|
SAAT ini, kaum buruh
sedang melakukan perjuangan menuntut kenaikan upah minimum 2014 sebesar 50
persen dan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta Rp3,7 juta. Tentu saja para
pengusaha menentang tuntutan kenaikan upah tersebut. Mereka beralasan, tuntutan
kenaikan upah 50 persen itu tidak rasional dan bisa menyebabkan PHK. Krisis
mata uang Rupiah yang saat ini sedang melanda Indonesia menjadi alasan
tambahan. Tak cukup menolak, para pengusaha ini juga memunculkan wacana
yang mencitrakan buruh sebagai pihak yang memaksakan kehendak dan egois.
Pertanyaannya, betulkah kenaikan upah minimum 50 persen itu tidak rasional?
Komponen-komponen output
industri
Untuk menjawab pertanyaan
di atas, kita harus mengetahui terlebih dahulu proporsi komponen-komponen yang
membentuk output atau ‘nilai keluaran yang dihasilkan oleh kegiatan industri.’
Dalam statistik industri resmi yang dihitung secara tahunan, output tidak hanya
terdiri dari barang jadi, tetapi juga tenaga listrik yang dijual; jasa industri
yang dijual; penambahan stok barang setengah jadi, dan penerimaan dari jasa
non-industri. Pasalnya, dalam kegiatan industri selama setahun, pengusaha juga
menjual listrik yang tidak terpakai, menjual jasa industri dan non-industri
kepada pihak lain, serta menghasilkan barang setengah jadi. Meski demikian,
sebagian besar output terdiri dari barang jadi.
Lalu, apa saja komponen
yang membentuk output? Dalam proses produksi, barang jadi dibentuk oleh dua
komponen dasar, yakni alat-alat produksi dan tenaga kerja. Alat-alat produksi
dalam statistik industri dibagi menjadi dua macam, yakni input (atau biaya
antara) dan modal tetap. Input dengan modal tetap dibedakan, karena input
‘habis dipakai’ dalam setahun produksi, sementara modal tetap tidak habis
dipakai dalam setahun, sehingga yang dihitung hanyalah ‘pengurangan atau
penyusutan nilainya’ saja. Tercakup dalam input adalah bahan baku, bahan bakar,
bermacam alat (gedung, mesin, dll.) yang disewa, dan pengeluaran lainnya.
Sementara, tercakup dalam modal tetap adalah bermacam alat (gedung, mesin,
dll.) yang bisa digunakan lebih dari setahun dan dimiliki sendiri (bukan disewa)
oleh pengusaha.
Jika biaya alat produksi
(input dan penyusutan modal tetap) dikeluarkan dari output, maka sisanya adalah
biaya tenaga kerja (labor cost) dan keuntungan kotor
pengusaha. Disebut ‘kotor’ karena dalam keuntungan itu masih terkandung pajak
tidak langsung, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Adapun dalam statistik
industri, pajak langsung sudah dikeluarkan sejak dari output. Dengan demikian,
untuk mendapatkan keuntungan bersih pengusaha, kita tinggal mengeluarkan saja
pajak tidak langsung dari keuntungan kotor pengusaha. Keuntungan bersih
pengusaha dan biaya tenaga kerja biasa digabungkan dalam kategori ‘nilai tambah
bersih’ (net value added). Adapun biaya tenaga kerja tidak hanya
mencakup upah, tetapi juga imbalan lain untuk pekerja, seperti bonus, iuran
dana pensiun, tunjangan sosial, tunjangan kecelakaan, dan lain-lain.
Sekarang mari kita lihat
berapa proporsi komponen-komponen pembentuk output industri besar dan sedang
Indonesia selama 2010-2012. Industri besar adalah industri yang jumlah
pekerjanya 100 orang atau lebih, sementara industri sedang adalah industri yang
jumlah pekerjanya 20-99 orang. Di sini, kita akan menggunakan data statistik
industri manufaktur dalam Statistik Indonesia 2013[1]terbitan Badan
Pusat Statistik (BPS). Hampir semua data tersedia di situ, kecuali ‘keuntungan
bersih pengusaha’ dan ‘nilai tambah bersih.’ Tetapi, kita bisa menghitungnya
sendiri dengan mudah berdasarkan data-data lain yang tersedia.
Tabel 1
Komponen-Komponen Pembentuk Output Industri Besar dan Sedang Indonesia
(Miliar Rupiah), 2010-2012
Komponen-Komponen Pembentuk Output Industri Besar dan Sedang Indonesia
(Miliar Rupiah), 2010-2012
*Angka
perkiraan (Sumber: diolah dari Statistik
Indonesia 2013)
Tabel 2
Proporsi Komponen-Komponen Pembentuk Output Industri
Besar dan Sedang Indonesia, 2010-2012
Proporsi Komponen-Komponen Pembentuk Output Industri
Besar dan Sedang Indonesia, 2010-2012
*Angka
perkiraan (Sumber: diolah dari Statistik
Indonesia 2013)
Apakah kenaikan upah minimum 50 persen itu rasional?
Setelah mengetahui proporsi
komponen-komponen pembentuk output, kita bisa melakukan eksperimen penghitungan
untuk memperkirakan secara kasar apakah kenaikan upah 50 persen di tengah
terjadinya krisis Rupiah seperti sekarang ini rasional. Eksperimen ini
dilakukan, karena kita tidak memiliki data aktual tahun 2013 yang baru akan
keluar nanti. Eksperimen akan dilakukan terhadap data tahun 2010-2012.
Pertanyaannya, seandainya pada 2010-2012 terjadi krisis Rupiah seperti sekarang
ini dan upah naik 50 persen, apakah industri besar dan sedang bisa bertahan?
Jika ya, maka kita bisa menyatakan dengan cukup percaya diri bahwa kenaikan
upah minimum 2014 sebesar 50 persen itu rasional.
Sebelum
melakukan eksperimen penghitungan, kita perlu menetapkan angka-angka apa saja
yang berubah dan tidak berubah berdasarkan asumsi-asumsi tertentu yang akan
kita eksplisitkan. Pertama, karena upah naik 50
persen, maka biaya tenaga kerja akan naik. Seperti yang sudah disebutkan di
atas, biaya tenaga kerja tidak hanya terdiri dari upah saja, tetapi juga
imbalan-imbalan lain untuk pekerja. Namun, karena kita tidak tahu pasti berapa
proporsi upah dan imbalan-imbalan lain dalam biaya tenaga kerja, maka untuk
memudahkan penghitungan, kita asumsikan biaya tenaga kerja secara umum naik 50
.
Kedua, biaya input akan meningkat, karena anjloknya
nilai tukar Rupiah berdampak pada naiknya harga bahan baku impor, bahan bakar
impor, dan mungkin komponen input lainnya.[2] Karena kita tidak tahu pasti
komponen mana dalam input yang harganya tidak naik, maka untuk memudahkan
penghitungan, kita asumsikan harga komponen input secara umum naik. Tetapi,
berapa kenaikan biaya input? Untuk mudahnya, kita gunakan saja data inflasi
sebagai patokan. Saat ini, inflasi tahun kalender (Januari-September) 2013
adalah 7,57 persen,[3] namun Bank Indonesia (BI) pernah
memprediksi bahwa batas atas inflasi tahun ini mencapai 9,8 persen.[4] Untuk amannya, kita pakai saja
angka 10 persen. Jadi, biaya input kita asumsikan naik sebesar 10 persen.
Ketiga, output kita asumsikan tidak berubah, karena
pengusaha harus mempertahankan tingkat harga agar pasarnya tidak menyusut. Keempat, penyusutan modal tetap kita asumsikan naik
sebesar 10 persen sama seperti input. Kelima, karena
jumlahnya kecil dan untuk memudahkan penghitungan, maka pajak tidak langsung
kita asumsikan tidak berubah. Keenam, keuntungan
bersih pengusaha akan berubah sebagai konsekuensi dari perubahan biaya input,
penyusutan modal tetap dan biaya tenaga kerja, serta konstannya output. Jadi,
jika biaya input dan penyusutan modal tetap naik 10 persen, biaya tenaga kerja
naik 50 persen, dan angka-angka lain selain keuntungan bersih pengusaha tidak
berubah, maka kita dapatkan:
Tabel 3
Komponen-Komponen Pembentuk Output Industri Besar dan Sedang Indonesia Jika
Biaya Input dan Penyusutan Modal Tetap Naik 10 persen serta Biaya Tenaga Kerja Naik 50 persen
(Miliar Rupiah), 2010-2012
Komponen-Komponen Pembentuk Output Industri Besar dan Sedang Indonesia Jika
Biaya Input dan Penyusutan Modal Tetap Naik 10 persen serta Biaya Tenaga Kerja Naik 50 persen
(Miliar Rupiah), 2010-2012
*Dalam
data dasarnya, angka tahun 2012 masih berupa angka perkiraan (Sumber: diolah
dari Statistik Indonesia 2013)
Tabel 4
Proporsi Komponen-Komponen Pembentuk Output Industri Besar dan Sedang Indonesia
Jika Biaya Input dan Penyusutan Modal Tetap Naik 10 persen serta Biaya Tenaga Kerja Naik 50 persen, 2010-2012
Proporsi Komponen-Komponen Pembentuk Output Industri Besar dan Sedang Indonesia
Jika Biaya Input dan Penyusutan Modal Tetap Naik 10 persen serta Biaya Tenaga Kerja Naik 50 persen, 2010-2012
*Dalam
data dasarnya, angka tahun 2012 masih berupa angka perkiraan (Sumber: diolah
dari Statistik Indonesia 2013)
Berdasarkan
eksperimen penghitungan di atas, kita bisa lihat bahwa di tengah krisis Rupiah
yang menyebabkan biaya input dan penyusutan modal tetap naik sebesar 10 persen,
upah masih bisa naik sebesar 50 persen tanpa kenaikan output. Keuntungan bersih
pengusaha memang turun dibandingkan sebelumnya. Pada 2010, keuntungan bersih
turun sekitar 24,7 persen dari Rp729.758 miliar menjadi Rp549.576,3 miliar;
pada 2011, keuntungan bersih turun sekitar 36,5 persen dari Rp672.697 miliar
menjadi Rp426.895,3 miliar; pada 2012, keuntungan bersih turun sekitar 25
persen dari Rp991.998 miliar menjadi Rp744.830,6 miliar. Tetapi, industri masih
bisa bertahan dan pengusaha masih mendapatkan keuntungan bersih yang lebih
besar dari biaya tenaga kerja. Artinya, kenaikan upah 50 persen itu rasional
dan tidak akan menaikkan harga barang (output) selama keuntungan bersih turun.
Buruh layak mendapatkan kenaikan upah 50 persen
Kenapa buruh layak mendapatkan kenaikan upah 50 persen,
meski berkonsekuensi pada turunnya keuntungan bersih pengusaha? Ada setidaknya
dua alasan. Pertama, kontribusi buruh terhadap
ekonomi Indonesia selama ini cenderung meningkat, sementara upah yang mereka
terima stagnan. Ini bisa dilihat dari data produktivitas tenaga kerja dan
rata-rata upah riil buruh industri di bawah mandor (supervisor). Pada tahun
2001, produktivitas tenaga kerja hanya Rp164,12 juta. Tetapi, pada tahun 2010,
produktivitas tenaga kerja sudah Rp490,62 juta. Artinya, produktivitas tenaga
kerja meningkat sekitar 199 persen selama tahun 2001-2010. Sementara, upah riil
buruh industri selama 2007-2011 cenderung stagnan, meski sempat ada lonjakan
jangka pendek pada akhir tahun 2010.[5]
Kedua, daya tahan pengusaha
dalam menghadapi krisis Rupiah lebih tinggi daripada buruh. Bagi pengusaha,
krisis bermakna turunnya keuntungan. Namun bagi buruh, krisis bermakna
berkurangnya kualitas hidup. Proporsi keuntungan bersih pengusaha jauh lebih
besar dari proporsi biaya tenaga kerja dalam nilai tambah bersih. Angkanya bisa
dilihat dalam Tabel 5, sementara visualisasinya bisa dilihat di Grafik 1:
Tabel 5
Proporsi Biaya Tenaga Kerja dan Keuntungan Bersih Pengusaha dalam
Nilai Tambah Bersih Industri Besar dan Sedang Indonesia, 2010-2012
Proporsi Biaya Tenaga Kerja dan Keuntungan Bersih Pengusaha dalam
Nilai Tambah Bersih Industri Besar dan Sedang Indonesia, 2010-2012
*Angka
perkiraan (Sumber: diolah dari Statistik
Indonesia 2013)
*Dalam
data dasarnya, angka tahun 2012 masih berupa angka perkiraan (Sumber: dibuat
berdasarkan data Statistik
Indonesia 2013)
Bahkan dengan hitungan eksperimen, dimana biaya input dan
penyusutan modal tetap naik 10 persen, biaya tenaga kerja naik 50 persen serta
keuntungan bersih turun, proporsi keuntungan bersih pengusaha masih jauh lebih
besar dari proporsi biaya tenaga kerja dalam nilai tambah bersih. Angkanya bisa
dilihat dalam Tabel 6, sementara visualisasinya bisa dilihat di Grafik 2:
Tabel 6
Proporsi Biaya Tenaga Kerja dan Keuntungan Bersih Pengusaha dalam
Nilai Tambah Bersih Industri Besar dan Sedang Indonesia Jika Biaya Input dan
Penyusutan Modal Tetap Naik 10 persen serta Biaya Tenaga Kerja Naik 50 persen, 2010-2012
Proporsi Biaya Tenaga Kerja dan Keuntungan Bersih Pengusaha dalam
Nilai Tambah Bersih Industri Besar dan Sedang Indonesia Jika Biaya Input dan
Penyusutan Modal Tetap Naik 10 persen serta Biaya Tenaga Kerja Naik 50 persen, 2010-2012
*Dalam
data dasarnya, angka tahun 2012 masih berupa angka perkiraan (Sumber: diolah
dari Statistik Indonesia 2013)
*Dalam
data dasarnya, angka tahun 2012 masih berupa angka perkiraan (Sumber: dibuat
berdasarkan data Statistik
Indonesia 2013)
Jadi, berdasarkan
paparan di atas, kenaikan upah minimum 50 persen di tengah krisis itu rasional
selama keuntungan bersih pengusaha turun. Begitu pula, buruh layak mendapatkan
kenaikan upah minimum 50 persen, meski berkonsekuensi pada turunnya keuntungan
bersih pengusaha. Pasalnya, buruh membutuhkannya untuk bisa bertahan dari krisis
Rupiah dan daya tahan buruh untuk bertahan lebih rendah dari pengusaha. Begitu
pula, kontribusi buruh terhadap ekonomi Indonesia selama ini meningkat,
sementara upah riilnya stagnan. Mari, kita sama-sama dukung Mogok Nasional
untuk memenangkan kenaikan upah minimum 2014 sebesar 50 persen dan kenaikan
Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta Rp3,7 juta. ●
KEPUSTAKAAN
[1] BPS, Statistik Indonesia 2013, http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/SI_2013/index3.php?pub=Statistik%20Indonesia%202013.
[2] Untuk pembahasan soal krisis mata uang
Rupiah, lihat Mohamad Zaki Hussein, “Krisis Mata Uang Rupiah 2013: Penyebab dan
Dampaknya,” http://zetetick.blogspot.com/2013/09/krisis-mata-uang-rupiah-2013-penyebab_18.html.
[3] BPS, “Indeks Harga Konsumen dan Inflasi
Bulanan Indonesia, 2005-Mei 2008 (2002=100), Juni 2008-Juni 2013 (2007=100),” http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=03¬ab=7.
[4] “BI: Inflasi 2013 Bakal Sentuh 9,8%,” Detikfinance, 29 Agustus 2013,http://finance.detik.com/read/2013/08/29/160536/2344379/4/bi-inflasi-2013-bakal-sentuh-98.
[5] Data yang rinci mengenai hal ini bisa
dilihat dalam Mohamad Zaki Hussein, ‘Produktivitas Buruh Meningkat, Upah Riil
Stagnan,’ http://zetetick.blogspot.com/2013/10/produktivitas-buruh-meningkat-upah-riil.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar