|
SUDAH terlalu banyak korupsi di negeri ini. Dari korupsi mini
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena gaji yang juga mini sampai korupsi
sistemik, yaitu korupsi yang sudah dianggap sebagai bagian dari sistem,
misalnya: gratifikasi. Bahkan korupsi maksi (di atas Rp 1 miliar) karena nafsu
serakah seperti yang dilakukan para terpidana KPK.
KPK memang sudah bekerja keras. Sejauh ini hasilnya sudah
sama-sama kita saksikan. Vonis hakim memang bersifat relatif, bisa dianggap
adil atau tidak adil, karena keadilan itu banyak versinya. Namun, yang jelas,
korupsi tetap saja berlanjut. Tidak ada efek jera seperti yang diharapkan,
apalagi mengingat keterbatasan jumlah tenaga dan dana. KPK mesti bikin
prioritas dan prioritas ini dalam dunia politik artinya tebang-pilih.
Baru-baru ini saya mengikuti sebuah diskusi intern yang
diadakan di suatu kementerian dalam rangka sosialisasi pemberantasan korupsi.
Di situ dibahas beberapa peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri
(permen) tentang pemberantasan korupsi.
Kesan saya dari diskusi itu: para peserta (umumnya birokrat
eselon I dan II) terlalu banyak— atau bahkan hanya—bicara soal hukum (UU,
peraturan) dan penegakan hukum. Acuannya teori-teori yang di ilmu kriminologi
mutakhir sudah ditinggalkan. Padahal hukum, UU dan peraturan yang dibuat sudah
banyak, tumpang tindih, bahkan ada yang berlawanan sehingga para pejabat pusing
melaksanakannya, bagaimana pula akan menyosialisasikannya?
Tak dianggap salah
Menghukum koruptor tak salah. Jera atau tidak, mereka patut
dapat ganjaran. Namun, mengharapkan korupsi berkurang dari negeri ini, jangan
diharapkan. Seribu KPK tak akan menuntaskan masalah korupsi karena di Indonesia
korupsi sudah menjadi budaya, bukan sekadar perilaku orang per orang, seperti yang
diatur oleh hukum pidana. KPK (juga polisi, jaksa, dan hakim) yang pada
dasarnya melaksanakan KUHP (plus aksesorinya), hanya bekerja di bagian hilir
dari budaya korupsi (perilaku individual), tak termasuk bagian hulunya (cara
berpikir masyarakat).
Kebudayaan, menurut antropolog Koentjaraningrat, terdiri atas
tiga komponen: kepercayaan (dalam psikologi disebut kognisi), perilaku, dan
artefak (benda- benda budaya) yang berlaku, diikuti dan dilaksanakan oleh suatu
masyarakat tertentu.
Korupsi memenuhi ketiga komponen itu. Di Indonesia, korupsi
tidak dianggap (kognitif) sebagai sesuatu yang salah. Bahkan jika seseorang
jadi pejabat, ia wajib membagi keberuntungannya dengan keluarga di kampung
(perilaku). Naik haji begitu pentingnya (kognitif) sehingga ada Haji Abidin
(atas biaya dinas). Agama itu utama, karena itu tiap Jumat masjid penuh, tetapi
korupsi juga tidak apa-apa, jadi Kementerian Agama pun terlibat korupsi Al
Quran (perilaku). Artefak-artefak dari budaya korupsi adalah materi (mobil,
rumah mewah, artis cantik, tanda pangkat, lambang-lambang jabatan di dada), dan
hal itulah yang dijadikan ukuran keberhasilan seseorang, bahkan dipuja dalam
budaya korupsi.
Artefak budaya korupsi
Melawan budaya korupsi, jadinya, harus dengan budaya juga
(anti-korupsi). Caranya dengan mengintervensi ketiga komponen budaya tersebut.
Pertama, tentu saja melalui komponen kognitif, termasuk
melalui program pendidikan umum, agama, maupun budi pekerti, lengkap
contoh-contohnya. Tapi metode ini biasanya terlalu lama, tidak cepat hasil, dan
hasilnya pun tidak kasatmata. Karena itu sering dianggap sia-sia.
Cara yang lebih cepat dan efisien melalui artefak dan/atau
perilaku. Dulu ada pepatah, ”guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
Dalam pepatah itu tersirat bahwa zaman dulu cara kencing yang baik ya jongkok.
Tetapi sekarang semua laki-laki kencing berdiri karena sudah ada teknologi
(artefak) toilet yang mencegah air kencing muncrat ke mana-mana.
Dalam pemberantasan budaya korupsi juga perlu diciptakan
artefak yang memaksa orang berperilaku tertentu (anti-korupsi), yang dalam
tempo tak terlalu lama akan diinternalisasikan sebagai keyakinan. Salah satu
contoh artefak yang sudah dilaksanakan pemerintah adalah e-KTP. Dengan e-KTP,
tak mungkin lagi ada KTP bodong atau KTP palsu (sumber korupsi).
Contoh intervensi perilaku yang sudah dilakukan pemerintah
adalah lelang jabatan oleh Pemprov DKI. Dengan lelang jabatan, tak ada lagi
peluang kolusi atau nepotisme dan pejabat-pejabat yang terpilih pun nyatanya
sudah berprestasi bagus.
Mungkin instansi-instansi pemerintah sekarang perlu berlomba
kreativitas untuk menciptakan metode intervensi perilaku ataupun artefak untuk
mencegah korupsi sehingga pada suatu hari anak-anak gaul pun bisa bicara
seperti ini: ”Hari gini..., masih
korupsi?” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar