|
INDONESIA tengah harubiru dengan momen komunikasi politik.
Mulai dari deklarasi capres, konvensi, hingga kampanye di lapangan. Berbagai
hal dilontarkan dalam orasi dan wawancara. Pasti amat menarik jika ada analisis
isi berkelanjutan terhadap apa saja yang diutarakan.
Saya
cukup beruntung agak banyak mendengar dari kalangan yang mengajukan diri
sebagai capres. Entah itu yang resmi maju lewat konvensi atau lewat deklarasi,
serta yang disebut-sebut media dan lembaga survei sebagai capres. Untunglah
beberapa di antara mereka berbicara juga tentang ‘bonus demografi’. Kenapa
digunakan istilah untunglah? Pada kenyataannya memang tidak banyak capres yang
berbicara secara khusus, serius, dan dalam tentang fakta yang sesungguhnya
sedang dialami atau melanda bangsa kita.
Lain
capres, lain pula presiden dan mantan presiden. Fenomena bonus demografi harus
langsung atau tidak langsung dikaitkan dengan mantan Presiden Soeharto. Tidak
berlebihan untuk mengatakan, fenomena ini merupakan bonus dari hasil jangka
panjang program Keluarga Berencana (KB) yang dilaksanakan secara nasional sejak
1970-an. Tingginya tingkat kelahiran pada dekade 1960-an dan 1970-an
menyebabkan meningkatnya jumlah kelompok usia muda (15 tahun ke atas) sejak
kurun 1990-an. Di sisi lain, keberhasilan program KB yang mulai terasa pada
dekade 1980-an ialah menurunkan jumlah penduduk di bawah 15 tahun.
Pengertian
bonus demografi secara umum mengacu pada kondisi rasio ketergantungan (dependency ratio), yaitu perbandingan
antara jumlah penduduk usia nonproduktif (0-14 tahun ditambah dengan 64 tahun
ke atas) dan penduduk usia produktif (15-64 tahun) menurun secara
berkelanjutan. Pada kurun waktu tertentu tingkat ketergantungan tersebut berada
pada kondisi yang sangat rendah sebelum meningkat seiring dengan meningkatnya
proporsi penduduk lanjut usia. Kurun waktu dengan tingkat ketergantungan yang
sangat rendah tersebut dapat dianggap sebagai jendela peluang (window of opportunity) karena pada
periode itu ada kesempatan menjadikan faktor demografi sebagai pendorong kemajuan
bangsa.
Berbagai
peneliti dan pemerhati telah berulang kali menyebut 2020-2030 sebagai periode
dengan kesempatan emas memanfaatkan bonus tersebut. Rasio ketergantungan kala
itu diprediksi hanya 44%. Artinya 100 penduduk usia produktif diprediksi menanggung
44 orang tak produktif. Jumlah penduduk Indonesia akan berkisar antara 268 juta
jiwa (2020) dan 293 juta jiwa (2030). Jumlah penduduk usia produktif pada kurun
waktu itu adalah 198,5 juta dan 200,3 juta jiwa.
Sesudah Pak Harto
Jadi, lepas dari ada yang suka atau
tidak pada HM Soeharto, pemerintahan Orde Baru-nya telah banyak berperan untuk mengantarkan
bonus yang sedang kita alami dan akan berpuncak sekitar 7 tahun lagi. Padahal
jika dilihat dari keluarganya, Pak Harto bukan contoh ideal KB. Keluarganya cukup
besar jika dibandingkan dengan tujuan slogan ‘Cukup 2 Anak’ dan semacamnya
(seperti ‘2 Anak Lebih Baik’ dan lainlain). Bandingkan misalnya dengan Pak SBY,
yang bisa jadi simbol ideal program KB.
Namun, KB terasa gemanya dan
dipuja dunia di masa HM Soeharto. Barangkali karena Pak Harto tahu persis
mengenai keluarganya, maka yang amat terasa berperan pada waktu itu adalah
BKKBN. Saat itu artinya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, dengan wajah
tenarnya Profesor Doktor Haryono Suyono.
Lalu bagaimana secara umum sesudah
Pak Harto? Banyak yang khawatir, atau malah sinis berujar jangan-jangan para presiden
kita hanya berbicara soal KB pada peringatan KB atau Hari Keluarga Nasional dan
sejenisnya. Kurang dalamnya perhatian para presiden kita belakangan ini
terhadap KB, makin diperburuk dengan era otonomi daerah.
Makin lama makin tak pernah
jelas lagi garis koordinasi. Uniknya, walau agak terlambat, Wakil Presiden
Boediono mengakui juga. “Ini pasti ada sesuatu yang hilang,“ katanya saat membuka
Temu Nasional KB dalam rangka Hari Kontrasepsi Sedunia (26/9/2013).
Wapres
minta sesuatu yang hilang itu harus dicari bersama. Karena program KB menjadi
kunci kemajuan bangsa. Untuk meningkatkan kualitas SDM, perlu menaikkan tingkat
pendidikan dan derajat kesehatan, dan ini dimulai dari individu dalam keluarga.
Di sinilah peran program KB. Kemajuan bangsa juga ter kait dengan kualitas
individu dan keluarga. Lebih tajam, Boediono menyatakan, “Di masa otonomi ini,
sesuatu yang hilang itu adalah jalur komando.“
Para
pemerhati dengan gampang melihat program KB seperti terserak di aneka dinas
daerah. Ditambah lagi dengan anggaran nasional untuk program ini yang relatif
sekadarnya jika dibandingkan dengan tantangan yang sedang dihadapinya, terutama
karena namanya kini men jadi makin komprehensif untuk konsolidasi. BKKBN
sebagai Badan Kependudu kan dan Keluarga Berencana Nasional memang harus ber
ada di garis depan menangani bonus demografi.
Fakta bonus
Apa
yang sedang dihadapi BKKBN sudah terlihat dalam komposisi penduduk usia
produktif (15-64 tahun) pada 2010 yang mencapai 66% dari jumlah penduduk. Atau
di sekitar angka 157 juta jiwa. Sementara pekerja usia muda (1524 tahun)
menjadi 26,8%. Atau di seputar angka 64 juta jiwa. Angka ketergantungan pun di
tingkat 51% atau 100 penduduk usia produktif menanggung 51 orang penduduk tak
produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun).
Namun,
bagaimana dengan kualitas bonus ini?
Jumlah
pengangguran terbuka nasional pada 2011 diperkirakan mencapai 6,56%. Atau sekitar
7,7 juta jiwa. Lebih tajam lagi, pengangguran terbuka usia muda (15-24 tahun)
menyentuh 5,3 juta jiwa. Bahkan 20% di antaranya (1,06 juta jiwa) merupakan
lulusan perguruan tinggi.
Pastilah
pemerintah segera bisa mengeluarkan berbagai alasan untuk tidak merasa khawatir
dengan angka-angka tersebut. Toh Indonesia sejak awal 2000 sampai saat ini
terus menikmati pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan.
Tidak banyak negara di dunia seperti Indonesia yang dapat melalui beberapa kali
guncangan krisis ekonomi secara global. Di antara banyak faktor yang mendukung
pertumbuhan ekonomi tersebut adalah besarnya konsumsi dalam negeri. Juga
disebut-sebut tentang kreativitas dan produktivitas penduduk usia muda kita.
Akan
tetapi, jika pemerintah mau lebih jujur, terlihat dengan mudah bagaimana
pembangunan infrastruktur masih terseok-seok. Demikian pula kesempatan
menikmati pendidikan berkualitas yang terhitung lamban, walau belakangan porsi
APBN untuk pendidikan digenjot membesar. Bersamaan dengan itu, prosesproses
pembentukan spirit, energi, dan karya kreatif pun tidak banyak terlihat. Isi
media massa kita, khususnya televisi, cenderung tidak menggugah ke arah
tersebut.
Kementerian
atau institusi negara di bidang riset, teknologi, ekonomi kreatif, kepemudaan,
komunikasi, teknologi informasi, koperasi, kredit usaha kecil, terlihat
begitu-begitu saja tanpa terobosan berarti. Jadinya kita memiliki angkatan
kerja yang unik. Sebagian yang hanya berpendidikan dasar atau tidak sempat
mengenyam pendidikan sama sekali, siap bekerja apa saja serabutan.
Yang berpendidikan sedang dan menengah sering kali terhalang permodalan dan
sulitnya menaklukkan kenyataan terbatasnya infrastruktur. Sementara yang
berpendidikan tinggi, tetapi menganggur mencoba ke sana-kemari mengharapkan
gaji dan fasilitas yang tinggi.
Secara
umum dapat dikatakan bahwa sumber daya manusia kita masih belum berkualitas
untuk menghadapi bonus demografi yang sudah kita rasakan. Mereka pun masih
belum terserap dalam pasar kerja. Nasib perempuan dalam pasar kerja umumnya
lebih menyedihkan. Tambah lagi, berbagai jaminan sosial belum tersedia. Karena
itu, jangan mengharapkan adanya tabungan pada tingkat rumah tangga.
Capres peduli
Dalam
konteks tantangan sekompleks itu, kita tentu berharap mendapat capres yang
peduli pada bonus demografi. Betul semua capres sedang berlomba-lomba blusukan,
dan semua itu baik-baik saja. Ada juga capres versi publik yang telaten
memindahkan mereka yang tinggal secara liar di waduk-waduk, menertibkan
pedagang kaki lima, dan lainlain. Semua ini tentu amat layak dipuji. Namun, hal
tersebut perlu pula dilihat sebagai akibat dari ketidaksiapan pemimpin nasional
dan pemimpin daerah terdahulu menghadapi bonus demografi.
Dengan
demikian, para capres mestinya punya gagasan besar dan saling berkontestasi
untuk
menghadapi bonus demografi saat ini dan pada puncaknya pada 2020-2030.
Capres kita juga seyogianya memiliki visi yang sama dengan visi BKKBN menuju
penduduk tumbuh seimbang 2015; dan keluarga berkualitas yang ditandai dengan
menurunnya angka fertilitas (TFR) menjadi 2,1 dan net reproductive rate (NRR)= 1. Hanya dengan kesiapan seperti ini,
kita bisa merasakan manfaat fenomena bonus demografi, serta komposisi yang
terjadi sesudah 2030. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar