Jumat, 11 Oktober 2013

Hilangnya Momentum Pertumbuhan

Hilangnya Momentum Pertumbuhan
Muhammad Syarkawi Rauf  Peneliti pada Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Bisnis Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin
KOMPAS, 10 Oktober 2013


HINGGA hari ini, nilai rupiah dan harga saham masih terpuruk. Jika dalam beberapa waktu ke depan kita gagal mengantisipasi volatilitas tersebut, Indonesia berpotensi lebih cepat memasuki zona middle income trap. Indonesia bahkan bisa mengalami down grade dari negara dengan status berpendapatan menengah menjadi negara miskin, seperti yang terjadi pada saat krisis ekonomi tahun 1997-1998.
Fenomena middle income trap tecermin pada rendahnya kemampuan sektor riil menyerap kelebihan likuiditas di pasar uang. Aliran dana murah ke Indonesia sebagai dampak dari kebijakan quantitative easing (QE) di Amerika Serikat (AS) lebih banyak mengalir ke sektor keuangan dan sektor properti yang menyebabkan overvalue rupiah, gelembung harga saham dan properti.
Aliran dana jangka pendek ke instrumen Sertifikat Bank Indonesia lebih bersifat spekulatif, yang tidak bisa disalurkan ke sektor riil untuk membiayai kegiatan investasi.
Di sisi lain, Bank Indonesia juga tidak mungkin menempatkannya kembali di instrumen keuangan negara maju yang menawarkan bunga riil lebih rendah.
Kecenderungan yang sama juga terjadi pada awal tahun 1990-an, yang dipicu oleh kebijakan moneter super longgar Bank Sentral Jepang. Kelebihan likuiditas yen Jepang akhirnya mengalir ke pasar uang negara ASEAN, yang menyebabkan gelembung harga saham, tekanan inflasi, dan volatilitas rupiah Indonesia, baht Thailand, serta peso Filipina (Shyam Saran, 2013).
Berkenaan dengan fenomena di atas, krisis ekonomi Asia tahun 1997-1998 dipicu oleh eksodus dana asing dari emerging markets di ASEAN yang menyebabkan nilai tukar baht terdepresiasi, kemudian menjalar ke mata uang rupiah, peso, ringgit, dan bahkan won Korea. Fenomena ini disebut contagion effect, yaitu menjalarnya krisis dari satu negara ke negara lain yang memiliki kondisi fundamental ekonomi sangat baik.
Pola yang sama juga terjadi saat ini, diawali dengan kebijakan QE di AS yang menyebabkan eksodus dana asing dari Indonesia, Thailand, India, dan Brasil. Jika reversal dana asing dari Indonesia berujung krisis, untuk kedua kalinya Indonesia setelah tahun 1997-1998 kehilangan momentum untuk naik kelas menjadi negara maju.
Hindari jebakan
Middle income trap adalah situasi suatu negara yang memasuki periode stagnasi setelah sebelumnya mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi. Suatu negara dengan cepat naik kelas dari negara berpendapatan rendah menjadi negara berpendapatan menengah berkat buruh murah dan ketersediaan sumber daya alam (SDA). Namun, buruh murah dan SDA saja tidak cukup untuk bertransformasi menjadi negara maju yang mengandalkan produk berteknologi tinggi.
Kecenderungan middle income trap di Indonesia dapat diidentifikasi dari empat faktor, yaitu rasio investasi terhadap output yang menurun, pelambatan pertumbuhan sektor industri manufaktur, terbatasnya diversifikasi industri, dan pasar tenaga kerja yang didominasi tenaga kerja tidak terampil.
Fakta menunjukkan, pada tahun 1997-1998, perekonomian Indonesia mengalami down grade menjadi negara miskin dan butuh waktu lima tahun (tahun 2003) untuk kembali menjadi negara berpendapatan menengah. Namun, sampai 10 tahun, Indonesia belum bisa naik kelas menjadi negara maju, bahkan berpotensi kembali turun kelas menjadi negara miskin jika depresiasi nilai tukar, penurunan harga saham, anggaran tidak sehat, defisit neraca transaksi berjalan, dan tekanan inflasi tidak diatasi.
Lima langkah
Indonesia membutuhkan lima langkah strategis untuk keluar dari middle income trap, yaitu pertama, perekonomian Indonesia harus terhindar dari dampak negatif depresiasi rupiah dan penurunan harga saham akibat eksodus modal asing dari Indonesia sebagai respons terhadap rencana The Fed, Bank Sentral AS, menerapkan kebijakan moneter ketat.
Kedua, mendorong investasi pada infrastruktur dasar, seperti jalan, moda transportasi, energi listrik khususnya di luar Jawa, telekomunikasi, pelabuhan, dan bandara. Selama ini, tidak mengalirnya dana murah dari negara maju ke sektor riil karena keterbatasan ketersediaan infrastruktur dasar.
Ketiga, mendorong pengembangan industri manufaktur berbasis teknologi tinggi melalui kegiatan penelitian dan pengembangan dengan mengalokasikan anggaran hingga 2 persen dari produk domestik bruto (GDP). Meningkatkan porsi tenaga kerja terampil dengan memperbesar daya tampung sekolah menengah kejuruan, pendidikan keteknikan, pertanian, dan komputer.
Keempat, meningkatkan partisipasi perempuan di lapangan kerja dan memanfaatkan bonus demografi yang ditandai oleh tingginya persentase penduduk usia produktif hingga tahun 2025. Membuka lapangan kerja baru di sektor manufaktur berbasis SDA di luar Jawa dan industri teknologi tinggi di Jawa. Langkah ini dapat membantu daerah kaya SDA di kawasan timur Indonesia keluar dari the Dutch disease (sindrom penyakit Belanda), yaitu meningkatnya ekspor produk primer tanpa diikuti oleh berkembangnya industri manufaktur.
Kelima, mendorong meningkatnya peranan energi baru terbarukan sehingga memenuhi separuh kebutuhan energi dalam negeri. Langkah ini sekaligus mendukung pemerintah mengurangi impor bahan bakar minyak dan membuat surplus neraca pembayaran.
Tidak ada jalan lain, Indonesia bisa segera naik kelas menjadi negara maju dengan cara menggeser orientasi pembangunan ekonomi yang lebih ke dalam menjadi ke luar dengan mengandalkan produk berteknologi tinggi dan secara bertahap bergeser ke knowledge-based economy yang digerakkan oleh kegiatan inovasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar