|
Pembahasan RUU Pilkada di DPR RI
masih belum juga selesai. Masa pembahasan RUU tersebut diperpanjang untuk
mengkaji lebih jauh berbagai materi yang tidak mudah diputuskan.
Di antara materi-materi tersebut adalah materi mengenai pasangan dalam pilkada langsung, apakah menyangkut bersama wakil kepala daerah dalam satu paket atau hanya kepala daerahnya. Pemerintah mengusulkan tidak termasuk wakil kepala daerahnya, sedangkan DPR RI terpecah menjadi dua kelompok; yang setuju pemerintah dan yang tidak.
Isu ini krusial karena mampu memengaruhi kinerja pemerintahan daerah setelah pilkada dilaksanakan. Isu ini pun berbau politis karena mengenai alokasi politik antarkelompok dalam masyarakat dan birokrasi lokal. Patut kiranya kita memikirkan secara serius.
Plus-Minus
Dari kacamata kebijakan dan administrasi publik, baik pilihan satu paket maupun tidak satu paket dalam pilkada memiliki implikasi positif dan negatif. Pilihan satu paket memiliki sisi positif. Pertama, fragmentasi politik lokal dan birokrasi dapat terakomodasi sehingga mampu menciptakan keseimbangan sosial-politik lokal.
Kedua, jika betul mengikuti konsep dasar satu paket, dalam tradisi eksekutif lokal tergolong sebagai pluraleksekutif (Khan dan Muthallib: 1981) yang lebih condong terhadap munculnya inovasi. Ketiga, sistem paket yang sesuai dengan tradisi plural-eksekutif lebih matang dalam menggodok kebijakan publik lokal.
Sisi negatif dari satu paket ini. Pertama, jika terdiri dari elemen berjumlah genap apalagi sangat minim yakni dua unsur saja yaitu kepala dan wakilnya, besar kemungkinan perbedaan pendapat akan mengarah pada kebuntuan kebijakan publik bahkan konflikyangberlarut. Kebetulan saja di Indonesia sistem paketnya juga tidak betul-betul sebagai perwujudan plural-eksekutif (Maksum, 2012). Dengan begitu, kepala daerah dominan, namun tetap saja menimbulkan ketegangan dan ketidakpuasan dari partner-nya.
Akhirnya pecah kongsi sangat tinggi terjadi di dalam praktik pemerintahan daerah di Indonesia. Sisi negatif kedua, jika sadar betul bahwa paket adalah turunan dari plural-eksekutif, keberadaan DPRD dapat terkebiri. Kebijakan publik yang matang di tangan kelompok pimpinan ini dapat membuat tidak dibutuhkan peran DPRD yang besar. Kemungkinan jumlah perda yang dibuat akan menurun, cukup dengan peraturan dari dua unsur tersebut.
Kondisi existing, dengan cara tidak konsistendari tradisi plural eksekutif, DPRD tetap berperan besar. Tetapi, terjadi pemborosan terhadap kedudukan wakil kepala daerah. Kedudukannya amat terhormat, fasilitasnya besar, tetapi efek pemerintahannya kecil. Ini dapat disebut sebagai sisi negatif ketiga. Pilihan tidak satu paket pun demikian, terdapat sisi positif dan negatifnya.
Sisi positifnya, pertama, pemerintahan yang tercipta cenderung lebih stabil. Tidak ada matahari kembar, di mana dalam pilihan tidak satu paket ini membawa pemerintahan dengan pola mono-eksekutif. Mono-eksekutif ini ditandai bahwa hanya satu orang pada puncak pimpinan manajemen pemerintahan. Muncul hanya satu pilihan visi yakni visi pucuk pimpinan.
Kedua, efisien. Dalam tradisi mono-eksekutif, wakil kepala daerah bertugas membantu untuk mengelola birokrasi yang lebih teknis lagi. Kepala daerah dapat merinci secara operasional tugas-tugasnya ke bawah melalui wakilnya sehingga mempermudah manajemen kepemerintahannya. Ketiga, kemungkinan konflik pun rendah karena datang dari satu sumber kekuasaan yang jelas.
Namun, pilihan ini juga memiliki sisi negatif. Pertama, cenderung sulit mengusung perubahan. Kebijakan publik yang bercirikan hierarkis dengan pola kerucut yang kuat lebih sulit menerima masukan perubahan. Struktur seperti ini harus diawasi dengan lebih kuat dalam soal perubahan.
Sisi negatif kedua, struktur dengan pola ”small-number”di puncak mendorong struktur bawahnya berperilaku ”asal bapak senang”. Tradisi katebelecedan patron- clientsubur di sini. Ketiga, pilihan tidak satu paket akan berdampak negatif pada alokasi politik lokal dan birokrasi yang cenderung tidak berimbang.
Umumnya di daerah yang bercirikan perdesaan hal ini tidak disukai. Meskipun di perkotaan mungkin juga muncul ketidakpuasan terhadap pola seperti ini, lebih rendah ketidakpuasannya ketimbang di perdesaan.
Pilihan Cerdas
Sisi negatif dan positif dari dua pilihan membuat pengambil keputusan dalam RUU Pilkada sulit memutuskan. Namun, sedikit-banyak publik dapat menebak karena di Senayan sana terdiri atas politisi, kemungkinan besar pilihan yang secara politik risikonya paling rendah dan menguntungkan mereka.
Bagi pemerintah, pilihan dengan risiko politik paling rendah adalah pilihan tidak satu paket. Sebaliknya, bagi politisi, akanmemilih satu paket karena di samping risiko politiknya paling rendah, juga pilihan ini lebih menguntungkan. Dua pilihan harus tahu konsekuensi sistemiknya.
Dengan demikian, dalam menggodok RUU Pilkada, di samping penulis berharap diperbaiki mekanismenya tidak dengan pilkada langsung, tetapi melalui DPRD (Maksum, 2013), dalam memilih mengenai paket atau tidak paket, seyogianya jangan dibiarkan hanya mengubah satu aspek, tetapi juga aspek lain yang berdampak tidak diubah secara konsisten.
Ini akan membuat sistem yang tercipta tumpul dalam bekerjanya kelak dan mengancam kinerja pelayanan publik lokal. Kita tentu tidak menginginkan otonomi daerah makin memburuk. Semoga. ●
Di antara materi-materi tersebut adalah materi mengenai pasangan dalam pilkada langsung, apakah menyangkut bersama wakil kepala daerah dalam satu paket atau hanya kepala daerahnya. Pemerintah mengusulkan tidak termasuk wakil kepala daerahnya, sedangkan DPR RI terpecah menjadi dua kelompok; yang setuju pemerintah dan yang tidak.
Isu ini krusial karena mampu memengaruhi kinerja pemerintahan daerah setelah pilkada dilaksanakan. Isu ini pun berbau politis karena mengenai alokasi politik antarkelompok dalam masyarakat dan birokrasi lokal. Patut kiranya kita memikirkan secara serius.
Plus-Minus
Dari kacamata kebijakan dan administrasi publik, baik pilihan satu paket maupun tidak satu paket dalam pilkada memiliki implikasi positif dan negatif. Pilihan satu paket memiliki sisi positif. Pertama, fragmentasi politik lokal dan birokrasi dapat terakomodasi sehingga mampu menciptakan keseimbangan sosial-politik lokal.
Kedua, jika betul mengikuti konsep dasar satu paket, dalam tradisi eksekutif lokal tergolong sebagai pluraleksekutif (Khan dan Muthallib: 1981) yang lebih condong terhadap munculnya inovasi. Ketiga, sistem paket yang sesuai dengan tradisi plural-eksekutif lebih matang dalam menggodok kebijakan publik lokal.
Sisi negatif dari satu paket ini. Pertama, jika terdiri dari elemen berjumlah genap apalagi sangat minim yakni dua unsur saja yaitu kepala dan wakilnya, besar kemungkinan perbedaan pendapat akan mengarah pada kebuntuan kebijakan publik bahkan konflikyangberlarut. Kebetulan saja di Indonesia sistem paketnya juga tidak betul-betul sebagai perwujudan plural-eksekutif (Maksum, 2012). Dengan begitu, kepala daerah dominan, namun tetap saja menimbulkan ketegangan dan ketidakpuasan dari partner-nya.
Akhirnya pecah kongsi sangat tinggi terjadi di dalam praktik pemerintahan daerah di Indonesia. Sisi negatif kedua, jika sadar betul bahwa paket adalah turunan dari plural-eksekutif, keberadaan DPRD dapat terkebiri. Kebijakan publik yang matang di tangan kelompok pimpinan ini dapat membuat tidak dibutuhkan peran DPRD yang besar. Kemungkinan jumlah perda yang dibuat akan menurun, cukup dengan peraturan dari dua unsur tersebut.
Kondisi existing, dengan cara tidak konsistendari tradisi plural eksekutif, DPRD tetap berperan besar. Tetapi, terjadi pemborosan terhadap kedudukan wakil kepala daerah. Kedudukannya amat terhormat, fasilitasnya besar, tetapi efek pemerintahannya kecil. Ini dapat disebut sebagai sisi negatif ketiga. Pilihan tidak satu paket pun demikian, terdapat sisi positif dan negatifnya.
Sisi positifnya, pertama, pemerintahan yang tercipta cenderung lebih stabil. Tidak ada matahari kembar, di mana dalam pilihan tidak satu paket ini membawa pemerintahan dengan pola mono-eksekutif. Mono-eksekutif ini ditandai bahwa hanya satu orang pada puncak pimpinan manajemen pemerintahan. Muncul hanya satu pilihan visi yakni visi pucuk pimpinan.
Kedua, efisien. Dalam tradisi mono-eksekutif, wakil kepala daerah bertugas membantu untuk mengelola birokrasi yang lebih teknis lagi. Kepala daerah dapat merinci secara operasional tugas-tugasnya ke bawah melalui wakilnya sehingga mempermudah manajemen kepemerintahannya. Ketiga, kemungkinan konflik pun rendah karena datang dari satu sumber kekuasaan yang jelas.
Namun, pilihan ini juga memiliki sisi negatif. Pertama, cenderung sulit mengusung perubahan. Kebijakan publik yang bercirikan hierarkis dengan pola kerucut yang kuat lebih sulit menerima masukan perubahan. Struktur seperti ini harus diawasi dengan lebih kuat dalam soal perubahan.
Sisi negatif kedua, struktur dengan pola ”small-number”di puncak mendorong struktur bawahnya berperilaku ”asal bapak senang”. Tradisi katebelecedan patron- clientsubur di sini. Ketiga, pilihan tidak satu paket akan berdampak negatif pada alokasi politik lokal dan birokrasi yang cenderung tidak berimbang.
Umumnya di daerah yang bercirikan perdesaan hal ini tidak disukai. Meskipun di perkotaan mungkin juga muncul ketidakpuasan terhadap pola seperti ini, lebih rendah ketidakpuasannya ketimbang di perdesaan.
Pilihan Cerdas
Sisi negatif dan positif dari dua pilihan membuat pengambil keputusan dalam RUU Pilkada sulit memutuskan. Namun, sedikit-banyak publik dapat menebak karena di Senayan sana terdiri atas politisi, kemungkinan besar pilihan yang secara politik risikonya paling rendah dan menguntungkan mereka.
Bagi pemerintah, pilihan dengan risiko politik paling rendah adalah pilihan tidak satu paket. Sebaliknya, bagi politisi, akanmemilih satu paket karena di samping risiko politiknya paling rendah, juga pilihan ini lebih menguntungkan. Dua pilihan harus tahu konsekuensi sistemiknya.
Dengan demikian, dalam menggodok RUU Pilkada, di samping penulis berharap diperbaiki mekanismenya tidak dengan pilkada langsung, tetapi melalui DPRD (Maksum, 2013), dalam memilih mengenai paket atau tidak paket, seyogianya jangan dibiarkan hanya mengubah satu aspek, tetapi juga aspek lain yang berdampak tidak diubah secara konsisten.
Ini akan membuat sistem yang tercipta tumpul dalam bekerjanya kelak dan mengancam kinerja pelayanan publik lokal. Kita tentu tidak menginginkan otonomi daerah makin memburuk. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar