Sabtu, 12 Oktober 2013

Akil dan Sengketa Pilkada

Akil dan Sengketa Pilkada
Asep Sumaryana  Kepala LP3AN,
Staf Pengajar llmu Administrasi Negara FISIP Unpad
KORAN SINDO, 12 Oktober 2013


Akil Mochtar (AM) membuka sejumlah kasus pemilihan kepala daerah (pilkada) di sejumlah tempat di Tanah Air. Bermula dari sengketa pilkada di sebuah kabupaten di Kalimantan dan Banten, sejumlah pihak yang dikalahkan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa mulai unjuk gigi. 

Dugaan pun menyebar jika pemenang sengketa di MK dianggap pemilik uang yang mampu melicinkan kemenangannya. AM pun dituduh perusak lembaga tinggi negara yang bertugas menegakkan konstitusi. Jika uang menjadi panglima dalam sengketa pilkada, bisa jadi sejumlah pemimpin daerah yang legalitas kekuasaannya berdasarkan kemenangan di MK dicurigai publik. 

Bila kecurigaan tersebut berkembang, kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut semakin menipis dan berujung pada kehilangan kepercayaan terhadap negara. Bila sebuah keputusan sengketa di MK melibatkan sembilan hakim yang ada, AM tidaklah sendirian dalam memuluskan kemenangan sengketa pilkada yang bernuansa suap. 

Sengketa 

Sejumlah pilkada bisa menuai ketidakpuasan pihak yang kalah. Tidak mengherankan jika pihak yang kalah dalam pilkada langsung menelusuri kejanggalan demi kejanggalan yang terjadi dalam proses pilkada. Bisa jadi penggiringan massa dan penggunaan kekuasaan oleh petahana pun dicongkelnya untuk dijadikan bukti kecurangan. Namun, bukti yang cukup tidak serta merta memenangkannya di tingkat MK. 

Banyak yang harus gigit jari karena harus menerima kekalahannya di lembaga ini. Bila setiap pilkada berbuntut sengketa, publik bisa menduga bahwa dalam pertarungan tersebut tidak hanya mempersoalkan keadilan atas kecurangan yang dilakukan lawannya, tetapi juga berkaitan dengan kerugian biaya yang telah dikeluarkannya. Tidak sedikit juga yang digesek tim sukses untuk terus melaju ke Jakarta dengan membawa bukti yang memadai.

Dampaknya, tidak sedikit pengadu menerima kerugian berlipat, selain biaya dalam pilkada, juga sejumlah biaya dalam penyelesaian sengketa tersebut. Kecurigaan publik menguat ketika kasus suap terbongkar di MK. Bisa saja pemenang bukan pilihan publiknya. Publik di sejumlah daerah mungkin terkejut juga karena yang dimenangkan justru yang tidak disukainya. 

Kalau tidak dibereskan, publik akan kehilangan pendekar keadilan tertinggi. Bila kondisi ini terjadi, publik semakin kehilangan kepercayaannya kepada negara yang direpresentasikan pemerintah yang berkuasa. Dengan demikian, penanganan kasus MK bukan saja difokuskan pada kasus yang sedang berjalan, melainkan juga pada sejumlah kasus yang terjadi sebelumnya. 

Taruhan 

Good governance yang sedang diperjuangkan bisa kolaps dengan kasus AM. Sebuah negara akan dianggap baik jika pemerintahannya dapat dipercaya. Tidak mengherankan jika kemudian United Nations Development Programme (UNDP) meluncurkan sejumlah karakteristik agar publik merasa memiliki pemerintahannya. Partisipasi dapat dijalankan dengan pemilihan pemimpinnya yang dapat dipercaya. Pilkada menunjukkan ada tidaknya partisipasi publik dalam menentukan pemimpinnya. 

Peningkatan golput dapat dimaknai jika partisipasi terganggu sehingga sejumlah pemilih tidak merasa terpanggil untuk berpartisipasi. Bisa jadi golput menunjukkan ketidakpercayaan kepada rule of lawyang tidak berkeadilan. Dari sisi ini, kehadiran MK haruslah memberi keadilan dalam sengketa pilkada. Hal yang benar haruslah benar tanpa harus dipaksa memberikan “gizi” atau “apel Washington”. 

Dengan demikian, transparansi bukan hanya dalam gelar sengketa, melainkan juga dalam pengambilan keputusan yang melibatkan sejumlah hakim yang ada di sana. Bahkan, ketika selesai gelar perkara, akuntabilitas pun perlu dijalankan agar publik menguji kebenaran atas keputusan tersebut. Praktik “perselingkuhan” dalam menjalankan tugas publik, bisa mendorong sejumlah pihak untuk voice (baca: aspirasi). Bagi sejumlah elite, reaksi publik ini dianggap merongrong pelaksanaan tugas dan upaya pencapaian kepentingan dirinya. 

Tidak heran jika tindakan represif sering dijalankan agar publik jera melakukan voice. Hanya, kendati voice dianggap merugikan kepentingan pribadi elit, Hirschman (1970) justru menganggapnya sebagai bukti kesetiaan terhadap negara dan pemerintah. Dengan voice, kinerja pejabat dan organisasi publik dapat terus ditingkatkan. Ada hikmah di balik kasus Akil. Pemerintah perlu menuntaskan ”perselingkuhan” di MK yang melibatkan sejumlah Akil lainnya. 

Dengan demikian, sejumlah hama bangsa bisa diusut tuntas. Hanya, dalam penyelesaiannya diperlukan keberanian penegak keadilannya. Tatkala keberanian tidak tersedia, figur pemimpin akan muncul kembali dalam bentuk yang lain dan lebih imun. Dampaknya pemimpin yang berkapasitas, kapabilitas, personalitas seperti diinginkan Sulistyani (2008) hanya tinggal kenangan. 

Bisa jadi Akil pun merepresentasikan adanya upaya eksploitasi aset penting bangsa. Bukan hanya sumber daya alam yang dieksploitasi demi kepentingan segelintir elite, melainkan juga pemimpinnya disuntik racun agar tanggung jawab kebangsaan dan kerakyatannya menjadi hilang. Dengan demikian, sengketa pilkada harus dicermati agar tidak mengorbankan kepentingan publik demi sejumlah sogokan yang memenangkan hama bangsa dan negara. 

Sengketa pilkada masih akan terus bergulir sejalan dengan sejumlah kecurangan di dalamnya. Hanya, figur Akil harus dihilangkan agar pemenangnya sesuai harapan publik yang mampu memajukan daerah serta menjaga kedaulatan negeri dalam naungan NKRI. Bila tidak, bisa saja NKRI yang dibangun susah payah tergadaikan pula oleh praktik sesat pejabat serakah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar