|
Tanggal 2 Oktober 2013 menjadi
malam jahanam bagi AM (Akil Mochtar). Bisa dipastikan, momen penangkapan AM
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu bahkan menjadi tragedi bagi
keluarga besar AM.
Proses hukum bisa saja memutuskan AM tidak bersalah. Namun, dengan catatan spektakuler yang KPK raih lewat kesuksesannya mengempas para koruptor ke balik jeruji besi, siapa pun tentu berharap kali ini KPK kembali membuat raihan gemilang yakni berhasil membuktikan bahwa AM benar-benar telah menyalahgunakan jabatannya dengan mengomersialisasikan perkara yang ia sidangkan.
Pada saat operasi tangkap tangan dilancarkan, media mewartakan, AM menangis. Perilaku emosional sedramatis itu sesungguhnya tidak terlalu mengejutkan. Alasannya, pertama, penyergapan yang dilakukan KPK berkonsekuensi pada berpisahnya AM dari keluarganya.
Seperti yang menjadi kecenderungan pola perilaku orang yang diciduk aparat hukum, kecemasan terbesar yang muncul pada fase kritis itu bukan disebabkan oleh imajinasi tentang panjangnya proses hukum yang akan berlangsung maupun beratnya sanksi yang akan dijatuhkan. Spesifik bagi AM, penambahan sebutan ”bekas” di depan ”ketua Mahkamah Konstitusi” bukan situasi yang paling membuatnya risau.
Tekanan batin paling dahsyat menyusul operasi tangkap tangan justru datang dari bayangan bahwa sejak itu hubungan dengan pasangan, anak, cucu, dan anggota-anggota keluarga lainnya akan dibatasi oleh jam besuk dan terali besi. Alasan kedua, hampir seluruh koruptor yang ditangkap KPK menampilkan perilaku terguncang walaupun sebatas pada hari-hari awal sejak ditahan KPK.
Atas dasar alasan-alasan tersebut, tidak ada belas iba yang patut disodorkan kepada AM menyusul tumpahnya air mata sang wakil Tuhan di hadapan istrinya. Apalagi sudah pula menjadi kelaziman: seiring perjalanan waktu, tak terpaut jauh dari hari penangkapan, ekspresiekspresi ketakutan dan keletihan para koruptor langsung tergantikan oleh senyum busuk lagi menjijikkan.
Akankah tangisan AM berlanjut? Kebinasaan psikologis macam apa yang akan ia alami sejak mendekam di tahanan KPK? Jika masih bisa merayakan ulang tahunnya pada tanggal 18 Oktober nanti, AM akan berusia 53 tahun. Mengacu pada Teori Perkembangan Psikososial, dengan usia separuh abad, secara matematis AM masih berada pada tahapan dewasa madya.
Teoritis, AM masih mempunyai satu tahapan perkembangan lagi sebelum memasuki tahapan pamungkas yaitu dewasa akhir. Tapi, usia bukan persoalan matematika. Proses perkembangan psikososial tak tersekat secara mutlak berdasarkan pertambahan usia. Terhitung sejak pekan pertama bulan kesepuluh tahun ini, perjalanan hidup AM tidak lagi berada pada alur standar.
Karier politik yang hancur, ambruk dari singgasana keagungan hakim ke selokan kehinaan manusia, serta berhadapan dengan pedang Dewi Justisia dan cercaan jutaan manusia, itu semua menyeret AM masuk ke tahapan dewasa akhir secara prematur.
Sosok serasional Jimly Asshiddiqie dan figur setenang Mahfud MD, keduanya pernah menjabat ketua Mahkamah Konstitusi, juga menyebut AM— jika terbukti bersalah—pantas menjadi narapidana korupsi pertama yang dijatuhi hukuman mati ataupun hukuman seumur hidup.
Dua jenis hukuman maksimal itu sama artinya dengan memosisikan AM pada fase terakhir kehidupannya. Pada perkembangan psikososial tahap penutup itu, pertanyaan sentral bagi individu adalah ”apakah hidup yang kuarungi sungguh-sungguh telah penuh makna?” Juga, ”titian hidup seperti apa yang sudah kulalui hingga kini aku berada di sini?”
Pertanyaan-pertanyaan yang datang terlalu dini itu mempermasalahkan seberapa jauh sesungguhnya kebijaksanaan sudah menjadi esensi hidup manusia. Permasalahan yang sebenarnya ”sepele”, mengingat kedudukan sebagai hakim yang AM jalani toh juga menjadikan kebijaksanaan sebagai intisari profesi.
Untuk menjawab pertanyaan semacam itu, manusia— juga AM—harus melakukan refleksi diri. Ia telusuri kembali tapak-tapak kehidupan yang telah ia lalui. Setelah napak tilas, nanti ada satu dari dua perasaan yang mungkin muncul. Jika kemanfaatan demi kemanfaatan yang bisa individu torehkan, ia akan menemukan ego integrity. Ia merasa penuhutuh, lengkap-genap, cukup laksana bangunan bercungkup.
Sayangnya, apalagi bagi seorang hakim, ditangkap basah tatkala menerima sogokan jelas bukan indikator ideal bagi kebijaksanaan. Ini justru tragedi, malapetaka, yang terwakili oleh satu keadaan jiwa: putus asa (ego despair). Mengapa putus asa? Karena hidup telah berada di ujung! Tiada jalan berputar, di samping napas yang tinggal satu-dua untuk mengompensasi aib pribadi. Penyesalan diri barangkali tidak akan bisa pupus.
Satu-satunya jalan untuk meredakan perasaan terbenam adalah pertobatan. Tetapi, apa boleh buat; karena tubuh tetap terkungkung dalam penjara sesuai hukuman yang hakim jatuhkan, keinsyafan hanya menjadi penawar simtomatis. Rasa getir masa dewasa akhir selalu membanjiri sekujur jiwa raga setelah efek penawar itu hilang.
Demikianlah penjelasan filsafati di balik penderitaan yang dialami para narapidana yang berusia lanjut. Kepedihan yang sama sangat mungkin juga AM alami nanti, bahkan dengan intensitas berlipat ganda, sebagai efek perpindahan habitat yakni dari Gedung Mahkamah ke tempat bagi mereka yang dijuluki sebagai ”manusia sampah”.
Pembatasan untuk menjalani hidup secara aktif membuat para narapidana tua mengalami gangguan kesehatan mental dan fisik lebih berat. Itu, pada gilirannya, meruntuhkan keberhargaan diri (dignity) mereka. Tidak sedikit para narapidana tua yang sepenuhnya terputus dari dunia sosial, baik dengan petugas sipir maupun sesama penghuni penjara.
Keberadaan keluarga pun menghadirkan dilema. Pada satu sisi, ketiadaan mereka membuat rindu. Pada sisi lain, kunjungan mereka memantik pilu karena pencurahan kasih sayang sejatinya tak cukup sesekali dalam seminggu. Depresi merupakan mental illnessyang paling sering dijumpai para narapidana tua.
Menurut peneliti seperti Seena Fazel, peluang bagi narapidana tua untuk menderita depresi bahkan tiga kali lebih tinggi ketimbang orang-orang seusia yang berada di luar penjara. Jika perubahan status dari warga biasa ke warga ”luar biasa” saja berpengaruh sedemikian besar, bisa dibayangkan tingkat keguncangan psikis yang dialami oleh ”wakil Tuhan”––seperti AM–– saat dibuang ke dalam lembaga pemasyarakatan.
AM satu dari sekian manusia Indonesia yang dianggap terpuji. Itu dulu. Kini lain cerita: ia dibekap caci-maki. Saya pribadi mempunyai ekspektasi lebih jika hukuman mati bagi koruptor jadi direalisasi.
Sembari menunggu hari eksekusi, para narapidana korupsi tidak akan mampu lagi menyunggingkan senyum buruk mereka karena penjara bukan sebatas tempat menjalani masa, melainkan juga membenamkan mereka dalam derita! Kini, mudah-mudahan, ”pelopor”-nya sedang disiapkan ke arah sana! Wallahualam. ●
Proses hukum bisa saja memutuskan AM tidak bersalah. Namun, dengan catatan spektakuler yang KPK raih lewat kesuksesannya mengempas para koruptor ke balik jeruji besi, siapa pun tentu berharap kali ini KPK kembali membuat raihan gemilang yakni berhasil membuktikan bahwa AM benar-benar telah menyalahgunakan jabatannya dengan mengomersialisasikan perkara yang ia sidangkan.
Pada saat operasi tangkap tangan dilancarkan, media mewartakan, AM menangis. Perilaku emosional sedramatis itu sesungguhnya tidak terlalu mengejutkan. Alasannya, pertama, penyergapan yang dilakukan KPK berkonsekuensi pada berpisahnya AM dari keluarganya.
Seperti yang menjadi kecenderungan pola perilaku orang yang diciduk aparat hukum, kecemasan terbesar yang muncul pada fase kritis itu bukan disebabkan oleh imajinasi tentang panjangnya proses hukum yang akan berlangsung maupun beratnya sanksi yang akan dijatuhkan. Spesifik bagi AM, penambahan sebutan ”bekas” di depan ”ketua Mahkamah Konstitusi” bukan situasi yang paling membuatnya risau.
Tekanan batin paling dahsyat menyusul operasi tangkap tangan justru datang dari bayangan bahwa sejak itu hubungan dengan pasangan, anak, cucu, dan anggota-anggota keluarga lainnya akan dibatasi oleh jam besuk dan terali besi. Alasan kedua, hampir seluruh koruptor yang ditangkap KPK menampilkan perilaku terguncang walaupun sebatas pada hari-hari awal sejak ditahan KPK.
Atas dasar alasan-alasan tersebut, tidak ada belas iba yang patut disodorkan kepada AM menyusul tumpahnya air mata sang wakil Tuhan di hadapan istrinya. Apalagi sudah pula menjadi kelaziman: seiring perjalanan waktu, tak terpaut jauh dari hari penangkapan, ekspresiekspresi ketakutan dan keletihan para koruptor langsung tergantikan oleh senyum busuk lagi menjijikkan.
Akankah tangisan AM berlanjut? Kebinasaan psikologis macam apa yang akan ia alami sejak mendekam di tahanan KPK? Jika masih bisa merayakan ulang tahunnya pada tanggal 18 Oktober nanti, AM akan berusia 53 tahun. Mengacu pada Teori Perkembangan Psikososial, dengan usia separuh abad, secara matematis AM masih berada pada tahapan dewasa madya.
Teoritis, AM masih mempunyai satu tahapan perkembangan lagi sebelum memasuki tahapan pamungkas yaitu dewasa akhir. Tapi, usia bukan persoalan matematika. Proses perkembangan psikososial tak tersekat secara mutlak berdasarkan pertambahan usia. Terhitung sejak pekan pertama bulan kesepuluh tahun ini, perjalanan hidup AM tidak lagi berada pada alur standar.
Karier politik yang hancur, ambruk dari singgasana keagungan hakim ke selokan kehinaan manusia, serta berhadapan dengan pedang Dewi Justisia dan cercaan jutaan manusia, itu semua menyeret AM masuk ke tahapan dewasa akhir secara prematur.
Sosok serasional Jimly Asshiddiqie dan figur setenang Mahfud MD, keduanya pernah menjabat ketua Mahkamah Konstitusi, juga menyebut AM— jika terbukti bersalah—pantas menjadi narapidana korupsi pertama yang dijatuhi hukuman mati ataupun hukuman seumur hidup.
Dua jenis hukuman maksimal itu sama artinya dengan memosisikan AM pada fase terakhir kehidupannya. Pada perkembangan psikososial tahap penutup itu, pertanyaan sentral bagi individu adalah ”apakah hidup yang kuarungi sungguh-sungguh telah penuh makna?” Juga, ”titian hidup seperti apa yang sudah kulalui hingga kini aku berada di sini?”
Pertanyaan-pertanyaan yang datang terlalu dini itu mempermasalahkan seberapa jauh sesungguhnya kebijaksanaan sudah menjadi esensi hidup manusia. Permasalahan yang sebenarnya ”sepele”, mengingat kedudukan sebagai hakim yang AM jalani toh juga menjadikan kebijaksanaan sebagai intisari profesi.
Untuk menjawab pertanyaan semacam itu, manusia— juga AM—harus melakukan refleksi diri. Ia telusuri kembali tapak-tapak kehidupan yang telah ia lalui. Setelah napak tilas, nanti ada satu dari dua perasaan yang mungkin muncul. Jika kemanfaatan demi kemanfaatan yang bisa individu torehkan, ia akan menemukan ego integrity. Ia merasa penuhutuh, lengkap-genap, cukup laksana bangunan bercungkup.
Sayangnya, apalagi bagi seorang hakim, ditangkap basah tatkala menerima sogokan jelas bukan indikator ideal bagi kebijaksanaan. Ini justru tragedi, malapetaka, yang terwakili oleh satu keadaan jiwa: putus asa (ego despair). Mengapa putus asa? Karena hidup telah berada di ujung! Tiada jalan berputar, di samping napas yang tinggal satu-dua untuk mengompensasi aib pribadi. Penyesalan diri barangkali tidak akan bisa pupus.
Satu-satunya jalan untuk meredakan perasaan terbenam adalah pertobatan. Tetapi, apa boleh buat; karena tubuh tetap terkungkung dalam penjara sesuai hukuman yang hakim jatuhkan, keinsyafan hanya menjadi penawar simtomatis. Rasa getir masa dewasa akhir selalu membanjiri sekujur jiwa raga setelah efek penawar itu hilang.
Demikianlah penjelasan filsafati di balik penderitaan yang dialami para narapidana yang berusia lanjut. Kepedihan yang sama sangat mungkin juga AM alami nanti, bahkan dengan intensitas berlipat ganda, sebagai efek perpindahan habitat yakni dari Gedung Mahkamah ke tempat bagi mereka yang dijuluki sebagai ”manusia sampah”.
Pembatasan untuk menjalani hidup secara aktif membuat para narapidana tua mengalami gangguan kesehatan mental dan fisik lebih berat. Itu, pada gilirannya, meruntuhkan keberhargaan diri (dignity) mereka. Tidak sedikit para narapidana tua yang sepenuhnya terputus dari dunia sosial, baik dengan petugas sipir maupun sesama penghuni penjara.
Keberadaan keluarga pun menghadirkan dilema. Pada satu sisi, ketiadaan mereka membuat rindu. Pada sisi lain, kunjungan mereka memantik pilu karena pencurahan kasih sayang sejatinya tak cukup sesekali dalam seminggu. Depresi merupakan mental illnessyang paling sering dijumpai para narapidana tua.
Menurut peneliti seperti Seena Fazel, peluang bagi narapidana tua untuk menderita depresi bahkan tiga kali lebih tinggi ketimbang orang-orang seusia yang berada di luar penjara. Jika perubahan status dari warga biasa ke warga ”luar biasa” saja berpengaruh sedemikian besar, bisa dibayangkan tingkat keguncangan psikis yang dialami oleh ”wakil Tuhan”––seperti AM–– saat dibuang ke dalam lembaga pemasyarakatan.
AM satu dari sekian manusia Indonesia yang dianggap terpuji. Itu dulu. Kini lain cerita: ia dibekap caci-maki. Saya pribadi mempunyai ekspektasi lebih jika hukuman mati bagi koruptor jadi direalisasi.
Sembari menunggu hari eksekusi, para narapidana korupsi tidak akan mampu lagi menyunggingkan senyum buruk mereka karena penjara bukan sebatas tempat menjalani masa, melainkan juga membenamkan mereka dalam derita! Kini, mudah-mudahan, ”pelopor”-nya sedang disiapkan ke arah sana! Wallahualam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar