Rabu, 09 Oktober 2013

Beda Tipis Kepercayaan dan Ketidakpercayaan

Beda Tipis Kepercayaan dan Ketidakpercayaan
Dinna Wisnu  Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, 
Universitas Paramadina
 
KORAN SINDO, 09 Oktober 2013


Minggu ini dan beberapa minggu ke depan topik korupsi tampaknya akan terus mengemuka dalam diskusi publik. Fokusnya pada Mahkamah Konstitusi (MK) dan para hakimnya yang ternyata tidak imun korupsi. 

Suasananya mirip dengan kejadian “cicak vs buaya” beberapa tahun lalu yang melibatkan beberapa pejabat tinggi di kepolisian, pengusaha, dan pengacara yang melakukan persekongkolan untuk melakukan tindakan penyuapan. Yang menarik adalah perasaan masyarakat dan sejumlah elite yang merasa sangat terpukul dan dikhianati. Mantan Ketua MK Jimmly Asshidiqie menuntut hukuman seberat-beratnya untuk Ketua MK Akil Mochtar yang tertangkap basah menerima suap, yaitu hukuman mati. 

Adnan Buyung dan beberapa tokoh meminta delapan hakim tersisa untuk mengundurkan diri agar kehormatan MK dapat kembali lagi di mata publik. Hal yang tidak kalah menarik adalah reaksi cepat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang segera menggelar rapat dan mengeluarkan sejumlah rekomendasi. Mengingat bahwa ini tahun politik, reaksi SBY tersebut di luar dugaan. 

Tertangkapnya Akil Mochtar yang waktu itu menjabat sebagai ketua MK dan “bumbu” informasi seputar temuan dan dugaan yang menjerat Akil seolah-olah menempatkan negara inimenujukiamat karenakorupsi. Para pengamat politik mengkhawatirkan bakal akan ada kekacauan nasional karena ketidakpercayaan publik terhadap MK dalam menyelesaikan perselisihan pilkada. Maklum, untuk tahun ini saja, ada 138 pilkada yang telah berlangsung dan 111 di antaranya disengketakan dan masuk ke MK. Kekhawatiran itu dapat diterima. 

Namun kita perlu menggunakan momentum ini untuk bergerak lebih jauh lagi mendiskusikan hal-hal yang bersifat fundamental dan prinsipil ketimbang hal-hal yang sifatnya teknis. Sebelum kita bicara tentang apakah perlu atau tidak perlu perppu untuk mengawasi MK atau siapa yang punya wewenang untuk mengawasi MK, kita perlu bertanya apakah upaya untuk mengembalikan kepercayaan kepada MK telah membuat negatif elemen ketidakpercayaan sebagai sesuatu yang tidak boleh ada. 

Ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara adalah juga bagian dari demokrasi. Jika tidak ada ketidakpercayaan, perjuangan untuk melengserkan Presiden Soeharto dari singgasana Orde Baru tidak akan terjadi. Ketidakpercayaan terhadap partai politik adalah faktor yang mendorong masyarakat untuk menguatkan diri melalui organisasi-organisasi masyarakat sipil dan melakukan pemberdayaan politik. 

Ketidakpercayaan itu yang juga mendorong masyarakat untuk membela KPK turun ke jalan pada saat kasus “cicak vs buaya”. Ketidakpercayaan terhadap lembaga publik pada akhirnya akan membersihkan lembaga-lembaga negara dan mencapai titik di mana kepercayaan dan ketidakpercayaan relatif berjalan seimbang. Tidak ada kepercayaan dan ketidakpercayaan yang penuh 100%. 

Kepercayaan yang total kepada negara dapat mengundang fasisme, sementara ketidakpercayaan yang total terhadap negara dapat menimbulkan civil disobedience (pembangkangan sipil). Keseimbangan antara kepercayaan dan ketidakpercayaan kepada lembaga negara bukanlah sebuah keadaan yang permanen. Amerika Serikat (AS) yang telah kuat sistem peradilannya dan sangat menjunjung tinggi liberalisme pun tidak kebal dengan godaan-godaan korupsi atau pelanggaran etika. 

Contohnya kasus hubungan asmara antara Presiden Bill Clinton dan Monica Lewinsky yang sempat menimbulkan kegemparan nasional, kasus sengketa pilpres antara George Bush Jr dengan Al-Gore di MK yang masih menyisakan kecurigaan akan adanya kecurangan dalam penghitungan suara, bahkan ada beberapa hakim federal di sana yang terlibat skandal penyuapan, seks, atau korupsi seperti Thomas Porteous dan Samuel B Kent. Kasus serupa bahkan lebih banyak ditemukan di kalangan pejabat eksekutif dan legislatif di AS. 

Artinya, kita harus ingat bahwa kasus korupsi ini harus membuat kita berdiskusi akan gagasan tata kelola republik ini, apakah para pejabat kita punya mentalitas kongkalikong dan pemeras. Upaya mengembalikan kesakralan dan kepercayaan kepada MK jangan pula dipisahkan dari fakta bahwa penyuapan terhadap pejabat publik dilakukan setiap hari di tengah masyarakat, mulai dari pembuatan KTP, proses menyekolahkan anak, calo CPNS, pembuatan SIM, biaya siluman dalam praktik usaha, bahkan untuk pemakaman jenazah. 

Istilah kegiatan ini di kalangan aktivis antikorupsi adalah petty bribery. Istilah ini dikritik karena menyepelekan signifikansinya secara politik dan ekonomi. Bohórquez dan Devrim dari lembaga Transparency International mengatakan bahwa praktik penyuapan yang sulit dihindari rakyat kecil kepada pejabat publik punya nilai agregat sangat besar. Pembayaran yang dilakukan masyarakat untuk mendapatkan akses pelayanan publik sangat memengaruhi standar kehidupan masyarakat kecil. 

Jumlah yang dibayarkan dapat sangat besar dilihat dari persentase pendapatan mereka per hari. Praktik petty bribery ini erat kaitannya dengan tata kelola sistem ekonomi dan politik yang sangat korup. Para pejabat publik di tingkat bawah mengutip bayaran dari rakyat, lalu kutipan itu dikutip lagi oleh pejabat di atasnya dan seterusnya hingga puncak jabatan yang paling tinggi. Sistem korup ini juga yang menjadi jembatan atau tangga para pejabat publik menjalani kariernya sampai akhirnya menduduki posisi yang paling tinggi. 

Eksperimen lelang jabatan yang dilakukan Jokowi-Ahok dan kemudian diikuti lembagalembaga lain adalah upaya untuk menahan laju para pejabat karier yang korup. Upaya ini harus diapresiasi dengan memberikan perlindungan kepada pejabat baik yang menang lelang supaya mereka terbebas dari konspirasi jahat yang hendak menggagalkannya. Cara ini adalah contoh jalan agar antara rasa percaya dan tidak percaya kepada institusi negara tetap seimbang sehingga pelayanan publik ke masyarakat dapat berjalan. 

Tugas untuk menduplikasinya atau membuatnya menjadi massal ke seluruh provinsi dan institusi tidak dapat dilakukan oleh hanya dengan mengganti seorang gubernur, presiden, ketua KPK atau ketua MK. Secara politik, partai pun punya kewajiban karena mereka yang diberi akses dan wewenang untuk melakukan perubahan kebijakan publik dengan desakan dari masyarakat sipil. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar