.
Dua puluh
tahun kemudian, 1996, Konferensi Habitat II di Istanbul, Turki, mendeklarasikan
bahwa lingkup habitat semakin melebar, tidak hanya masalah perumahan dan
permukiman (shelter) semata, tetapi
juga perkotaan secara luas. Perkotaan harus diarahkan menjadi pusat-pusat
peradaban, pendorong kemajuan ekonomi, serta pengembangan budaya, spiritual,
dan ilmu pengetahuan.
Disadari pula
bahwa pengembangan perkotaan harus mempertimbangkan pluralitas dan mendorong
solidaritas masyarakat. Untuk meningkatkan kualitas hidup di permukiman, perlu
didorong program-program pembangunan terkait untuk mengantisipasi kepadatan
penduduk berlebihan, kekurangan perumahan, kemiskinan, lapangan kerja, serta
buruknya infrastruktur dasar dan pelayanan publik.
Demikian pula
dengan eksklusi sosial, kekerasan, serta keamanan, khususnya untuk wanita dan
anak-anak, penyandang cacat (disabled),
serta berbagai masalah sosial lain.
Aspek fisik
pembangunan perkotaan juga harus mempertimbangkan kenyataan bahwa kondisi
lingkungan hidup semakin memburuk serta rentan terhadap bencana, baik alam
maupun akibat ulah manusia.
Lebih dari
sekadar menekankan habitat dengan pembangunan di perkotaan, Deklarasi Istanbul
juga menyoroti hubungan perkotaan dengan perdesaan. Perkembangan perkotaan
sangat terkait dengan apa yang terjadi di wilayah perdesaan. Pengembangan
wilayah secara terintegrasi akan mengurangi laju mobilitas penduduk dari perdesaan
ke perkotaan.
Untuk itu
Deklarasi Vancouver menekankan kembali pentingnya pembangunan kota-kota kecil
dan menengah di negara-negara berkembang, yang kemungkinan besar sudah
termarjinalkan.
Tantangan ke depan
Banyak
rekomendasi Deklarasi Vancouver dan Istanbul yang telah dilaksanakan di
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Memang tujuan dan agenda dalam
kedua deklarasi tersebut masih relevan hingga sekarang. Namun, perlu disadari
bahwa kondisi permukiman akan semakin dipengaruhi oleh perkembangan
sosio-ekonomi dan politik skala global.
Di samping
itu, dalam konteks Indonesia, kebijakan desentralisasi dan demokratisasi juga
akan sangat berpengaruh pada perkembangan perkotaan.
Kota-kota
besar semakin memerankan fungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi berskala global,
baik kegiatan industri, jasa-jasa keuangan, maupun lainnya, bahkan menjadi
pusat konsumsi produk perusahaan transnasional. Dalam kondisi seperti ini,
sesungguhnya keterkaitan (linkage) kota-kota besar dengan kota-kota kecil dan
menengah, apalagi dengan wilayah perdesaan, cenderung melemah, kecuali untuk
sektor-sektor ekonomi informal. Ini karena kota-kota besar tersebut lebih
banyak menjadi ”pelayan” ekonomi global. Hal ini akan semakin mendorong
disparitas kota-kota besar dengan kota-kota kecil dan wilayah perdesaan.
Tantangan lain
yang perlu mendapat perhatian adalah dampak negatif perubahan iklim pada
kota-kota besar, khususnya yang berlokasi di tepi pantai, karena memicu banjir
dan rob (tidal flood), pemanasan, dan lainnya.
Seperti telah
banyak dibahas, hal ini menghendaki upaya mitigasi dan adaptasi yang
direncanakan. Pertanyaannya, sejauh mana hal tersebut telah diadopsi dalam
penataan ruang kota dan perkotaan?
Dalam era
otonomi daerah dan desentralisasi, pembangunan wilayah perkotaan yang bersifat
lintas kota dan kabupaten, seperti Jabodetabekjur, jelas tidak dapat dilakukan
secara parsial oleh kota dan kabupaten, tetapi harus terintegrasi sebagai suatu
kesatuan wilayah perkotaan.
Satu kenyataan
bahwa dewasa ini kota dan kabupaten memiliki kewenangan luas dalam mengelola
pembangunan di wilayahnya masing-masing, seperti dijamin Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Padahal, di sisi lain, belum banyak
pengalaman membangun tata kelola seperti ini.
Berbagai aspek
dalam Deklarasi Vancouver (1976) dan Deklarasi Istanbul (1996) mengenai habitat
masih relevan hingga kini. Namun, dengan perkembangan yang terjadi serta
kecenderungannya ke depan, seyogia- nya agenda-agenda habitat, −baik dari PBB,
pemerintah pusat, maupun pemerintah kota di Indonesia−, perlu diperluas dan
disesuaikan dengan tantangan-tantangan baru bagi pembangunan perkotaan. Dengan
kata lain, yang sangat diperlukan adalah kehadiran sebuah kebijakan pembangunan
perkotaan secara nasional yang diprogramkan dan dilaksanakan secara konsisten. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar