Rabu, 09 Oktober 2013

Rasionalitas Tuntutan Kenaikan Upah Minimum 50 Persen

Rasionalitas Tuntutan
Kenaikan Upah Minimum 50 Persen
Mohammad Zaki Hussein  Anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)
INDOPROGRESS, 07 Oktober 2013


SAAT ini, kaum buruh sedang melakukan perjuangan menuntut kenaikan upah minimum 2014 sebesar 50 persen dan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta Rp3,7 juta. Tentu saja para pengusaha menentang tuntutan kenaikan upah tersebut. Mereka beralasan, tuntutan kenaikan upah 50 persen itu tidak rasional dan bisa menyebabkan PHK. Krisis mata uang Rupiah yang saat ini sedang melanda Indonesia menjadi alasan tambahan. Tak cukup menolak, para pengusaha ini  juga memunculkan wacana yang mencitrakan buruh sebagai pihak yang memaksakan kehendak dan egois. Pertanyaannya, betulkah kenaikan upah minimum 50 persen itu tidak rasional?

Komponen-komponen output industri

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita harus mengetahui terlebih dahulu proporsi komponen-komponen yang membentuk output atau ‘nilai keluaran yang dihasilkan oleh kegiatan industri.’ Dalam statistik industri resmi yang dihitung secara tahunan, output tidak hanya terdiri dari barang jadi, tetapi juga tenaga listrik yang dijual; jasa industri yang dijual; penambahan stok barang setengah jadi, dan penerimaan dari jasa non-industri. Pasalnya, dalam kegiatan industri selama setahun, pengusaha juga menjual listrik yang tidak terpakai, menjual jasa industri dan non-industri kepada pihak lain, serta menghasilkan barang setengah jadi. Meski demikian, sebagian besar output terdiri dari barang jadi.

Lalu, apa saja komponen yang membentuk output? Dalam proses produksi, barang jadi dibentuk oleh dua komponen dasar, yakni alat-alat produksi dan tenaga kerja. Alat-alat produksi dalam statistik industri dibagi menjadi dua macam, yakni input (atau biaya antara) dan modal tetap. Input dengan modal tetap dibedakan, karena input ‘habis dipakai’ dalam setahun produksi, sementara modal tetap tidak habis dipakai dalam setahun, sehingga yang dihitung hanyalah ‘pengurangan atau penyusutan nilainya’ saja. Tercakup dalam input adalah bahan baku, bahan bakar, bermacam alat (gedung, mesin, dll.) yang disewa, dan pengeluaran lainnya. Sementara, tercakup dalam modal tetap adalah bermacam alat (gedung, mesin, dll.) yang bisa digunakan lebih dari setahun dan dimiliki sendiri (bukan disewa) oleh pengusaha.

Jika biaya alat produksi (input dan penyusutan modal tetap) dikeluarkan dari output, maka sisanya adalah biaya tenaga kerja (labor cost) dan keuntungan kotor pengusaha. Disebut ‘kotor’ karena dalam keuntungan itu masih terkandung pajak tidak langsung, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Adapun dalam statistik industri, pajak langsung sudah dikeluarkan sejak dari output. Dengan demikian, untuk mendapatkan keuntungan bersih pengusaha, kita tinggal mengeluarkan saja pajak tidak langsung dari keuntungan kotor pengusaha. Keuntungan bersih pengusaha dan biaya tenaga kerja biasa digabungkan dalam kategori ‘nilai tambah bersih’ (net value added). Adapun biaya tenaga kerja tidak hanya mencakup upah, tetapi juga imbalan lain untuk pekerja, seperti bonus, iuran dana pensiun, tunjangan sosial, tunjangan kecelakaan, dan lain-lain.

Sekarang mari kita lihat berapa proporsi komponen-komponen pembentuk output industri besar dan sedang Indonesia selama 2010-2012. Industri besar adalah industri yang jumlah pekerjanya 100 orang atau lebih, sementara industri sedang adalah industri yang jumlah pekerjanya 20-99 orang. Di sini, kita akan menggunakan data statistik industri manufaktur dalam Statistik Indonesia 2013[1]terbitan Badan Pusat Statistik (BPS). Hampir semua data tersedia di situ, kecuali ‘keuntungan bersih pengusaha’ dan ‘nilai tambah bersih.’ Tetapi, kita bisa menghitungnya sendiri dengan mudah berdasarkan data-data lain yang tersedia.
Tabel 1
Komponen-Komponen Pembentuk Output Industri Besar dan Sedang Indonesia
(Miliar Rupiah), 2010-2012
Tabel 1
*Angka perkiraan (Sumber: diolah dari Statistik Indonesia 2013)

Tabel 2
Proporsi Komponen-Komponen Pembentuk Output Industri
Besar dan Sedang Indonesia, 2010-2012
Tabel 2
*Angka perkiraan (Sumber: diolah dari Statistik Indonesia 2013)

Apakah kenaikan upah minimum 50 persen itu rasional?

Setelah mengetahui proporsi komponen-komponen pembentuk output, kita bisa melakukan eksperimen penghitungan untuk memperkirakan secara kasar apakah kenaikan upah 50 persen di tengah terjadinya krisis Rupiah seperti sekarang ini rasional. Eksperimen ini dilakukan, karena kita tidak memiliki data aktual tahun 2013 yang baru akan keluar nanti. Eksperimen akan dilakukan terhadap data tahun 2010-2012. Pertanyaannya, seandainya pada 2010-2012 terjadi krisis Rupiah seperti sekarang ini dan upah naik 50 persen, apakah industri besar dan sedang bisa bertahan? Jika ya, maka kita bisa menyatakan dengan cukup percaya diri bahwa kenaikan upah minimum 2014 sebesar 50 persen itu rasional.
Sebelum melakukan eksperimen penghitungan, kita perlu menetapkan angka-angka apa saja yang berubah dan tidak berubah berdasarkan asumsi-asumsi tertentu yang akan kita eksplisitkan. Pertama, karena upah naik 50 persen, maka biaya tenaga kerja akan naik. Seperti yang sudah disebutkan di atas, biaya tenaga kerja tidak hanya terdiri dari upah saja, tetapi juga imbalan-imbalan lain untuk pekerja. Namun, karena kita tidak tahu pasti berapa proporsi upah dan imbalan-imbalan lain dalam biaya tenaga kerja, maka untuk memudahkan penghitungan, kita asumsikan biaya tenaga kerja secara umum naik 50 .
Kedua, biaya input akan meningkat, karena anjloknya nilai tukar Rupiah berdampak pada naiknya harga bahan baku impor, bahan bakar impor, dan mungkin komponen input lainnya.[2] Karena kita tidak tahu pasti komponen mana dalam input yang harganya tidak naik, maka untuk memudahkan penghitungan, kita asumsikan harga komponen input secara umum naik. Tetapi, berapa kenaikan biaya input? Untuk mudahnya, kita gunakan saja data inflasi sebagai patokan. Saat ini, inflasi tahun kalender (Januari-September) 2013 adalah 7,57 persen,[3] namun Bank Indonesia (BI) pernah memprediksi bahwa batas atas inflasi tahun ini mencapai 9,8 persen.[4] Untuk amannya, kita pakai saja angka 10 persen. Jadi, biaya input kita asumsikan naik sebesar 10 persen.

Ketiga, output kita asumsikan tidak berubah, karena pengusaha harus mempertahankan tingkat harga agar pasarnya tidak menyusut. Keempat, penyusutan modal tetap kita asumsikan naik sebesar 10 persen sama seperti input. Kelima, karena jumlahnya kecil dan untuk memudahkan penghitungan, maka pajak tidak langsung kita asumsikan tidak berubah. Keenam, keuntungan bersih pengusaha akan berubah sebagai konsekuensi dari perubahan biaya input, penyusutan modal tetap dan biaya tenaga kerja, serta konstannya output. Jadi, jika biaya input dan penyusutan modal tetap naik 10 persen, biaya tenaga kerja naik 50 persen, dan angka-angka lain selain keuntungan bersih pengusaha tidak berubah, maka kita dapatkan:

Tabel 3
Komponen-Komponen Pembentuk Output Industri Besar dan Sedang Indonesia Jika
Biaya Input dan Penyusutan Modal Tetap Naik 10 persen serta Biaya Tenaga Kerja Naik 50 persen
(Miliar Rupiah), 2010-2012 
Tabel 3
*Dalam data dasarnya, angka tahun 2012 masih berupa angka perkiraan (Sumber: diolah dari Statistik Indonesia 2013)

Tabel 4
Proporsi Komponen-Komponen Pembentuk Output Industri Besar dan Sedang Indonesia
Jika Biaya Input dan Penyusutan Modal Tetap Naik 10 persen serta Biaya Tenaga Kerja Naik 50 persen, 2010-2012
Tabel 4
*Dalam data dasarnya, angka tahun 2012 masih berupa angka perkiraan (Sumber: diolah dari Statistik Indonesia 2013)

Berdasarkan eksperimen penghitungan di atas, kita bisa lihat bahwa di tengah krisis Rupiah yang menyebabkan biaya input dan penyusutan modal tetap naik sebesar 10 persen, upah masih bisa naik sebesar 50 persen tanpa kenaikan output. Keuntungan bersih pengusaha memang turun dibandingkan sebelumnya. Pada 2010, keuntungan bersih turun sekitar 24,7 persen dari Rp729.758 miliar menjadi Rp549.576,3 miliar; pada 2011, keuntungan bersih turun sekitar 36,5 persen dari Rp672.697 miliar menjadi Rp426.895,3 miliar; pada 2012, keuntungan bersih turun sekitar 25 persen dari Rp991.998 miliar menjadi Rp744.830,6 miliar. Tetapi, industri masih bisa bertahan dan pengusaha masih mendapatkan keuntungan bersih yang lebih besar dari biaya tenaga kerja. Artinya, kenaikan upah 50 persen itu rasional dan tidak akan menaikkan harga barang (output) selama keuntungan bersih turun.
Buruh layak mendapatkan kenaikan upah 50 persen

Kenapa buruh layak mendapatkan kenaikan upah 50 persen, meski berkonsekuensi pada turunnya keuntungan bersih pengusaha? Ada setidaknya dua alasan. Pertama, kontribusi buruh terhadap ekonomi Indonesia selama ini cenderung meningkat, sementara upah yang mereka terima stagnan. Ini bisa dilihat dari data produktivitas tenaga kerja dan rata-rata upah riil buruh industri di bawah mandor (supervisor). Pada tahun 2001, produktivitas tenaga kerja hanya Rp164,12 juta. Tetapi, pada tahun 2010, produktivitas tenaga kerja sudah Rp490,62 juta. Artinya, produktivitas tenaga kerja meningkat sekitar 199 persen selama tahun 2001-2010. Sementara, upah riil buruh industri selama 2007-2011 cenderung stagnan, meski sempat ada lonjakan jangka pendek pada akhir tahun 2010.[5]
Kedua, daya tahan pengusaha dalam menghadapi krisis Rupiah lebih tinggi daripada buruh. Bagi pengusaha, krisis bermakna turunnya keuntungan. Namun bagi buruh, krisis bermakna berkurangnya kualitas hidup. Proporsi keuntungan bersih pengusaha jauh lebih besar dari proporsi biaya tenaga kerja dalam nilai tambah bersih. Angkanya bisa dilihat dalam Tabel 5, sementara visualisasinya bisa dilihat di Grafik 1:

Tabel 5
Proporsi Biaya Tenaga Kerja dan Keuntungan Bersih Pengusaha dalam
Nilai Tambah Bersih Industri Besar dan Sedang Indonesia, 2010-2012
Tabel 5
*Angka perkiraan (Sumber: diolah dari Statistik Indonesia 2013) 
Grafik1
*Dalam data dasarnya, angka tahun 2012 masih berupa angka perkiraan (Sumber: dibuat berdasarkan data Statistik Indonesia 2013)

Bahkan dengan hitungan eksperimen, dimana biaya input dan penyusutan modal tetap naik 10 persen, biaya tenaga kerja naik 50 persen serta keuntungan bersih turun, proporsi keuntungan bersih pengusaha masih jauh lebih besar dari proporsi biaya tenaga kerja dalam nilai tambah bersih. Angkanya bisa dilihat dalam Tabel 6, sementara visualisasinya bisa dilihat di Grafik 2:

Tabel 6
Proporsi Biaya Tenaga Kerja dan Keuntungan Bersih Pengusaha dalam
Nilai Tambah Bersih Industri Besar dan Sedang Indonesia Jika Biaya Input dan
Penyusutan Modal Tetap Naik 10 persen serta Biaya Tenaga Kerja Naik 50 persen, 2010-2012
Tabel 6
*Dalam data dasarnya, angka tahun 2012 masih berupa angka perkiraan (Sumber: diolah dari Statistik Indonesia 2013)
Grafik2
*Dalam data dasarnya, angka tahun 2012 masih berupa angka perkiraan (Sumber: dibuat berdasarkan data Statistik Indonesia 2013)

Jadi, berdasarkan paparan di atas, kenaikan upah minimum 50 persen di tengah krisis itu rasional selama keuntungan bersih pengusaha turun. Begitu pula, buruh layak mendapatkan kenaikan upah minimum 50 persen, meski berkonsekuensi pada turunnya keuntungan bersih pengusaha. Pasalnya, buruh membutuhkannya untuk bisa bertahan dari krisis Rupiah dan daya tahan buruh untuk bertahan lebih rendah dari pengusaha. Begitu pula, kontribusi buruh terhadap ekonomi Indonesia selama ini meningkat, sementara upah riilnya stagnan. Mari, kita sama-sama dukung Mogok Nasional untuk memenangkan kenaikan upah minimum 2014 sebesar 50 persen dan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta Rp3,7 juta.  ●

KEPUSTAKAAN
[2] Untuk pembahasan soal krisis mata uang Rupiah, lihat Mohamad Zaki Hussein, “Krisis Mata Uang Rupiah 2013: Penyebab dan Dampaknya,” http://zetetick.blogspot.com/2013/09/krisis-mata-uang-rupiah-2013-penyebab_18.html.
[3] BPS, “Indeks Harga Konsumen dan Inflasi Bulanan Indonesia, 2005-Mei 2008 (2002=100), Juni 2008-Juni 2013 (2007=100),” http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=03&notab=7.
[4] “BI: Inflasi 2013 Bakal Sentuh 9,8%,” Detikfinance, 29 Agustus 2013,http://finance.detik.com/read/2013/08/29/160536/2344379/4/bi-inflasi-2013-bakal-sentuh-98.

[5] Data yang rinci mengenai hal ini bisa dilihat dalam Mohamad Zaki Hussein, ‘Produktivitas Buruh Meningkat, Upah Riil Stagnan,’ http://zetetick.blogspot.com/2013/10/produktivitas-buruh-meningkat-upah-riil.html.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar