|
HINGGA hari
ini, nilai rupiah dan harga saham masih terpuruk. Jika dalam beberapa waktu ke
depan kita gagal mengantisipasi volatilitas tersebut, Indonesia berpotensi
lebih cepat memasuki zona middle income
trap. Indonesia bahkan bisa mengalami down
grade dari negara dengan status berpendapatan menengah menjadi negara
miskin, seperti yang terjadi pada saat krisis ekonomi tahun 1997-1998.
Fenomena middle
income trap tecermin pada rendahnya kemampuan sektor riil menyerap
kelebihan likuiditas di pasar uang. Aliran dana murah ke Indonesia sebagai
dampak dari kebijakan quantitative
easing (QE) di Amerika Serikat (AS) lebih banyak mengalir ke sektor
keuangan dan sektor properti yang menyebabkan overvalue rupiah, gelembung harga saham dan properti.
Aliran dana
jangka pendek ke instrumen Sertifikat Bank Indonesia lebih bersifat spekulatif,
yang tidak bisa disalurkan ke sektor riil untuk membiayai kegiatan investasi.
Di sisi lain,
Bank Indonesia juga tidak mungkin menempatkannya kembali di instrumen keuangan
negara maju yang menawarkan bunga riil lebih rendah.
Kecenderungan
yang sama juga terjadi pada awal tahun 1990-an, yang dipicu oleh kebijakan
moneter super longgar Bank Sentral Jepang. Kelebihan likuiditas yen Jepang
akhirnya mengalir ke pasar uang negara ASEAN, yang menyebabkan gelembung harga
saham, tekanan inflasi, dan volatilitas rupiah Indonesia, baht Thailand, serta
peso Filipina (Shyam Saran, 2013).
Berkenaan
dengan fenomena di atas, krisis ekonomi Asia tahun 1997-1998 dipicu oleh
eksodus dana asing dari emerging markets di ASEAN yang menyebabkan
nilai tukar baht terdepresiasi, kemudian menjalar ke mata uang rupiah, peso,
ringgit, dan bahkan won Korea. Fenomena ini disebut contagion effect, yaitu menjalarnya krisis dari satu negara ke
negara lain yang memiliki kondisi fundamental ekonomi sangat baik.
Pola yang sama
juga terjadi saat ini, diawali dengan kebijakan QE di AS yang menyebabkan
eksodus dana asing dari Indonesia, Thailand, India, dan Brasil.
Jika reversal dana asing dari Indonesia berujung krisis, untuk kedua kalinya
Indonesia setelah tahun 1997-1998 kehilangan momentum untuk naik kelas menjadi
negara maju.
Hindari jebakan
Middle income
trap adalah situasi suatu negara yang memasuki periode stagnasi setelah
sebelumnya mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi. Suatu negara dengan cepat naik
kelas dari negara berpendapatan rendah menjadi negara berpendapatan menengah
berkat buruh murah dan ketersediaan sumber daya alam (SDA). Namun, buruh murah
dan SDA saja tidak cukup untuk bertransformasi menjadi negara maju yang mengandalkan
produk berteknologi tinggi.
Kecenderungan middle income trap di Indonesia
dapat diidentifikasi dari empat faktor, yaitu rasio investasi
terhadap output yang menurun, pelambatan pertumbuhan sektor industri
manufaktur, terbatasnya diversifikasi industri, dan pasar tenaga kerja yang
didominasi tenaga kerja tidak terampil.
Fakta
menunjukkan, pada tahun 1997-1998, perekonomian Indonesia mengalami down grade menjadi negara miskin
dan butuh waktu lima tahun (tahun 2003) untuk kembali menjadi negara berpendapatan
menengah. Namun, sampai 10 tahun, Indonesia belum bisa naik kelas menjadi
negara maju, bahkan berpotensi kembali turun kelas menjadi negara miskin jika
depresiasi nilai tukar, penurunan harga saham, anggaran tidak sehat, defisit
neraca transaksi berjalan, dan tekanan inflasi tidak diatasi.
Lima langkah
Indonesia
membutuhkan lima langkah strategis untuk keluar dari middle income trap,
yaitu pertama, perekonomian Indonesia harus terhindar dari dampak negatif
depresiasi rupiah dan penurunan harga saham akibat eksodus modal asing dari
Indonesia sebagai respons terhadap rencana The
Fed, Bank Sentral AS, menerapkan kebijakan moneter ketat.
Kedua,
mendorong investasi pada infrastruktur dasar, seperti jalan, moda transportasi,
energi listrik khususnya di luar Jawa, telekomunikasi, pelabuhan, dan bandara.
Selama ini, tidak mengalirnya dana murah dari negara maju ke sektor riil karena
keterbatasan ketersediaan infrastruktur dasar.
Ketiga,
mendorong pengembangan industri manufaktur berbasis teknologi tinggi melalui
kegiatan penelitian dan pengembangan dengan mengalokasikan anggaran hingga 2
persen dari produk domestik bruto (GDP). Meningkatkan porsi tenaga kerja
terampil dengan memperbesar daya tampung sekolah menengah kejuruan, pendidikan
keteknikan, pertanian, dan komputer.
Keempat,
meningkatkan partisipasi perempuan di lapangan kerja dan memanfaatkan bonus
demografi yang ditandai oleh tingginya persentase penduduk usia produktif
hingga tahun 2025. Membuka lapangan kerja baru di sektor manufaktur berbasis
SDA di luar Jawa dan industri teknologi tinggi di Jawa. Langkah ini dapat
membantu daerah kaya SDA di kawasan timur Indonesia keluar dari the Dutch disease (sindrom penyakit
Belanda), yaitu meningkatnya ekspor produk primer tanpa diikuti oleh
berkembangnya industri manufaktur.
Kelima,
mendorong meningkatnya peranan energi baru terbarukan sehingga memenuhi separuh
kebutuhan energi dalam negeri. Langkah ini sekaligus mendukung pemerintah
mengurangi impor bahan bakar minyak dan membuat surplus neraca pembayaran.
Tidak ada
jalan lain, Indonesia bisa segera naik kelas menjadi negara maju dengan cara
menggeser orientasi pembangunan ekonomi yang lebih ke dalam menjadi ke luar
dengan mengandalkan produk berteknologi tinggi dan secara bertahap bergeser
ke knowledge-based economy yang
digerakkan oleh kegiatan inovasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar