Rabu, 09 Oktober 2013

“ASEAN Centrality” dan Peran Bebas Aktif Indonesia

“ASEAN Centrality” dan Peran Bebas Aktif Indonesia
Adhe Nuansa W  Peneliti Politik ASEAN di The Habibie Center
SINAR HARAPAN, 08 Oktober 2013

  
Pada 9 Oktober 2013 mendatang para pemimpin Asia Pasifik akan bertemu dalam East Asian Summit (EAS) di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam. Bersama dengan ASEAN dan APEC, EAS merupakan elemen penting dari proses penguatan regionalisme di kawasan Asia Pasifik.
EAS adalah pertemuan tingkat tinggi para pemimpin negara dalam pembangunan kerja sama dan dialog strategis untuk menghadapi berbagai permasalahan di kawasan Asia Pasifik. EAS juga merupakan grup regionalisme yang signifikan dengan peranan penting untuk memperdalam integrasi dan kerja sama yang lebih erat dalam dinamika politik di kawasan.

Keanggotaan EAS terdiri atas sepuluh negara ASEAN (Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Myanmar, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam) dan delapan negara lainnya yaitu Amerika Serikat, Australia, China, India, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Rusia. Pada dasarnya, EAS merupakan forum yang dikembangkan blok negara-negara ASEAN dan terkait dengan KTT ASEAN.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ASEAN dapat menjaga soliditas dan netralitasnya dalam menghadapi pengaruh negara besar dalam EAS ini? Terutama pengaruh dua kekuatan besar Amerika serikat (AS) dan China. Satu hal yang dirasa mampu menjawab pertanyaan ini adalah adanya gagasan ASEAN Centrality.

“ASEAN Centrality”

ASEAN Centrality merupakan gagasan yang melihat ASEAN sebagai “kekuatan pendorong dalam memetakan perkembangan aristektur kawasan”. ASEAN Centrality menjadikan ASEAN sebagai “pihak yang netral” bagi negara adidaya untuk bertemu dan mencegah dominasi kekuatan tunggal di kawasan Asia Pasifik.

ASEAN Centrality kemudian dilihat sebagai upaya meningkatkan daya tawar politik sepuluh negara ASEAN kepada negara adidaya di kawasan seperti AS dan China yang diharapkan dapat mencegah dominasi dan marjinalisasi politik dari dua kekuatan besar ini.

ASEAN Centrality akan mendapatkan tantangan yang besar di tengah strategi rebalancing AS dan kebangkitan politik China. ASEAN Centrality akan berhadapan dengan strategi rebalancing AS, yaitu strategi untuk mengembalikan keseimbangan intervensi geopolitik AS yang menjadi “overweight” di Timur Tengah dan “underweight” di Asia Pasifik. Selain itu, rebalancing AS ke Asia Pasifik merupakan upaya menyeimbangkan pengaruh China di kawasan tersebut.

Terkait dengan strategi rebalancing AS ini, Menteri Pertahanan AS, Leon Panetta, pada Asia Security Summit di Singapura, menyatakan akan melakukan penyebaran Angkatan Laut AS yang berdampak pada peningkatan jumlah personel angkatan laut AS di kawasan Asia Pasifik, penempatan marinir AS di Australia, pengiriman kapal tempur Littoral Combat ke Singapura dan penguatan komitmen dalam perjanjian pertahanan dengan sekutu AS di kawasan tersebut.

Di sisi lainnya, suksesi politik China di bawah kepemimpinan baru, Presiden Xi Jinping, memunculkan pertanyaan mengenai masa depan hubungan Beijing dengan kekuatan utama lainnya di kawasan termasuk AS dan ASEAN. Presiden Xi Jinping terkait dengan posisi China di kawasan menyatakan, “memperhatikan kontradiksi antara upaya penguatan China untuk melindungi hak maritimnya dan keinginan untuk menjaga stabilitas regional”.

Ia menegaskan keinginan China untuk “menjaga kedaulatan nasional sekaligus mencari pemecahan masalah yang relevan melalui dialog”. Ia juga berkomitmen untuk melindungi “kepentingan nasional” China termasuk isu Laut China Selatan, Xinjiang, Tibet, Taiwan, dan Kepulauan Senkaku.

Peran Bebas Aktif Indonesia

Indonesia tidak boleh bersikap reaksioner terhadap strategi yang dilakukan AS dan China, tetapi 
berusaha untuk menciptakan keseimbangan permainan.

Selama ini kawasan Asia Tenggara menjadi begitu terfragmentasi karena telah menjadi objek kolonialisme hingga abad ke-20 dan kompetisi kekuatan besar pada Perang Dingin. Asia Tenggara sedemikian terpisah antara satu dengan lainnya sehingga secara tradisional telah digunakan pada proxy war baik selama era kolonialisme maupun Perang Dingin.

Indonesia dapat memperkuat peranan ASEAN sebagai penyeimbang dengan ikut berperan mengelola kerja sama ekonomi dan politik di antara ASEAN dan mitranya. Keterlibatan antara ASEAN dengan negara Asia Pasifik lainnya menjadi bagian penting untuk menghadapi tantangan yang kompleks di kawasan dan harus diperkuat secara terus-menerus.

Posisi Indonesia dalam merespons kebijakan AS dan China di kawasan, dapat dilihat pada konsep dynamic equillibrium, yang diangkat Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa, yang berarti tidak ada satu negarapun di kawasan yang mendominasi.

Dengan memilih strategi dynamic equillibrium, Indonesia mendorong agar para aktor di ASEAN bersedia berbagi ruang tanpa satu negara menjadi lebih dominan sehingga dynamic equillibrium akan menghasilkan lebih banyak forum partisipatif terbuka yang akan meningkatkan signifikansi dari ASEAN Centrality.

Marty Natalegawa kemudian menegaskan bahwa “ASEAN tidak akan membiarkan kawasan ini menjadi arena kompetisi untuk negara-negara yang menganggap dirinya sebagai kekuatan besar, siapa pun dan kapan pun”.

Oleh karena itu, menjadi penting bagi gagasan ASEAN Centrality untuk diubah menjadi sesuatu yang relevan sehingga ASEAN tidak hanya menjadi regionalisme yang mudah dikendalikan secara eksternal. Sebaliknya, negara-negara anggota ASEAN harus menjadi aktor untuk memutuskan apa yang terbaik bagi kawasan ASEAN.


Dengan demikian Indonesia telah mendorong agar ASEAN dapat berlaku bebas aktif dalam merespons kekuatan pengaruh AS dan China di kawasan. Indonesia mendorong penguatan ASEAN Centrality sebagai cara agar negara-negara anggota ASEAN dapat meningkatkan daya tawar politiknya dalam menghadapi AS dan China. Melalui ASEAN Centrality, diharapkan istilah “ASEAN to speak with one voice” akan benar-benar terwujud menjadi sebuah kenyataan.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar