Jumat, 04 Oktober 2013

Dicari, Capres Berbonus Demografi

Dicari, Capres Berbonus Demografi
Effendi Gazali  ;  Peneliti Komunikasi Politik,
Alumnus Cornell University (USA) dan Nijmegen University (Belanda)
MEDIA INDONESIA, 03 Oktober 2013


INDONESIA tengah harubiru dengan momen komunikasi politik. Mulai dari deklarasi capres, konvensi, hingga kampanye di lapangan. Berbagai hal dilontarkan dalam orasi dan wawancara. Pasti amat menarik jika ada analisis isi berkelanjutan terhadap apa saja yang diutarakan.

Saya cukup beruntung agak banyak mendengar dari kalangan yang mengajukan diri sebagai capres. Entah itu yang resmi maju lewat konvensi atau lewat deklarasi, serta yang disebut-sebut media dan lembaga survei sebagai capres. Untunglah beberapa di antara mereka berbicara juga tentang ‘bonus demografi’. Kenapa digunakan istilah untunglah? Pada kenyataannya memang tidak banyak capres yang berbicara secara khusus, serius, dan dalam tentang fakta yang sesungguhnya sedang dialami atau melanda bangsa kita.

Lain capres, lain pula presiden dan mantan presiden. Fenomena bonus demografi harus langsung atau tidak langsung dikaitkan dengan mantan Presiden Soeharto. Tidak berlebihan untuk mengatakan, fenomena ini merupakan bonus dari hasil jangka panjang program Keluarga Berencana (KB) yang dilaksanakan secara nasional sejak 1970-an. Tingginya tingkat kelahiran pada dekade 1960-an dan 1970-an menyebabkan meningkatnya jumlah kelompok usia muda (15 tahun ke atas) sejak kurun 1990-an. Di sisi lain, keberhasilan program KB yang mulai terasa pada dekade 1980-an ialah menurunkan jumlah penduduk di bawah 15 tahun.

Pengertian bonus demografi secara umum mengacu pada kondisi rasio ketergantungan (dependency ratio), yaitu perbandingan antara jumlah penduduk usia nonproduktif (0-14 tahun ditambah dengan 64 tahun ke atas) dan penduduk usia produktif (15-64 tahun) menurun secara berkelanjutan. Pada kurun waktu tertentu tingkat ketergantungan tersebut berada pada kondisi yang sangat rendah sebelum meningkat seiring dengan meningkatnya proporsi penduduk lanjut usia. Kurun waktu dengan tingkat ketergantungan yang sangat rendah tersebut dapat dianggap sebagai jendela peluang (window of opportunity) karena pada periode itu ada kesempatan menjadikan faktor demografi sebagai pendorong kemajuan bangsa.

Berbagai peneliti dan pemerhati telah berulang kali menyebut 2020-2030 sebagai periode dengan kesempatan emas memanfaatkan bonus tersebut. Rasio ketergantungan kala itu diprediksi hanya 44%. Artinya 100 penduduk usia produktif diprediksi menanggung 44 orang tak produktif. Jumlah penduduk Indonesia akan berkisar antara 268 juta jiwa (2020) dan 293 juta jiwa (2030). Jumlah penduduk usia produktif pada kurun waktu itu adalah 198,5 juta dan 200,3 juta jiwa.

Sesudah Pak Harto

Jadi, lepas dari ada yang suka atau tidak pada HM Soeharto, pemerintahan Orde Baru-nya telah banyak berperan untuk mengantarkan bonus yang sedang kita alami dan akan berpuncak sekitar 7 tahun lagi. Padahal jika dilihat dari keluarganya, Pak Harto bukan contoh ideal KB. Keluarganya cukup besar jika dibandingkan dengan tujuan slogan ‘Cukup 2 Anak’ dan semacamnya (seperti ‘2 Anak Lebih Baik’ dan lainlain). Bandingkan misalnya dengan Pak SBY, yang bisa jadi simbol ideal program KB.

Namun, KB terasa gemanya dan dipuja dunia di masa HM Soeharto. Barangkali karena Pak Harto tahu persis mengenai keluarganya, maka yang amat terasa berperan pada waktu itu adalah BKKBN. Saat itu artinya Badan Koordinasi  Keluarga Berencana Nasional, dengan wajah tenarnya Profesor Doktor Haryono Suyono.

Lalu bagaimana secara umum sesudah Pak Harto? Banyak yang khawatir, atau malah sinis berujar jangan-jangan para presiden kita hanya berbicara soal KB pada peringatan KB atau Hari Keluarga Nasional dan sejenisnya. Kurang dalamnya perhatian para presiden kita belakangan ini terhadap KB, makin diperburuk dengan era otonomi daerah.

Makin lama makin tak pernah jelas lagi garis koordinasi. Uniknya, walau agak terlambat, Wakil Presiden Boediono mengakui juga. “Ini pasti ada sesuatu yang hilang,“ katanya saat membuka Temu Nasional KB dalam rangka Hari Kontrasepsi Sedunia (26/9/2013).

Wapres minta sesuatu yang hilang itu harus dicari bersama. Karena program KB menjadi kunci kemajuan bangsa. Untuk meningkatkan kualitas SDM, perlu menaikkan tingkat pendidikan dan derajat kesehatan, dan ini dimulai dari individu dalam keluarga. Di sinilah peran program KB. Kemajuan bangsa juga ter kait dengan kualitas individu dan keluarga. Lebih tajam, Boediono menyatakan, “Di masa otonomi ini, sesuatu yang hilang itu adalah jalur komando.“

Para pemerhati dengan gampang melihat program KB seperti terserak di aneka dinas daerah. Ditambah lagi dengan anggaran nasional untuk program ini yang relatif sekadarnya jika dibandingkan dengan tantangan yang sedang dihadapinya, terutama karena namanya kini men jadi makin komprehensif untuk konsolidasi. BKKBN sebagai Badan Kependudu kan dan Keluarga Berencana Nasional memang harus ber ada di garis depan menangani bonus demografi.

Fakta bonus

Apa yang sedang dihadapi BKKBN sudah terlihat dalam komposisi penduduk usia produktif (15-64 tahun) pada 2010 yang mencapai 66% dari jumlah penduduk. Atau di sekitar angka 157 juta jiwa. Sementara pekerja usia muda (1524 tahun) menjadi 26,8%. Atau di seputar angka 64 juta jiwa. Angka ketergantungan pun di tingkat 51% atau 100 penduduk usia produktif menanggung 51 orang penduduk tak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun).
Namun, bagaimana dengan kualitas bonus ini?

Jumlah pengangguran terbuka nasional pada 2011 diperkirakan mencapai 6,56%. Atau sekitar 7,7 juta jiwa. Lebih tajam lagi, pengangguran terbuka usia muda (15-24 tahun) menyentuh 5,3 juta jiwa. Bahkan 20% di antaranya (1,06 juta jiwa) merupakan lulusan perguruan tinggi.
Pastilah pemerintah segera bisa mengeluarkan berbagai alasan untuk tidak merasa khawatir dengan angka-angka tersebut. Toh Indonesia sejak awal 2000 sampai saat ini terus menikmati pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan.
Tidak banyak negara di dunia seperti Indonesia yang dapat melalui beberapa kali guncangan krisis ekonomi secara global. Di antara banyak faktor yang mendukung pertumbuhan ekonomi tersebut adalah besarnya konsumsi dalam negeri. Juga disebut-sebut tentang kreativitas dan produktivitas penduduk usia muda kita.

Akan tetapi, jika pemerintah mau lebih jujur, terlihat dengan mudah bagaimana pembangunan infrastruktur masih terseok-seok. Demikian pula kesempatan menikmati pendidikan berkualitas yang terhitung lamban, walau belakangan porsi APBN untuk pendidikan digenjot membesar. Bersamaan dengan itu, prosesproses pembentukan spirit, energi, dan karya kreatif pun tidak banyak terlihat. Isi media massa kita, khususnya televisi, cenderung tidak menggugah ke arah tersebut.

Kementerian atau institusi negara di bidang riset, teknologi, ekonomi kreatif, kepemudaan, komunikasi, teknologi informasi, koperasi, kredit usaha kecil, terlihat begitu-begitu saja tanpa terobosan berarti. Jadinya kita memiliki angkatan kerja yang unik. Sebagian yang hanya berpendidikan dasar atau tidak sempat mengenyam pendidikan sama sekali, siap bekerja apa saja serabutan.
Yang berpendidikan sedang dan menengah sering kali terhalang permodalan dan sulitnya menaklukkan kenyataan terbatasnya infrastruktur. Sementara yang berpendidikan tinggi, tetapi menganggur mencoba ke sana-kemari mengharapkan gaji dan fasilitas yang tinggi.

Secara umum dapat dikatakan bahwa sumber daya manusia kita masih belum berkualitas untuk menghadapi bonus demografi yang sudah kita rasakan. Mereka pun masih belum terserap dalam pasar kerja. Nasib perempuan dalam pasar kerja umumnya lebih menyedihkan. Tambah lagi, berbagai jaminan sosial belum tersedia. Karena itu, jangan mengharapkan adanya tabungan pada tingkat rumah tangga.

Capres peduli

Dalam konteks tantangan sekompleks itu, kita tentu berharap mendapat capres yang peduli pada bonus demografi. Betul semua capres sedang berlomba-lomba blusukan, dan semua itu baik-baik saja. Ada juga capres versi publik yang telaten memindahkan mereka yang tinggal secara liar di waduk-waduk, menertibkan pedagang kaki lima, dan lainlain. Semua ini tentu amat layak dipuji. Namun, hal tersebut perlu pula dilihat sebagai akibat dari ketidaksiapan pemimpin nasional dan pemimpin daerah terdahulu menghadapi bonus demografi.


Dengan demikian, para capres mestinya punya gagasan besar dan saling berkontestasi untuk 
menghadapi bonus demografi saat ini dan pada puncaknya pada 2020-2030. Capres kita juga seyogianya memiliki visi yang sama dengan visi BKKBN menuju penduduk tumbuh seimbang 2015; dan keluarga berkualitas yang ditandai dengan menurunnya angka fertilitas (TFR) menjadi 2,1 dan net reproductive rate (NRR)= 1. Hanya dengan kesiapan seperti ini, kita bisa merasakan manfaat fenomena bonus demografi, serta komposisi yang terjadi sesudah 2030. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar